Akhir-akhir ini dunia selalu dikejutkan dengan berita-berita bencana dan gejala ekologis seperti: gelombang panas (heatwave) yang terparah di benua Asia seperti di Thailand akibat gelombang panas menyebabkan kematian 61 orang, di India gelombang panas menyebabkan power paucity (kekurangan daya dan energi akibat kondisi lingkungan yang buruk).
Di Bangladesh gelombang panas mempengaruhi aktivitas dan mobilitas masyarakat, seperti diberhentikannya beberapa sekolah agar tidak ada kegiatan untuk menghindari gelombang panas, dan terakhir di Filipina dikabarkan gelombang panas sebagai supercharging extreme weather (artinya gelombang panas karena global heating/pemanasan global yang memperburuk keadaan, salah satunya di ibu kota Filipina mengalami keadaan ini).Â
Indonesia sendiri menurut BMKGÂ masih bisa terhindar dari gelombang panas ekstrim seperti negara-negara tetangga.
Masyarakat Harus Berliterasi tentang Ketahanan IklimÂ
Ketika membahas bencana dan gejala ekologis global, bukan hanya tanggung jawab organisasi dunia, pemerintah negara, atau konsorsium yang peduli pada ekologi yang terdiri dari beberapa pihak yang harus selalu bertanggung jawab akan ketahanan iklim, namun ini sudah menjadi kewajiban bersama sebagai global citizen/global society (masyarakat global) untuk tidak lagi berpengetahuan saja tentang apa itu iklim, apa itu krisis iklim.Â
Kondisi saat ini sudah pada tahap bagaimana mengurangi dampak krisis iklim bahkan memitigasinya (artinya sudah tahap penyelamatan, siap siaga dan darurat urgensi ekologi yang generatif/butuh pemulihan yang tidak bisa ditunda) hal ini yang dirasakan bersama dan ternyata sangat holistik pada multisektor.Â
Berbicara krisis iklim bukan saja membayangkan bongkahan es di kutub utara mencair yang berdampak pada populasi polar bear/beruang kutub, namun dampak geografis menyebabkan tatanan dampak sosial, ekologi, dan psikologi di mana ada sumber daya yang terancam dan rusak (baik manusianya bahkan alamnya).Â
Lantas masyarakat global bisa melakukan apa?Â
Bisa melakukan banyak hal dengan berbagai dukungan. Dunia belum kiamat dan manusia selaku makhluk hidup yang bisa menggunakan pikiran, nurani, dan berkomunikasi sampai berkolaborasi untuk beberapa aksi berdampak baik bisa saling berinisiatif untuk mempertahankan ketahanan iklim dengan selalu terhubung dengan informasi terkini pada beberapa literasi.Â
Hal ini sudah didukung terbukanya akses berbagai informasi dan selaku masyarakat global harus bisa lebih tanggap untuk adaptasi, sehingga memiliki mentalitas resiliensi yang semakin kuat dan tidak lemah bahkan tidak berdaya terhadap kondisi saat ini. Masih ada waktu untuk memulihkan, selama masyarakat global kompak.Â
Mengapa Masyarakat Global Harus Berliterasi Ketahanan Iklim?Â
Ahli kimia atmosfer sekaligus pemenang penghargaan nobel kimia pada tahun 1995 menjelaskan Era Antroposen yang mendefinisikan bahwa era ini adalah era di mana lapisan ozon, perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global, dan tindakan manusia (mengarah pada kerusakan lingkungan) memiliki dampak yang drastis (ini didefinisikan mengundang bencana ekologis akibat keserakahan tingkah laku manusia untuk menguasai dunia), inilah kimiawan atmosfer yang vokal menjelaskan dan mengingatkan Era Antroposen (Paul Crutzen).Â
