Tahun baru 2023 harus dihiasi dengan berbagai pencapaian dari segala hal, termasuk kekayaan sumber daya alam, namun nyatanya banyak hal-hal utopis yang direncanakan besar-besaran tanpa dikaji multisektoral, hal ini jelas mengancam pada keberlanjutan setiap ekosistem yang ada.Â
Ingatkah dengan harapan dan gembar-gembor para pejabat publik tentang akan dibangunnya LIN atau Lumbung Ikan Nasional dan Ambon New Port (rasanya seperti akselerasi metropolis) di Maluku dimana Pulau cantik sumber kehidupan masyarakatnya akan terancam jika LIN ini beroperasi, pulau itu bernama Pulau Pombo, dan informasi terbaru proyek LIN ini dibatalkan karena alasan geografis dan historis.Â
Mengapa main tancap gas dulu baru dihentikan setelah setengah jalan? Apakah tidak ada para ahli di bidang maritim yang memberikan pengarahan sebelumnya? Apakah penolakan masyarakat sekitar bukan bentuk reaksi atas keberatannya dan ketidaksetujuannya terhadap hal-hal baru?Â
Seketika informasi akan adanya Lumbung Ikan Nasional ini seperti harapan besar akan kualitas dan produktivitas pangan air, dan inilah Indonesia dengan kekuatan maritimnya.Â
Kejayaan maritim telah kembali.Â
Sayangnya tidak, bahkan harapan itu musnah seketika dari hal-hal yang tidak terencana secara matang. Mari menelisik sejenak tentang Budaya Bahari dan Maritim, dari Masa Lalu ke Masa Depan (Kemajuan Ilmu dan Teknologi Kelautan) yang ditulis oleh Fasano dkk yang menjelaskan bahwa :Â
Sejak awal sejarah, laut telah menghubungkan dan memisahkan masyarakat manusia. Untuk mengatasi hal ini, solusi teknologi yang semakin cerdik dan inovatif telah dikembangkan, dan laut tidak pernah menjadi penghalang yang tidak dapat diatasi bagi umat manusia.
Bahkan seorang ahli maritim pun mendukung pada kebiasaan dan budaya masyarakat pesisir dan masyarakat sekitarnya dalam bertanggung jawab dan mengurusi ekosistemnya, untuk inovasi dan teknologi, sudahlah tidak usah serakah, toh pada akhirnya jika para nelayan sejahtera, hasil tangkap ikan pun akan lebih banyak dan tidak adanya eksploitasi berlebihan.Â
Hal lain Fasano dkk menyebutkan :Â
Aspek konseptual dan teoretis yang berkaitan dengan budaya bahari dan maritim meliputi: sejarah kapal dan navigasi; museum dan perpustakaan maritim; arsitektur angkatan laut dan evolusi teknik kelautan; konservasi warisan bahari dan maritim; kapal dan desain bahari; karir di laut; dan evolusi tepi laut dan lingkungan laut pesisir.
Sayangnya, aspek konseptual dan teoritis dalam mengkaji Lumbung Ikan Nasional tidak mendalami faktor-faktor sosial humaniora yang justru itulah yang akan menimbulkan problematika baru dari dampak yang dilakukan.Â
Tapi mengapa Lumbung Ikan Nasional ini tidak kental referensi dan sudah dikaji oleh beberapa ahli bahkan dirunutkan dari sejarah keberhasilan tata kelola kelautan dan perikanan. Nelayan tradisional dengan budayanya adalah pengolah ekosistem terbaik karena sudah menyatu dan sudah menjadi pilihan hidupnya.Â
Bahkan mereka bisa bersinergi terhadap lingkungan, serakus-rakusnya nelayan tradisional tidak sampai menghabiskan ikan seperti kapal besar dan kapal asing yang mengeksploitasi rakus pada laut Indonesia dimana kapal asing yang menangkap ikan mengeruk habis jatah ikan bagi nelayan dengan peralatan tradisional. Rasanya tidak adil dan tidak pantas jika Lumbung Ikan Nasional digadang-gadang sebagai kedaulatan pangan air. Terlalau istimewa dan tidak memiliki falsafah ekologi.Â
Sedangkan secara sederhana kedaulatan menurut kbbi adalah kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya. Artinya masyarakat dan individu pun harus berkuasa atas apa yang dimilikinya termasuk sumber daya alamnya dan ruang hidupnya.Â
Dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya harusnya mengedepankan kesejahteraan nelayan dan pengelolaan lingkungannya terlebih dahulu, barulah imajinasi besar untuk beretorika mulai dikembangkan, negara ini jika masih berdaulat pada ekologi manusianya maka harusnya yang memiliki wewenang mengesampingkan kepentingan elit, dan itulah kenikmatan kebudayaan sebenarnya, dimana dari kompilasi ilmu pengetahuan, tradisi, potensi, filosofi dapat menyeimbangkan hak-hak masyarakatnya yang tinggal pada setiap ekosistemnya, dan disitulah dukungan sesuai kebutuhan harusnya dipenuhi.Â
Renungan utopis ini tentang Lumbung Ikan Nasional ini terdiri dari beberapa hal :Â
1. Dampak UU Cipta Kerja yang memperbolehkan kapal-kapal asing menangkap ikan.Â
2. Keberadaan Kapal-Kapal Korporasi Perikanan.Â
3. Overfishing (suatu jenis ikan diambil lebih cepat dibanding dengan pembiakan stok spesies tersebut untuk menghasilkan penggantinya).Â
4. Nelayan melaut lebih jauh dan lebih lama sehingga bisa langsung disimpulkan, ketersediaan komoditas pangan air menurun dan hampir habis.Â
5. Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Bagi Nelayan.Â
6. Jarak 20-30 Mil bagi nelayan untuk hasil ikan tuna, dengan modal hampir Rp. 700.000 ke atas untuk bahan bakar, dan hasil tangkap dihargai Rp. 1.000.000. Jadi untungnya berapa ? Rp. 300.000 saja ?Â
Sebagai penggemar ikan dan alternatif protein hewani lain, setidaknya urusan kedaulatan berbagai ekosistem penghasil pangan harus menjadi perhatian bersama, agar laju neraca harga pangan bisa murah bagi konsumen, dan bisa mahal untuk produsen tanpa harus menambah kerusakan pada lingkungan yang tidak pernah diberi jeda untuk merestorasi keadaannya sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H