Bagaimana harga pangan hari ini?Â
Pertanyaan ini akan terlintas ketika hidup ini sudah mencapai menanggung biaya mandiri dan tanggungan kehidupan lainnya yang dibebankan pada dirinya di mana finansialnya terbagi-bagi dalam setiap prioritas dan kebutuhan, tentunya kebutuhan paling dasar itu ya pangan.Â
Bahkan manusia purba berburu pun ya untuk makan disisi lain untuk perlindungan dan ketahanan, tapi yang utama itu pasti aktivitas konsumsi. Apalagi masa kini di mana manusia sudah pada tahap meningkatkan kreativitas karena kecerdasannya, ditambah mereka memiliki banyak pilihan dan kesempatan ingin hidup seperti apa yang diterjemahkan melalui ekspektasi, harapan, proyeksi, bahkan melibatkan dirinya dalam banyak sektor.Â
Namun ketika waktu menunjukkan waktu istirahat, katakanlah pukul 10.00 atau pukul 12.00 siang kegiatan pekerjaan pun terhenti untuk istirahat yang diantaranya hadir istilah ishoma (istirahat, sholat (hal ini muncul dari mayoritas pekerja yang beragama islam untuk melakukan sholat dzuhur) dan makan).Â
Setelah mengunjungi laman hargapangan.id, untuk mengecek bagaimana harga pangan hari ini menurut survei bahwa harga komoditas pangan yang melonjak naik ada pada bawang putih ukuran sedang dan gula pasir lokal.
Sedangkan harga normal ada pada komoditas beras kualitas super, telur ayam ras segar, minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan, dan gula pasir kualitas premium.
Harga yang turun dari biasanya berada pada komoditas cabai (rawit, merah, dan hijau). Ini baru beberapa komoditas pangan saja. Sedangkan seorang individu membutuhkan beragam pangan. Dan harga pangan akan menentukan kualitas isi piring.Â
Jadi, jika masih ada promotor kesehatan yang terus meneriakkan sosialisasi makan makanan seimbang, mereka lupa dengan keadaan akses pangan melalui harga pangan, yang bisa saja bagi seorang individu itu kemahalan atau bagi beberapa orang yang mengolah komoditas ini untuk bahan jualan yang diolah terasa berat karena ditekan oleh harga jual dan bisa saja ada harga sewa tempat dan logistik yang kadang jarang digabungkan untuk harga jual.Â
Hal ini menjadi kontemplasi bersama bahwa benar adanya jika pangan murah itu haruslah suatu keharusan, karena akan menjadi beban tersendiri untuk Indonesia yang selalu menggunakan kalimat:
Negara agraris (jika ya, pangan berlimpah bahkan menjadi eksportir setelah bangsanya kenyang), negara megabiodiversitas (saking terurusnya dengan bijak, maka Indonesia harusnya bisa menjadi pusat penyeimbang rantai makanan sesungguhnya karena spesiesnya beragam dan habitatnya terjaga serta tidak ada konflik satwa liar dengan manusia), negara kedatuan maritim Kerajaan Sriwijaya (di mana kejayaan maritim nusantara bisa mendobrak pasokan-pasokan ikan-ikan terbaik dari laut ujung Sabang sampai Merauke karena nelayan-nelayan yang hebat dengan hasil tangkap berkualitas), negara kaya akan budaya (isinya adalah manusia-manusia berkualitas yang ahli dalam melestarikan melalui kreativitas sumber daya dan memberikan dampak perilaku menakjubkan berdampak solutif dan tidak merusaknya dari perilaku-perilaku menyimpang).Â
Dari Desa ke KotaÂ
Apa yang menyebabkan harga kuliner di perkotaan selalu mahal? Pajak? Resep dari seorang ahli (pengolah)? Biaya sewa tempat akomodasi dan logistik sistem pangan (produksi, distribusi, konsumsi)?Â
Jawabannya adalah minimnya ketersediaan pangan perkotaan sehingga harus ada pasokan dari luar lokasinya, dan semua harga dihitung dan dibebankan pada satuan harga pangan di mana aslinya harganya itu amat sangat murah meriah.Â
Sebagai contoh fenomena dilansir dari laman pemerintah Kota Bandung yang mewartakan pada tahun 2016 bahwa kota Bandung saja harus menyediakan pasokan pangan dari luar kota Bandung karena alih fungsi lahan.