Pahamilah bahwa kondisi saat ini sudah memasuki fase geologis cukup parah, di mana aktivitas manusia dengan segala fasilitas kecanggihannya yang ternyata merusak bumi dapat mempengaruhi iklim dan lingkungan. Periode inilah yang menandai perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, dan polusi.Â
Crutzen mengajak pada seluruh umat manusia di dunia untuk selalu bisa memitigasi dampak kerusakan lingkungan dengan tanggap dan Crutzen percaya manusia punya potensi dan kekuatan memulihkan ekosistem secara alamiah, karena masalah yang dibuat oleh manusia bisa diselesaikan kembali oleh manusia, dan berdampak pada keberlanjutan kehidupan seluruh makhluk hidup.Â
Literasi ketahanan iklim tidaklah harus selalu canggih dengan berbagai peralatan dengan teknologi tinggi, mewah, dan sulit didapatkan hal ini bisa tersedia jika dalam ruang lingkup pengembangan penelitian dengan dana yang memadai.Â
Namun untuk skala individu ketahanan iklim adalah kemampuan seseorang atau kelompok kecil yang mampu beradaptasi untuk bisa memulihkan dampak perubahan dan krisis iklim yang dirasakan pada lingkungan sekitar sehingga memiliki daya tahan adaptif, responsif, dan solutif untuk problematika ekologinya.Â
Bagaimana caranya untuk bisa berliterasi ketahanan iklim?Â
Berkelompoklah agar beban lingkungan bisa diurai bersama, lakukanlah penelusuran informasi tentang bagaimana menggunakan sumber daya alam:
- Jika krisis iklim ini menyebabkan harga pangan mahal, apa yang bisa individu lakukan? Apa yang bisa dihasilkan dari kumpulan 5 orang ibu rumah tangga untuk mengatasi mahalnya harga bumbu untuk masakan sedap yang selalu tersaji sebagai santapan keluarga?Â
- Jika harga listrik mahal, apa yang bisa dilakukan untuk menekan biaya ini? Apakah sudah saatnya 1 komplek menjadi komplek percontohan yang menggunakan panel surya?
- Jika harga gas untuk memasak dan berjualan tidak mudah didapatkan, adakah alternatif biogas dari kolaborasi sektor pertanian terkecil yang bisa menjadi alternatif bersama?Â
- Jika berkendara biaya rawat dan bahan bakarnya mahal, adakah kendaraan bersama untuk kepentingan personal yang dikomersialisasikan secara terjangkau? Bisakah kawasan tempat tinggal di beberapa titik kemacetan diberlakukan gerakan jalan kaki 5 km untuk merayakan hari kebugaran warga dan secara kompak menjadikan kawasan ramah lingkungan yang saling mendukung?Â
Hal tersebut adalah bentuk implementasi nyata dari literasi ketahanan iklim secara solutif untuk skala invidiu dan kelompok kecil saja.Â
Masalah hari ini adalah ketidakakraban antar manusia yang sudah renggang dan asing, jadi ketika ada kata gotong royong, tidak sekompak memperjuangkan kemerdekaan dari ketertindasan penjajahan, namun setiap individu hanya mencari solusi untuk dirinya sendiri atas problematika personal.
Sedangkan problematika personal dikarenakan pula oleh problematika dari eksternal yang mengubah taraf hidup karena sistem sosial ekologinya terganggu, ditambah akibat krisis iklim yang sederhananya mengganggu pada mobilitas makhluk hidup.Â
Melirik Kembali Komoditas Salak Manonjaya untuk Ketahanan IklimÂ
Apa urgensi dari komoditas pangan yang sudah tidak laku ini?Â
Pemikiran ini terlalu usang jika hanya memikirkan inovasi produk dari komoditas pangan, namun lupa mengembalikan fungsi ekologisnya, permasalahan klasik pertanian di wilayah tropis ketika komoditas itu tidak laku di pasaran, petani bahkan pengusaha pertanian mudah saja mengganti jenis komoditas yang belum tentu cocok dengan daya dukung lingkungannya.
