Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tutorial Mengulas Makanan Secara Otodidak Berbekal Pengetahuan

2 April 2023   20:19 Diperbarui: 3 April 2023   11:54 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi review makanan (Sumber: Al Arabiya via kompas.com)

Perkembangan media sosial yang hampir sudah tidak memiliki nilai-nilai sosial yang berdampak baik bagi kehidupan nyata sedang populer akhir-akhir ini, dimulai dari konten membongkar aib sendiri atau orang lain bahkan publik figur, curhat kebablasan tanpa sensor, wawancara mendalam dengan cara introgasi ke ranah privasi kemudian terpublikasi, investigasi harta kekayaan seseorang dicampur fitnah dan sumber yang tidak kredibel, mendokumentasikan kehidupan pribadi secara menyeluruh sampai menelanjangi suatu objek dan mengulasnya tanpa mahir di bidangnya yang bermodalkan nekat, coba-coba, iseng-iseng, mengikuti ketenaran, mengimitasi sesuatu bahkan tidak mengerti ranahnya dengan tujuan viral, objek tersebut juga termasuk makanan dan pelayanannya. 

Fenomena apa yang sedang terjadi pada kalangan pengguna media sosial yang ternyata diam-diam meraup keuntungan dari konten yang diciptakan karena ada transaksi materil yang digerakkan seperti adanya iklan dan pemasaran (endorsement) setelah memiliki penggemar maya yang banyak atau melampaui minimum standar jenis media sosial untuk bisa meraih pendapatan minimal? 

Kevin Kelly seorang futuris dan jurnalis sosial, teknologi, dan bisnis berkebangsaan Amerika yang pernah mengamati fenomena perkembangan ekonomi kreatif yang menciptakan berbagai konten menyempatkan menulis beberapa risetnya dalam beberapa esai dan buku diantaranya: esai yang berjudul 1000 True Fans yang mengulas ketika seorang konten kreator yang sudah memiliki penggemar minimal 1000 orang yang setia, maka disitulah pundi-pundi penghasilan akan muncul, bertambah, bahkan berlipat ganda karena adanya publikasi /eksposur yang lebih sering. 

Ketika publikasi ini meledak dan menjadi konten favorit, banyak disimak, banyak dibagikan, disitulah keganasan digital akan meradang dimana hal ini dijelaskan dalam bukunya Kelly yang berjudul Out of Control: The New Biology of Machines, Social Systems, and the Economic World yang menyimpulkan hubungan simbiosis antara teknologi dan manusia, dapat membentuk cara manusia : berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar baik secara daring atau tidak. 

Namun, ketika semuanya berlebihan, disitulah muncul hal-hal yang mengarah pada anti-kemanusiaan dimulai dari arogansi, diskriminasi, sampai tindakan kriminal, semua berawal dari tidak adanya kontrol diri antara teknologi dan fungsi. 

Apa Hubungannya Dengan Cara Mengulas Makanan? 

Sebenarnya, mengulas makanan sudah dilakukan pada abad ke-16 yang bermula pada kerajaan romawi, hal ini bisa ditelaah lebih lanjut pada buku Cooking Apicius yang memuat resep-resep romawi. 

Kembali pada ulasan makanan, tujuan mengulas makanan pada saat itu adalah untuk kelayakan rasa untuk hidangan pesta dan kegiatan diplomasi antar raja-raja Eropa pada masanya. 

sumber gambar : istockphoto.com
sumber gambar : istockphoto.com

Saat ini media publikasi sudah tak terhitung dengan jutaan penggunanya di seluruh dunia dan ini berdampak bagi segala ranah, termasuk makanan dan kegiatan mengulas makanan, karena saat ini setelah hadirnya media sosial tanpa batas (walau dalam pendaftarannya harus ada batas usia, tapi masa kini sudah ada jasa pembuat akun yang tidak terkontrol sehingga inilah kebebasan berekspresi yang tidak terkendali). 

Mengulas makanan dalam etika makan ditawarkan pada mata kuliah Kuliner dasar dan lanjut (jurusan ilmu gizi, jenis vokasi dengan sebutan jenjangnya Diploma III atau IV) dan mata kuliah etika moral ekologi pangan dan kuliner jika mengambil jurusan gastronomi, tentunya kampus-kampus di luar negeri yang lebih dulu mempelajari etika makan karena budaya menikmati makanan adalah hal yang sangat simbolis untuk memperlihatkan status sosial.

Semakin rinci aturan makan dan semakin lengkap hidangannya, semakin menunjukkan status sosial tertinggi dan masuk kaum elit bahkan keluarga kerajaan. 

Sekarang etika makan sudah sangat fleksibel dilakukan, namun ada perilaku dan sikap yang masih dipertahankan untuk etika makan apalagi jika ingin mengulas makanan dalam kepentingan profesional. 

Tutorial Mengulas Makanan Secara Otodidak 

Tentu saja, hal ini menjadi tren tersendiri karena selain untuk sumber informasi hal ini bisa menambah pundi-pundi pendapatan karena publikasi. Namun, edukasi mandiri pun penting diketahui agar ulasan makanan ini lebih memiliki makna selain kenikmatan yang didapat. 

Inilah beberapa tutorial mengulas makanan yang berbasis pengetahuan yang didapat dari bangku perkuliahan yang bisa dipraktikan oleh orang awam, tentu saja hal ini penting disampaikan agar kesembronoan tidak semakin berkembang sehingga kepongahan semakin bertingkat,dimulai dari hal yang amat sangat sepele yaitu menikmati sajian, hidangan, makanan. 

Contoh yang akan ditampilkan dan disajikan adalah Sate 

sumber gambar : istockphoto.com 
sumber gambar : istockphoto.com 

Begini cara mengulasnya yang diakumulasikan dari berbagai multidisiplin ilmu yang berhubungan : 

1. Pahami lokasi kulinernya (contoh lokasi: tempat jualannya kaki lima, kedai sate, restoran, atau rumahan bahkan dibeli secara daring melalui layanan pesan antar). 

Hal ini perlu dipahami bahwa kondisi jualan akan mempengaruhi ambience atau suasana pendukung yang memiliki karakteristik berbeda-beda dan tidak bisa dibandingkan jika status lokasinya tidak setipe. 

Misalnya ingin membandingkan rasa kaki lima dengan bintang lima. Itu salah konsep karena dari segi standar pun berbeda. Namun, jika membandingkan antara sesama lokasi yang serupa dari segi cita rasa, maka pengulas makanan sudah mengerti definisi menunya. 

2. Pelajari asal-usul menunya. Misalnya adalah sate (sate di Indonesia itu banyak tipenya dan bahannya berbeda-beda, begitu pula bumbunya). 

Asal-usul menu bisa dilihat dari kata kunci: makanan khas, makanan pokok, kuliner asal, pola konsumsi masyarakat, atau kreasi hasil migrasi kuliner namun masih kental dengan resep original (asli) dari tempat asal penjual. Maka dari itu ilmu sosial budaya itu penting diketahui, agar tidak keliru mengulasnya. Itu sebabnya tidak asal grebek, mendadak, atau tiba-tiba atas nama spontanitas. 

3. Jika ingin fokus pada organoleptik (rasa, aroma, tekstur). Dalam ilmu teknologi pangan dasar, disarankan dalam keadaan tidak lapar agar lebih objektif dalam merasakan berbagai perpaduan bahan-bahan, bumbu, topping, maupun bahan pelengkap yang ditambahkan. 

4. Jika makanan yang disajikan (dalam hal ini adalah sate) tidak sesuai harapan secara subjektif/personal, maka pengulas makanan harus memahami definisi rasa dan tingkatannya. Misalnya dalam mendefinisikan daging yang alot (sudahkah mengetahui tingkatan daging alot itu bagaimana tampilannya? rasanya? teksturnya? bentuknya? pembandingnya?)

Hal ini tentu tidak mudah, makanya perlu bekal informasi dan pengetahuan, karena mendefinisikan ulasan makanan itu tidak sembrono, makanya dalam profesionalitas, mendokumentasikan pembuatan makanan itu sangat sensitif, karena untuk meminimalisir perspektif awam yang kebanyakan tidak memiliki ilmu dasarnya (Hal ini bukan maksud menyinggung, tapi dalam pelayanan makanan selalu ada prosedur ketat, dan selalu ada titik kritis/hazardous). 

