Aroma bumbu kacangnya yang semerbak, mbok-mbok bahkan mbak-mbak yang jualan pecel selalu membuat terpana dengan kesederhanaanya serta dibalik rentetan jinjingan dan baskom yang numpuk ada perjuangan kehidupan yang bersumber dari komoditas-komoditas pertanian lokal.Â
Dibeli dari pasar lokal, dipetik dari kebun pribadi, bertukar komoditas dengan kelompoknya, tak peduli sumbernya darimana pokoknya dari produksi, distribusi sampai konsumsi sepiring pecel daerah manapun selalu memberikan kesan :Â
"baiklah, besok-besok seporsi lagi ditambah kerupuk atau topping lainnya"Â
Pada kesempatan segmen Literasi Kuliner dari komunitas Hello Makna Kata inilah sajian literasi kuliner ini tersampaikan, hal ini semoga bisa mengajak kembali beberapa orang agar memprioritaskan kudapan lokal ini, terutama dalam sepiring pecel, setidaknya ada kontribusi pada lingkungan dimana ada reduksi konsumsi lemak.Â
Cita rasa olahan lemak, memang enak, tapi marilah dicoba sebentar saja dari satu piring pecel ini.Â
Bahasan pada segmen ini tidak jauh dari bahasan migrasi sajian kuliner di Daerah Pulau Jawa (dimulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah sampai Jawa Timur).
Sebagai disclaimer saya bukanlan food historian, jadi kalau ada yang lebih ahli, mengapa tidak menambahkan referensi dan tentunya berkomentar untuk memantik diskusi.Â
Secara visual dari display menu atau ketika pecel itu tersaji, apakah sering menebak jika sajian pecel itu beragam ? atau langsung terbayang nama daerah asalnya ? bahkan terbayang rupa penjualnya ?Â
Ga cuma bumbunya tapi komposisinya bahkan nama pecelnya beda-beda.
Mari kita sedikit membayangkan sedang berada di pasar tradisional di daerah Bandung, Cimahi, Sukabumi, Priangan Timur (Tasikmalaya, Banjar, Ciamis, Garut) dimana sajian pecel itu banyak dijumpai bahkan di Jakarta pun banyak yang menjual pecel, namun sebutannya dan cara menikmatinya pun berbeda beserta toppingnya.Â