Hal ini juga mengarah pada banyaknya pertanian monokultur (bercocok tanam yang didominasi satu jenis komoditas) sehingga menurunkan status keberagaman komoditas yang saling memberikan manfaat, akibatnya harus ada dukungan lain untuk menjaga ekosistemnya misalkan pupuk berkualitas, cairan anti hama, teknologi yang mahal untuk irigasi untuk suplai air, dan tenaga harian untuk perawatan.Â
Kabupaten Tasikmalaya adalah penghasil terbesar komoditas Salak Manonjaya. Salak ini adalah salak yang hanya tumbuh di Manonjaya saja artinya sudah masuk kategori endemik, namun dalam sektor pertanian biodiversitas endemik potensial dibudidayakan sehingga tidak hanya bisa dijumpai di Manonjaya saya, inilah yang disebut dengan migrasi biodiversitas karena tujuan memperbanyak kuantitas dan menumbuhkan dari indukan yang sama.Â
Faktanya, Salak Manonjaya ini sudah jarang dan tergantikan oleh salak lain, dimulai dari alih fungsi lahan kebun salak manonjaya banyak dibangun menjadi perumahan di kawasan pedesaan, Sentra Salak Manonjaya pun menjadi tidak aktif bahkan tutup, yang tadinya kawasan agrowisata, ketika komoditasnya kalah saing di pasar maka agrowisata ini perlahan banyak yang tutup dan berhenti.Â
Melihat kasus kebun Salak Manonjaya ini problematik, dikarenakan harga jual komoditasnya turun dan hampir tidak ada harganya bahkan banyak petani Salak Manonjaya membiarkan salaknya tidak dipanen dan dibiarkan membusuk.
Inilah fenomena komoditas pangan berlebih namun daya terima kurang dikarenakan kurangnya literasi lain yang hanya berfokus pada inovasi produk untuk menambah nilai ekonomi, bukan menambah nilai ekologi.Â
Ini merupakan kondisi Salak Manonjaya yang mulai membusuk karena tidak ada penanganan pasca-panen dan tidak adanya literasi masyarakat tentang bagaimana menjadikan salak ini bernilai.
Alasan mereka adalah terkendala alat-alat pengering, cuaca yang tidak menentu untuk melakukan pengeringan, dan minimnya akses informasi ekonomi kreatif dan kurangnya perhatian pentingnya konservasi, domestikasi, dan sulitnya akses penjualan dengan harga layak.
Mengglobalkan Salak Manonjaya ke PakistanÂ
Akibat komoditas Salak Manonjaya tidak pernah menjadi komoditas seksi untuk masyarakat sekitarnya, maka berbagai inisiatif yang dilakukan anak muda seperti membuat inovasi seperti sirup salak, sambal salak, muffin salak, sari salak, selai salak, kue salak, teh salak, kopi biji salak, termasuk berkreasi untuk kriya dari batang salak yang dijadikan alternatif tikar dengan cara dianyam.
Inovasi ini tidak menarik pasar dan tidak menaikkan harga jual, akhirnya jalur penelitian dan diseminasi ilmiahlah yang mampu mengenalkan salak ke negara yang memang tidak memiliki komoditas salak, salah satunya adalah Pakistan.
