Dari Desa ke KotaÂ
Apa yang menyebabkan harga kuliner di perkotaan selalu mahal? Pajak? Resep dari seorang ahli (pengolah)? Biaya sewa tempat akomodasi dan logistik sistem pangan (produksi, distribusi, konsumsi)?Â
Jawabannya adalah minimnya ketersediaan pangan perkotaan sehingga harus ada pasokan dari luar lokasinya, dan semua harga dihitung dan dibebankan pada satuan harga pangan di mana aslinya harganya itu amat sangat murah meriah.Â
Sebagai contoh fenomena dilansir dari laman pemerintah Kota Bandung yang mewartakan pada tahun 2016 bahwa kota Bandung saja harus menyediakan pasokan pangan dari luar kota Bandung karena alih fungsi lahan.
Hal ini jelas menyimpulkan bahwa tidak ada lahan untuk bercocok tanam dan kurangnya kreativitas sosial untuk pemberdayaan serta tidak ada motivasi menanam karena tidak terbiasa dan gerakan bertani untuk bersama itu hilang, maka di sinilah harus kembali bahwa definisi gotong royong bukan hanya membuat jembatan, gapura, atau jalanan rusak.Â
Namun kebutuhan dasar pun pasokannya harus disediakan bersama, karena kebutuhan itu dibutuhkan hampir setiap saat dan tidak akan berhenti bahkan ketika generasi bertambah justru keperluan konsumsi semakin bertambah, bahkan bersyarat.Â
Misalnya untuk keluarga muda yang memiliki bayi dan balita tentunya ada kepentingan membeli makanan lain di luar ASI bahkan permasalahan ASI tidak keluar pun suatu keluarga harus menanggung biaya pengganti makanannya di mana harga susu formula yang cocok rata-rata mencapai ratusan ribu dan hanya cukup 1-2 minggu saja karena memang netto-nya sedikit tapi kebutuhannya sering.Â
Belum lagi jika ada lansia atau orang tua yang harus menghindari berbagai makanan karena ada pantangan dan ada pengaruh farmakologi gizi jika konsumsi, farmakologi adalah ilmu tentang interaksi makanan, sistem pencernaan, dan diagnosis/penyakit yang diderita.Â
Hal ini jarang menjadi bahasan lebih lanjut, dan hal ini menyebabkan abainya penduduk perkotaan yang dimanjakan akan kemudahan akan akses pangan tidak memikirkan biaya lanjutannya.Â
Maka dari itu, penduduk kota akan berusaha begitu keras untuk mencapai finansial yang mumpuni untuk keperluan konsumsi sebagai landasan perhitungan pengeluaran, kemudian dibebankan dengan harga biaya tinggal dan transportasi-akomodasi (walau bagaimanapun selalu mencari alternatif agar hidup ini nyaman dan aman, karena masih cukup berisiko jika memaksimalkan transportasi publik pada jam-jam kerja).