Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

H+1 Hari Antropologi Sedunia: Antropologi Pangan Menyoroti Etnopangan dan Etnobotani untuk Perbaikan Sistem Pangan Indonesia

17 Februari 2023   19:00 Diperbarui: 18 Februari 2023   07:56 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis, 16 Februari 2023 adalah hari Antropologi Sedunia, sebagai kiprah peneliti independen yang afiliasinya masih direndahkan sesama kerabat (kerabat adalah panggilan sesama antropolog). 

Karena bukan dari keilmuan antropologi, memberanikan diri mengadakan dialog sistem pangan dengan platform dari PBB bernama UN Food Systems. 

Dialog sistem pangan ini berjudul Perspektif Antropologi Pangan: Etnopangan dan Etnobotani dengan konvenor atau penyelenggara dari Pusat Studi Independen Antropologi Pangan yang bersekretariat di pedesaan, Jawa Barat. 

Pusat Studi Independen Antropologi ini terbentuk karena ketidakpuasan mata kuliah antropologi gizi dan pangan yang tidak mendalam, dan mata kuliah antropologi selalu mampir pada program studi apapun baik pada rumpun sosial atau bukan, jadi ketika antropologi lain bermunculan, harusnya diberikan apresiasi dan bukan dikritisi tubuh afiliasinya, namun sejauh mana kiprahnya dan keinginannya dalam mengembangkan antropologi yang diminatinya. Terlebih antropologi pangan. 

Sumber gambar: dokumentasi pribadi
Sumber gambar: dokumentasi pribadi

Terlalu jauh apabila masyarakat Indonesia ingin belajar antropologi pangan harus ke Inggris, Amerika, Australia, Selandia Baru, dengan paradigma Khas Barat, namun ketika kembali ke Indonesia dinamika sosialnya sudah berbeda. Mengapa tidak antropolog pangan dari medan mengkaji pangan di Bali ? Antropolog pangan dari Papua mengkaji pangan di Jawa Barat ? Itulah silang budaya jika ingin berbicara Indonesia dalam perbedaan. 

Karena menilik antropologi pangan di Amerika bahasannya akan sangat liberal seperti : sarapan para lesbian, snack favorit LGBT+, Petani transgender, apakah hal demikian yang perlu diterapkan di Indonesia dalam perspektif pangan dan gender? Dimana ketersediaan pilihan agama di Indonesia saja masih ada 6: Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu. 

Hal tersebut masih amat sangat sensitif menjadi dialog masa kini karena kontradiktif dengan kebiasaan masyarakatnya yang tidak biasa memandang perbedaan pendapat dari satu individu dan kelompok. 

Antropologi pangan dari Inggris, membahas hal-hal kerajaan monarki, memangnya Indonesia tidak punya? Akan sangat menjadi potensial apabila menu-menu kerajaan dari Indonesia disajikan kembali dengan transformasinya, tidak hanya cerita budaya bahwa makanan ini sajian para raja, hari ini sudah tahun 2023 sajian apapun ketika dibuat komersil itu bisa dinikmati oleh pembelinya. 

Antropologi pangan dari Australia, selalu memperlihatkan hasil teknologi pertaniannya dan kecanggihan industri pangannya, tentunya dengan harga yang tidak terjangkau bagi pendapatan orang-orang Asia, apalagi UMR beberapa daerah di Indonesia, hal ini akan selalu bertentangan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Karena begitu banyak ketimpangan dari masalah nominal dan kepemilikan. 

Antropologi pangan Indonesia, sudah saatnya setiap orang, setiap kepala keluarga, kelompok pertemanan, kelompok generasi terdahulu menceritakan makanannya, kulinernya, dan cita-cita bahan pangan apa saja yang ingin dinikmati dan harapan-harapan baik tentang cita rasa makanan secara bijaksana. 

Sudahlah, memperebutkan siapa yang paling antropologi akan menimbulkan kekeruhan komparatif (alias membanding-bandingkan tanpa solusi dan berakhir damai).

Belajar saja dari bahasa daerah yang memudar, mayoritas orang-orang Indonesia tidak mengerti bahasa daerah berbagai etnis yang ada, malah fasih berbahasa inggris dan bahasa asing, apa itu tidak menjadi suatu pelajaran bahwa muatan lokal sudah tereduksi ? Pantas saja orang sunda tidak bisa bahasa jawa, karena memang tidak ada urgensi itu, karena ada bahasa nasional dan lebih dihargai jika bisa berbahasa asing. 

