Era digitalisasi membawa angin segar bagi transformasi ekonomi global, tak terkecuali di Indonesia. Dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengoptimalkan ekonomi digital guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan inklusif. Salah satu strategi utama yang dapat diwujudkan adalah mengintegrasikan ekonomi digital dengan ekonomi hijau, yang berfokus pada keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Ekonomi Hijau: Pilar Pertumbuhan Berkelanjutan
Ekonomi hijau, sebagaimana dijelaskan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), adalah konsep yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan, mengurangi dampak kerusakan alam, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial. Esensinya terletak pada tiga aspek: efisiensi sumber daya, pengurangan emisi karbon, dan kebermanfaatan sosial. Negara-negara seperti Denmark dan Kosta Rika telah menunjukkan bahwa transisi ke energi terbarukan bisa berjalan sukses, dimana Kosta Rika bahkan mencapai 99,78% ketergantungan pada energi terbarukan pada tahun 2020.
Di Indonesia, sektor energi terbarukan dan daur ulang telah mendapatkan perhatian serius, dengan investasi hijau yang mencapai USD 1,6 miliar pada tahun 2023. Pemerintah Indonesia juga memasukkan agenda ekonomi hijau dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2025--2045, dengan target ambisius untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan ketahanan pangan melalui kebijakan yang ramah lingkungan, seperti perbaikan hutan dan pengembangan pasar karbon.
Ekonomi Digital: Katalis untuk Percepatan Ekonomi Hijau
Teknologi digital memainkan peran kunci dalam mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Inovasi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan big data dapat membantu mengoptimalkan efisiensi energi dan pengelolaan sumber daya alam secara lebih akurat dan efisien. Indonesia, dalam visi transformasi ekonominya hingga 2045, berkomitmen untuk mencapai posisi yang lebih kompetitif di panggung global dengan meningkatkan daya saing digital dan kontribusi ekonomi digital terhadap PDB hingga mencapai 20%.
Platform digital juga membuka peluang besar bagi UMKM untuk berkontribusi pada ekonomi hijau, terutama melalui e-commerce yang memungkinkan mereka untuk menjangkau pasar global dengan produk-produk ramah lingkungan, seperti kerajinan tangan berbahan daur ulang dan produk organik.
Tantangan yang Dihadapi
Meskipun potensi ekonomi hijau dan digital sangat besar, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah tingginya intensitas karbon yang tercatat pada Net Zero Economy Index 2024, yang menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu banyak berbenah untuk mencapai efisiensi karbon yang lebih baik. Intensitas karbon yang dirilis oleh PWC berada pada angka 199, sementara rata-rata dunia 219 dan rata-rata negara G20 berada pada angka 154. Hal ini berarti Indonesia memiliki tingkat efisiensi karbon di bawah rata-rata dunia namun masih cukup tinggi dibandingkan beberapa negara G20 lainnya. Sementara itu, intensitas energi Indonesia berada di angka 2,33 lebih rendah dari rata-rata dunia 3,36 namun lebih tinggi dari negara-negara maju seperti UK 1,72 atau EU 2,08. Artinya, ketergantungan pada sumber energi yang kurang efisien tetap menjadi masalah.
Selain itu, tantangan lain tercermin dalam skor Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia 2024. Berdasarkan laporan SDG Index, Indonesia berada di peringkat 78 dengan skor 69,4, mengalami penurunan dari peringkat 75 dengan skor 70,2 pada tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa upaya untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan, masih banyak yang perlu diperbaiki, terutama dalam mencapai target SDGs yang lebih tinggi.