Ingat, ayat di atas hanya perintah berpuasa—bukan puasa pada bulan Ramadhan. Perintah yang nyata terkait puasa Ramadhan baru tertera pada surat yang sama ayat 185:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Kerana itu, sesiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Ramadhan yang Kehilangan Greget
APA yang menarik dari puasa Ramadhan? Sejujurnya, jika menggunakan rujukan nash (al-Quran-Hadis), jawabannya sangat sedikit sekali—untuk tidak mengatakannya kurang menarik. Penjelasannya begini.
Pertama, ada sekian milyar Muslim lain yang berpuasa berjamaah. Entah seberapa ratus juta dari mereka yang tetiba minta dihormati oleh mereka yang tak berpuasa. Mau itu sesama Muslim/umat beragama lain. Mereka yang tak berpuasa (padahal bisa jadi non-Muslim), dilarang makan-minum sembarangan demi kata "menghormati" itu. Aneh kan?
Padahal kan seharusnya tugas mereka yang berpuasa untuk menahan diri dari godaan makan-minum itu. Alhasil, kondisi inilah yang membuat tingkat konsumsi meningkat di Ramadhan. Bulan yang konon diduga sebagai bulan belajar demi menghadapi 11 bulan lain. Nyatanya?
Kedua, dalam sebuah Hadis Qudsi riwayat Bukhari ra yang ia dapat dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Muhammad Saw bersabda, "Seluruh amal anak Adam adalah untuknya sendiri, kecuali puasa. sungguh, puasa itu untuk-Ku & Aku akan membalasnya." Dengan lain kata, puasa adalah ibadah paling misterius dalam Islam.
Ada pun janji Allah terkait 10 malam pertama yang berisi Rahmat; 10 malam kedua berisi Ampunan; 10 malam terakhir dibebaskan dari api neraka & berkah laylat al-qadar, itu semua kembali pada rumusan awal di atas: Jika kita adalah golongan orang beriman yang dipanggil al-Quran dalam ayat 183 itu, bisa jadi Ramadhan akan datang sambil memeluk kita erat dan hangat. Jika tak, mari bertanya pada diri sendiri. Sudah berapa Ramadhan kita lewati, & sudah berimankah kita pada Allah yang Satu? Sementara kecintaan kita pada selain-Nya, jelas lebih membelenggu selama Ramadhan berlangsung.
Apa enaknya puasa di antara sekian banyak orang lain yang juga berpuasa? Coba bayangkan kondisi sebaliknya. Mana yang lebih menarik? Sudah dalam kondisi yang tak menarik itu pun, kita masih sering meminta pihak lain yang tak berpuasa untuk menenggang rasa. Pada tingkat praktik, penulis meyakini sepenuhnya, bangsa Nusantara ini bukan ahlinya tenggang rasa. Sebab tenggang rasa itu sulit sekali diwujudkan. Kita, terlatih menerima (ikhlas). Seperti kata upavāsa dalam bahasa Sansekerta yang kemudian kita serap jadi puasa dengan penerimaan tingkat tinggi.
Perkara itu saja mestinya sudah cukup untuk menjadi tolok ukur, betapa puasa—khususnya puasa Ramadhan sudah ter-Nusantara-kan. Mereka yang lulus puasa sebulan nanti, harus jadi lebih santun. Lebih peka. Lebih tajam rasa kemanusiaannya. Bukan melulu bicara surga-neraka yang jaraknya terlalu jauh dari hidup dan kehidupan kita sekarang dan di sini.