Hal ini jelas menyimpulkan bahwa tidak ada lahan untuk bercocok tanam dan kurangnya kreativitas sosial untuk pemberdayaan serta tidak ada motivasi menanam karena tidak terbiasa dan gerakan bertani untuk bersama itu hilang, maka di sinilah harus kembali bahwa definisi gotong royong bukan hanya membuat jembatan, gapura, atau jalanan rusak.Â
Namun kebutuhan dasar pun pasokannya harus disediakan bersama, karena kebutuhan itu dibutuhkan hampir setiap saat dan tidak akan berhenti bahkan ketika generasi bertambah justru keperluan konsumsi semakin bertambah, bahkan bersyarat.Â
Misalnya untuk keluarga muda yang memiliki bayi dan balita tentunya ada kepentingan membeli makanan lain di luar ASI bahkan permasalahan ASI tidak keluar pun suatu keluarga harus menanggung biaya pengganti makanannya di mana harga susu formula yang cocok rata-rata mencapai ratusan ribu dan hanya cukup 1-2 minggu saja karena memang netto-nya sedikit tapi kebutuhannya sering.Â
Belum lagi jika ada lansia atau orang tua yang harus menghindari berbagai makanan karena ada pantangan dan ada pengaruh farmakologi gizi jika konsumsi, farmakologi adalah ilmu tentang interaksi makanan, sistem pencernaan, dan diagnosis/penyakit yang diderita.Â
Hal ini jarang menjadi bahasan lebih lanjut, dan hal ini menyebabkan abainya penduduk perkotaan yang dimanjakan akan kemudahan akan akses pangan tidak memikirkan biaya lanjutannya.Â
Maka dari itu, penduduk kota akan berusaha begitu keras untuk mencapai finansial yang mumpuni untuk keperluan konsumsi sebagai landasan perhitungan pengeluaran, kemudian dibebankan dengan harga biaya tinggal dan transportasi-akomodasi (walau bagaimanapun selalu mencari alternatif agar hidup ini nyaman dan aman, karena masih cukup berisiko jika memaksimalkan transportasi publik pada jam-jam kerja).
Maka, dari itu keuangannya pun digunakan untuk biaya kendaraan dan bahan bakarnya, belum biaya kebutuhan lain. Jika salah satu kebutuhan dipangkas bahkan bisa tidak mengeluarkan biaya apapun karena ketersediaan pangan terpenuhi dari sekitarnya karena ada pemberdayaan perkebunan komplek dari petani komplek, maka kebutuhan konsumsi akan digunakan untuk keperluan kehidupan lainnya.Â
Melansir dari data Badan Pusat Statistik tahun 2021, penduduk Indonesia menghabiskan Rp. 1.300.000 per bulan untuk konsumsi.Â
Pesan Orang Desa untuk Orang KotaÂ
Bertanilah! Berkebunlah! Gotong Royonglah di bidang pangan untuk ketersediaan area sendiri!Â
Hal ini harus dibiasakan dan diluangkan walau terbatas, ajaklah generasi muda dan anak-anak membiasakan diri untuk menyiapkan pangannya, makanannya, berdiskusilah tentang isi piring hari ini, hari esok dan masa depan.Â
Karena pertumbuhan kehidupan begitu cepat, sedangkan para petani di pedesaan menua, anak-anak muda bekerja di ranah digital dan yang bertani masih kurang bahkan minim.
Gantilah definisi kesuksesan itu dengan citra bahwa yang mengolah tanahnya dan melestarikan sumber daya itulah orang sukses, karena betapa gemerlapnya godaan perkotaan yang memanjakan diri, hingga lupa untuk makan masih mengeluarkan biaya yang mahal. Padahal cita rasa bisa disiasati dari berlimpahnya pangan-pangan yang beragam dari apa yang ditanam.Â
Jadi, sudah sebanyak apa ketersediaan pangan perkotaan hari ini? Sudahkah tidak bergantung pada pasokan pangan dari desa?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI