Bagaimana kehidupan anak muda hari ini ? Masihkah gengsi dalam menjalani kehidupannya ? Sudah berapa banyak berita-berita tentang kekayaan semu yang berujung pada pemberitaan yang mengarah pada : hutang, korupsi, pinjaman online yang menjadi tunggakan pribadi, permasalahan depresi, kekerasan antar sesama, penyiksaan, perundungan si miskin dan si kaya yang tak berujung, tindakan dan pikiran ingin bunuh diri, bahkan tidak bisa menikmati fase proses dari kehidupan, terutama kehidupan sosial dan bermedia sosial karena banyaknya hal-hal yang mempertontonkan kesejahteraan, kekayaan cepat, dan kemampuan menguasai segala hal (tanpa menyebutkan sponsornya dari mana atau sumbernya dari mana jika ingin dijadikan konsumsi informasi publik) yang pada akhirnya isinya ternyata hanya manipulasi untuk menutupi kekurangannya, ada sisipan promosi usaha dengan kepercayaan publik karena label sejahtera.Â
Fenomena rendah diri, merasa tidak layak hidup, bahkan merasa kalah karena keadaan ekonomi dan situasi yang disebabkan oleh adanya perbandingan kelompok sosial karena kemampuan : finansial, kekayaan, hal-hal kebutuhan primer, sekunder, dan tersier dalam pendekatan antropologi psikologi disebut dengan fenomena komparatif sosial.Â
Komparatif sosial adalah kecenderungan manusia untuk membandingkan kehidupan dan kekayaan dengan orang lain. Ini terjadi dalam lingkup sejawat dan melalui media sosial atau kehidupan sosial. Perbandingan ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan masalah kesehatan mental. Kebahagiaan sejati tidak tergantung pada kekayaan atau status sosial. Penting untuk fokus pada pencapaian pribadi dan kebahagiaan tanpa membandingkan dengan orang lain.
Tokoh yang populer dalam fenomena komparatif sosial adalah Leon Festinger yang merupakan psikolog sosial Amerika yang menciptakan teori disonansi kognitif dan perbandingan sosial. Ia menolak pandangan behavioris (pendekatan dalam psikologi yang menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati secara objektif) dalam psikologi sosial.Â
Teori Disonansi Kognitif Pada Komparatif SosialÂ
Teori disonansi kognitif Festinger menjelaskan ketidakselarasan dalam pemikiran, keyakinan, atau sikap. Disonansi kognitif menyebabkan rasa tidak nyaman dan mendorong perubahan pemikiran, keyakinan, atau perilaku. Teori ini penting dalam memahami motivasi dan pengambilan keputusan manusia, terutama dalam kehidupan dengan kegiatan yang sering dilakukan dan pasti dilakukan adalah : makan (makanan adalah kebutuhan dasar dimana hal ini tidak bisa dibandingkan dengan kemampuan finansial yang terlebih dahulu sudah tercukupi, namun hal ini bisa disamaratakan lewat regulasi agar kesetaraan isi piring bisa terpenuhi, artinya isi piring ini tergantung sistem yang berlaku). Kegiatan, dalam hal ini harus lebih spesifik yang merinci jenis-jenis kegiatan setiap orang memanglah berbeda bahkan dilihat dari usianya saja sudah tidak sama dan tidak akan ada yang seragam identik, pasti berbeda dalam gerak-geriknya, dimana hal ini tidak usah diperkeruh dengan label-label ekslusivitas dan inklusivitas, hal ini pengaruh pemasaran, bukan ? dimana ada produk dan jasa yang meraup target pasar, maka dari kebutuhan inilah ada kelompok-kelompok penikmatnya dan hal ini sayangnya dipopulerkan dengan cara yang ternyata merugikan bagi beberapa kelompok yang tidak bisa merasakan akses tersebut yang pada akhirnya timbul perundungan, padahal yang dirundung tidak salah dalam konteks keadaan dan kemampuan.Â
Tidak Perlu Gengsi Pada MakananÂ
Sampai kapan makanan ini menjadi hal-hal estetika ? apakah hal ini untuk kebutuhan seni ? intisari dari makanan adalah untuk dicerna oleh organ pencernaan (gastrointestinal) masing-masing. Jika isi piring masih berisi makanan-makanan dari hasil kebun, silakan dinikmati terlebih dahulu, kemudian bisa dikreasikan, diperjualbelikan, bahkan dibudidayakan untuk menumbuhkan jiwa wirausaha dari keadaan kebutuhan. Gengsi pada makanan atau apa yang dimakan tidak akan tertolong jika sudah kronis, karena pada akhirnya semuanya kelaparan dan akhirnya gejala penyakit sistem pencernaan terganggu hanya karena tidak biasa makan-makanan yang tidak sesuai ekspektasi.Â