Apakah sektor pangan juga akan begitu ? Antropologi pangan juga akan tersisihkan lagi ketika kedaulatan pangan, ketahanan pangan, ketersediaan pangan dan harga pangan sulit dikendalikan ? Karena harga pangan yang selalu naik itu menandakan ketidakmampuan manajemen sistem pangan yang terkendali. Kalau sukses ya harga pangan terbeli oleh seluruh lapisan masyarakat, bahkan masyarakat tidak mampu pun akan bilang pangan ini murah, saking terjangkaunya. 

Justru kehadiran antropologi pangan di Indonesia adalah untuk memberikan khazanah keilmuan dari makanan dan budaya, yang begitu lekat dengan keseharian, karena memang hal utama dari kehidupan adalah konsumsi. Pemenuhan gizi setiap orang berbagai usia perlu diperhatikan untuk kualitas individu. 

Hal yang dilakukan di desa memang tidak selalu menarik perhatian, karena desa identik dengan keterlambatan dan tertinggal, namun isi pikiran warga desa bisa didalami karena warga desa memiliki pengetahuan lokal dimana hal ini tidak masuk kurikulum. 

Silakan lihat sejenak potensi tahun 2023 yang disyaratkan oleh forum ekonomi dunia semuanya mengarah pada digitalisasi dan potensi-potensi kekinian yang lingkupnya memerlukan bantuan logistik performa tinggi, minimal aplikasi yang terinstal pada ponsel pintar.

Tapi, forum ekonomi dunia tidak pernah menyebutkan potensi adaptasi dan resiliensi warga desa atau orang kampung untuk bisa bertahan hidup dan bisa kreatif. Potensi orang desa jelas mengarah pada keberlanjutan dan secukupnya tidak mengarah pada eksploitasi semena-mena yang mengeruk tanpa memikirkan luka-luka ekologis. 

Jarang sekali skill (potensi) orang desa seperti : ahli menyelam di sungai, ahli panjat pohon kelapa, ahli meramu obat tradisional, ahli merajut daun kelapa, ahli menganyam daun lontar, ahli berkreasi dari sabut kelapa, ahli mengawinkan hewan ternak, ahli pengindraan jarak jauh pada migrasi burung, ahli tebar benih, ahli huma sawah, ketika hal seperti ini hilang, maka bersiaplah untuk membiayai jasa-jasa kemampuan tradisional yang dimesinkan atau dari tenaga SDM luar Indonesia yang bermigrasi ke Indonesia. Apa itu bukan hal yang mencemaskan bagi masa depan generasi pedesaan ? 

Sejenak merenung, bahkan transisi pekerjaan menjadi antropolog pun masih ditanyai latar belakang pendidikannya darimana asalnya untuk bisa menikmati ilmu antropologi. Sangat bertolak belakang dengan quote Antropolog Senior Ruth Bennedict yang bilang bahwa : 

"The purpose of anthropology is to make the world safe for human differences." 

Lantas ketika berbeda pendapat dan bermunculan antropologi bidang lainnya, maka major wajib antropologi merasa tersisihkan dan tersaingi, major wajib itu diantaranya : antropologi biologi, antropologi sosial, antropologi arkeologi, dan antropologi linguistik (Asosiasi Antropolog Amerika) dan itu terasa di Indonesia bahwa penerimaan antropologi di bidang lain yang lebih sempit, spesifik kurang mendapat perhatian bahkan bisa saja tersisihkan, padahal dalam prinsip metode penelitian antropologi adalah spesifik, namun mendalam. 

Singkatnya "ga semua diembat dibahas". Dan ini sudah dilakukan di beberapa kampus di Inggris bahwa bidang antropologi sudah bercabang menjadi lebih fokus, bahkan membahas hantu saja ada departemennya. 

Latar Belakang Dialog Sistem Pangan ini didasari karena mirisnya melihat komoditas pangan dari kampung sering kalah saing dengan komoditas pangan hasil industri pertanian. 

Hal lain, tentu saja banyak hilangnya lahan pertanian produktif terpaksa gulung tikar karena tidak bisa bersaing dengan kebutuhan, akhirnya tanah pertanian dijual dan dibangun menjadi perumahan kekinian bertema minimalis dan ramah lingkungan (bagi kelompoknya). 

Etnopangan membahas pangan yang berhubungan dengan masyarakat sedangkan etnobotani membahas tumbuhan yang berhubungan dengan masyarakat, jika disatupadukan hal ini akan menciptakan keberlanjutan ekologis, menekan reduksi pembangunan industri mangkrak, investasi properti belum laku, dan mensejahterakan makhluk hidup lain. 

Jika satu keluarga bisa memaksimalkan potensi komoditas pangan dan tumbuhan, maka, beberapa persoalan sosial, ekonomi, dan budaya perlahan akan mengecil karena salah satu permasalahan kelaparan teratasi dengan minimnya transaksi untuk membeli kandungan gizi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun