Era polikrisis menyampaikan alarm kondisi buruknya dan rumitnya tantangan yang kompleks serta sulit diatasi jika diuraikan. Polikrisis mengumpulkan fakta dan realita atas banyaknya masalah bahkan dampak masalah global seperti krisis iklim, ketidakstabilan ekonomi, runyamnya kondisi dan banyaknya konflik sosial, bentroknya global geopolitik hingga rusaknya manajemen rantai pasok dunia yang akan menderitakan daya beli masyarakat dunia karena berebut sumber daya.
Di mana yang berpenghasilan tinggi akan cukup aman namun masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah akan sangat merasa menderita dari tingginya harga-harga pangan untuk kebutuhan konsumsi harian. Karena kebutuhan manusia saat ini bukan hanya urusan makan, tapi ada kebutuhan operasional lainnya seperti harga sewa tempat tinggal/cicilan rumah, asuransi kehidupan, dan pengaturan harta susut seperti kendaraan untuk mobilitas.
Jika harga pangan mahal dan sudah tidak terbeli bahkan tidak terjangkau (mahal) diakses, mampukah masyarakat membentuk kembali agroforestri setelah lahan-lahan produktif pertanian tidak berkualitas karena sudah terdegradasi?Â
Polikrisis Agroforestri (Wanatani)Â
Di Kabupaten Tasikmalaya sendiri, praktik agroforestri (wanatani) sudah mulai menyusut bahkan sudah tidak menarik bagi masyarakat pedesaan disebabkan lamanya panen.Â
Sedangkan lahan subur warga diubah menjadi pertanian monokultur yang disewa atau dikontrak industri untuk komoditas yang cepat panen, misalnya pepaya.Â
Namun kesulitan lainnya adalah irigasi dan menurunnya kualitas tanah. Hal ini berdampak membiayai perawatan komoditas monokultur ini menjadi mahal juga, karena harus menggunakan pupuk yang berkualitas dan masih menggunakan tenaga pekerja (buruh tani) yang perlu diupah dan disediakan konsumsinya.Â
Polikrisis agroforestri dari beberapa masalahnya mencakup:Â
Krisis Lingkungan:Â sudah banyak proyek infrastuktur dan proyek strategis nasional yang mengubah lanskap agroforestri. Hal ini memberikan dampak migrasinya/berubahnya mata pencaharian masyarakat, yang biasanya berkebun dan mendapat panen beragam komoditas, menjadi komoditas sejenis saja. Hal ini menyebabkan kekakuan dalam potensi pertanian dan tidak tahan iklim.Â
Sosial:Â konflik agraria (sengketa lahan serta kepemilikan lahan) akan sangat terasa untuk hubungan sosial antara masyarakat versus aparat/pihak pemilik modal (pemodal) yang menguasai lahan produktif yang akan diganti menjadi proyek perusakan lingkungan. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi terpinggirkan (kelompok marjinal) atas hak-hak kemanusiaannya yang dirampas.Â
Ekonomi:Â menyoroti kekuatan daya beli masyarakat pedesaan dengan hilangnya komoditas beragam yang awalnya cuma-cuma didapatkan secara berkelompok dan sebagai pelestari, harus dituntut belanja dengan alat tukar (uang) untuk mendapatkan kebutuhan primer misalnya sayuran, buah-buahan, bahkan makanan pokok dan sumber proteinnya.Â
Hal ini cukup ironis karena hilangnya kontrol ekologi dalam pelestarian dan konservasi untuk menciptakan keberlanjutan dan jaminan konsumsi berkualitas bagi makhluk hidup yang sama-sama memerlukan makanan dari alam sumbernya.Â