Manusia tidak sesulit itu dalam memilih cita-rasa, diawali dari aroma yang menggugah panca indera bahkan indera pengecap, makanan itu akan lebih bermakna disantap dengan penuh rasa syukur. Hentikan melihat postingan yang dirasa kurang logis bagi kemampuan finansial, sejatinya makan adalah untuk mengenyangkan terlebih dahulu, kemudian tambahannya sebagai pelengkap dan eksplorasi rasa, kemudian pengalaman bersantap dengan berbagai pilihannya : makan sambil menikmati pemandangan, makan di luar kota karena kepentingan liburan untuk pelepas penat, makan untuk identitas diri untuk suatu pekerjaan misalnya pengulas makanan/minuman bahkan menu-menu sesuai pemberi pekerjaan dan hal itu dilakukan secara profesional dan boleh saja diekspresikan dengan pengalaman diri, yang menyebalkan adalah mempostingnya dan menghina orang yang tidak atau belum bisa seperti kehidupannya, itulah pemantik permasalahan dari komparatif sosial.Â
Sebagai manusia harus tangguh dalam cemooh sosial, jika isi piringmu masih berisi potongan ubi rebus dan segelas teh manis hangat buatan ibumu, posting saja untuk ekspresimu, ada banyak cara mengembalikan kepercayaan diri dalam balutan narasi murni dari hati yang mendefinisikan kesederhanaan, tidak perlu gengsi dengan postingan isi piring temanmu yang mewah, bisa saja jika salah satu donaturnya tiada atau berhenti, isi piringnya sama denganmu.Â
Tidak Perlu Gengsi Pada Kegiatan dan Keadaan.Â
Jika kegiatan anak muda memanglah berkegiatan pada hal-hal yang menurut perspektif kesejahteraan kebanyakan tidaklah menunjukkan kemampuan finansial atau kebahagiaan semu yang sering terlihat pada kanal-kanal media sosial (itu hanya sementara dan bisa saja hanya keperluan publikasi semata, kemampuan dan kebahagiaan hanya bisa dirasakan oleh diri masing-masing), misalkan anak muda gengsi berjualan gorengan di samping kampusnya, tidak perlu malu juga, tapi memang harus kuat mental untuk siatuasi dan kondisi sosial yang belum berbenah ini yang memang akan mengarah pada : cemoohan, ejekan, dan perundungan masih belum teratasi hingga kondusif.Â
Ekspresikanlah kegiatan-kegiatan apa adanya, dengan begitu beban-beban ekspektasi dan harapan yang belum dijangkau justru akan memberikan semangat pada kegiatan sederhana dan apa adanya, karena ada kekuatan keyakinan dari dalam diri dan melawan hambatan-hambatan yang ditakuti selama ini.Â
Kegiatannya bersekolah di sekolah atau kampus yang biasa saja, ekspresikan saja, hal ini memperlihatkan dan memberikan informasi bahwa masih ada orang-orang berkualitas dan generasi harapan bangsa dari sekolah-sekolah yang biasa saja, dan suatu saat bisa saja dirimulah yang akan membawa nama sekolah dan kampusmu karena adanya dirimu dan teman-temanmu kelak. Hal ini kan perlu waktu. Bersenang-senanglah dengan keasyikan fase kehidupan muda di sana, jika ada masalah tanganilah bersama-sama agar terbiasa dalam bahu membahu mengatasi masalah di masa mendatang. Kompetitif kan tidak selalu harus dilakukan untuk semua kegiatan, ada kalanya berkompetisi ada kalanya saling berbagi, berempati, dan kolaborasi. Misalnya berkompetisilah pada ujian, dan berempatilah ketika salah satu teman menatap kosong di kelasnya ketika waktu istirahat, rangkulah teman seperti itu. Setidaknya kehadiranmu adalah penambah semangat dan berkah yang dititipkan kepadamu selaku teman.Â
Jika keadaan kehidupan memanglah termasuk pada kelompok status sosial yang tidak sejahtera, tidak perlulah mati-matian memoles keadaan diri menjadi kehidupan yang palsu hanya untuk mendapat verifikasi identitas dari hanya 1-2 orang saja, hal ini akan membuang banyak tenaga dan menambah pikiran, karena hal ini akan berujung pada penyimpangan sosial yang tidak diharapkan, hanya gara-gara tidak menggunakan gadget mirip influencer kemudian jadi rendah diri, bukan seperti itu dalam menyikapi dinamika sosial pada kehidupan modern, beranilah dengan gadget seadanya namun tujuan hidupmu tercapai setahap demi setahap usaha dan do'a yang menyertaimu.Â
Ketika mensyukuri banyak nikmat dan sambil terus mengusakan mencapai keinginan, harapan, dan impian, hal-hal yang menurut orang lain biasa saja, justru akan terasa luar biasa jika dilakukan dengan kejujuran pada diri sendiri. Motivasi itu terbentuk seketika karena kekuatan adaptif dari pikiran, perbuatan, dan kegiatan yang dilakukan.Â
Sudahkah meninggalkan sejenak rasa gengsi ini ? Rasanya ringan sekali jika tidak ada beban hanya karena omongan orang atau kelompok sosial. Anggap saja itu bahan bakar untuk jauh lebih sukses kedepannya dan sebagai pengingat nyata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H