Salak potensial untuk dijual dan dibudidayakan di sana artinya sudah harus memikirkan potensi ekspor, hal ini juga didukung oleh teknologi pangan di Pakistan sudah melirik pangan fungsional (yang mendukung kesehatan) di mana Pakistan memperbaiki gizi bangsanya melalui keberagaman komoditas pangan yang dimilikinya termasuk komoditas impor yang memiliki nilai guna.Â
Tanggapan ilmuwan Pakistan ketika melihat potensi komoditas Salak Manonjaya ini sangat terkesan dan unik melihat pohonnya bisa menjadikan perlindungan jika ada konflik antar suku, dan Pakistan tertarik dengan rasa yang ditawarkan oleh komoditas salak ini, di mana Pakistan memiliki olahan minuman buah mengandung vitamin C berasal dari mangga namanya "Aam Panna", walaupun minuman ini populer di India dan Pakistan juga namun hal ini adalah hal biasa dalam pengaruh akulturasi budaya dan rasa.Â
Pandanglah Komoditas Salak Manonjaya ini sebagai Tanaman Ekologis
Bosan dengan sektor pangan yang mandeg, rupanya salak Manonjaya harus dikembalikan fungsinya, artikel sebelumya membahas Fungsi Ekologis Salak Manonjaya.Â
Karena masalah lingkungan saat ini yang diakibatkan oleh krisis iklim yang mudah terasa adalah kualitas udara yang bermasalah, gelombang panas, dan cuaca tidak menentu,maka perlu pengendali dari komoditas yang bisa menampung masalah ini, melirik aksi-aksi lingkungan selalu menanam komoditas tanaman yang itu-itu saja seperti mangrove dan tanaman-tanaman dalam bentuk bibit yang diklaim tanaman langka namun tidak ada kelanjutannya seperti selebrasi satu hari saja.Â
Komoditas Salak Manonjaya adalah komoditas endemik yang berkurang kuantitasnya akibat alih fungsi lahan dan daya jual menurun bahkan hancur, mengapa tidak menanam kembali Salak Manonjaya yang difungsikan untuk ketahanan iklim yang terkelola.
Ada banyak cara untuk menggandakan komoditas salak ini, karena keuntungan menanam salak, akan hadirnya biodiversitas liar lain yang saling menguntungkan serta membuat tanah semakin berkualitas karena pengaruh kelembaban yang diberikan dan hal ini cocok dengan kondisi tropis di Jawa Barat terlebih di Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya sebelum lahan-lahan ini sudah berubah menjadi ruko, perumahan cicilan, dan supermarket serta pabrik-pabrik dari industri baru.Â
Mengurusi komoditas salak untuk cocok tanam memang perlu keterampilan cara berkebunnya orang kampung karena ketika jumlahnya banyak perlu perawatan dengan sumber tenaga manusia untuk membersihkan daun-daun keringnya terlebih jika kemarau panjang, pengaruh regeneratif dari komoditas salak juga solutif bagi tanah yang menjaga kestabilan tanah karena akar salak berfungsi sebagai pengendali ekosistem tanah, maka dari itu ketika adanya erosi tanah (pengikisan tanah oleh air/angin).
Ini adalah kondisi kebun Salak Manonjaya, komoditas ini cocok untuk kondisi pertanian tropis dan inilah bentuk ketahanan iklim dari komoditas pangan yang tidak hanya menjadi fungsi pangan penambah nilai gizi yang bermanfaat.Â
Melihat langsung kondisi perawatan kebun salak:Â
Sumber Video : Youtube Gastro Tourism Academy (dokumentasi pribadi)Â
Salak Manonjaya untuk Masa Depan Lingkungan BerkelanjutanÂ
Apa yang terpikirkan oleh manusia ketika lahan-lahan produktif berubah menjadi bangunan yang sesak dan tanpa makanan bahkan udara yang kotor ?Â
Kajian Poverty and Conservation: Landscape, People, and Power yang dikompilasikan oleh para peneliti dari IUCN menginformasikan bahwa penyebab kemiskinan struktural adalah hilangnya alih fungsi lahan, keterlibatan penguasa, dan tersingkirnya manusia dari beberapa sektor alami seperti pertanian,peternakan, lingkungan dan ekologi di mana hal ini secara sejarah membuktikan cara bertahan hidup yang disediakan alam, namun adanya alih fungsi lahan semua aset-aset alam menjadi berbayar karena adanya manajemen yang timpang.Â
Refleksi dari kajian ini terhadap komoditas Salak Manonjaya masih memiliki harapan untuk tetap ditanam dan diperbanyak selain menopang fungsi ekologis, manusia selalu memiliki daya kreativitas tak terbatas untuk tetap mengolahnya kembali yang disesuaikan dengan kebutuhan terlebih sektor makanan fungsional (untuk kesehatan) dan pengobatan, hal ini masih dibutuhkan sebagai harapan peningkatan kualitas hidup.Â
Kapan terakhir kali merasakan buah salak? Sudah pernah coba komoditas Salak Manonjaya?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H