5. Setidaknya mengetahui informasi macam-macam jenis teknik pengolahan dan produknya, sehingga ketika mengulas makanan, bisa menyampaikan pengaruh teknik olahnya pada makanan yang dinikmatinya. 

6. Hindari pesanan jasa mengulas makanan yang memberatkan harus mengatakan enak, pengulas makanan dituntut dalam kejujurannya namun disampaikan secara santun dan objektif. Hal ini tentunya perlu jam terbang lebih sering dalam praktiknya, alias tidak ujug-ujug. 

7. Cicipi secukupnya, tidak brutal dan bukan mukbang atau tradisi menikmati hidangan dalam porsi besar dan banyak. Karena akan menghilangkan keakuratan objektivitas organoleptik. Makanya, dalam kegiatan icip-icip selalu tersaji dalam porsi-porsi kecil. Pernah coba? 

8. Gunakan pakaian yang tidak mengundang perhatian, karena akan banyak gangguan ketika melakukan ulasan makanan, selain risih diperhatikan orang jika tempatnya tidak terlalu mendukung, hal ini akan membuyarkan konsentrasi karena terlalu banyak atensi. 

9. Setidaknya lakukan observasi satu sampai dua kali untuk mencoba menu yang sama, alasannya agar daya kecap terbiasa dengan menu yang akan diulas. Sehingga mempertajam definisi ulasan. Akan beda sekali dengan yang hanya mencicipi pertama kali dan selesai begitu saja, setidaknya sudah melatih profesionalisme dalam mengulas. Bahkan pengulas makanan yang sudah pakar dan terbiasa, perlu datang puluhan kali untuk mengulasnya. 

10. Siapkan catatan, jika liputannya akan tayang setelah lulus editorial atau proses editing, agar semua situasi dalam menikmati hidangan bisa terdokumentasi. 

Jika, liputannya langsung, biasakan nikmati dahulu makanannya baru diakhir dijelaskan, agar ketika berbicara tidak muncrat atau mengeluarkan remahan makanan yang ada di mulut. 

Contoh narasi ulasan sate (kondisi sate sudah dingin, gosong, sambal sedikit, daging alot, situasi banyak lalat mengerubungi, harganya kisaran 80 ribu rupiah yang tergolong mahal, tidak diberi minum gratis).

Halo, pecinta kuliner! Saya (sebutkan nama dan channel atau redaksi yang mewakili), saat ini sedang berada di kawasan sate legendaris kaki lima wilayah (sebutkan tempatnya). Sate ini sudah terhidang 30 menit yang lalu, setelah dicicipi tekstur dagingnya sudah baik, namun bagi yang tidak kuat mencicipi daging yang terlalu matang, rupanya perlu cara lain untuk menikmatinya yaitu dilepaskan dari tusukan dan gunakan sendok untuk memudahkan, terlihat sambalnya bisa mencukupi 2-3 potong daging saja dan jika perlu tambahan sambal atau bumbu, karena posisinya di kaki lima, penonton bisa berkabar dengan pemiliknya agar dipasang lilin di dekat meja seperti yang sudah saya lakukan, agar menikmati seporsi sate ini bisa terbebas dari berbagai gangguan yang ada, untuk harganya adalah 80 ribu rupiah (pengulas ingin menyebutkan mahal), harganya 80 ribu rupiah untuk 30 tusuk, dan jika ingin mencicipi 5 tusuk saja bisa kurang dari itu harganya, untuk pilihan minum bisa memesan es teh manis karena menikmati sate di sini begitu kondisinya. Sisanya bisa mendefinisikan beberapa ragam yang ada dalam sajian. 

Setelah mengulas, jika ada masukan bisa langsung disampaikan pada penjualnya tanpa harus menyebarkan informasi buruk pada khalayak, walau bagaimanapun dalam usaha makanan dan kuliner, ada hal-hal tersembunyi yang mungkin saja menyakiti, selebihnya pengulas makanan harus memposisikan diri dengan kegiatan menikmati. 

Selamat mencoba dengan improvisasi sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun