Mohon tunggu...
ren Muhammad
ren Muhammad Mohon Tunggu... -

heart peacemaker editor in @NouraBooks (Mizan Group); author; writer; ceo @khatulistiwamda; president & editor-in-chief @SquadPost; lovers of beauty and life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pangeran Jenius dari Nusantara

12 Juni 2015   10:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

BANGSA NUSANTARA dianugerahi Gusti Allah dua orang manusia pilihan yang namanya masih harum hingga kini. Uniknya, mereka berdua bersaudara darah. Satu lelaki dan satunya lagi perempuan. Sang adik lahir pada 21 April 1879 dengan nama Raden Ajeng Kartini. Sedang kakaknya, lahir dua tahun lebih awal di Desa Mayong, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, pada Rabu pahing, 10 April 1877, dengan mengusung nama Raden Mas Panji Sosrokartono.

Ayah mereka seorang bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Samingun Sosroningrat (periode 1880-1905), yang kemudian menikahi M.A Ngasirah. Selain Sosrokartono dan Kartini, pasangan ini memiliki enam anak lain. Dua di antaranya yang tercatat sejarah adalah, P.A.A Sosro Boesono dan R.A Kardinah.

Sebelum menjadi saksi kelahiran Sosrokartono, Desa Mayong pernah disinggahi Ratu Kalinyamat pada Abad ke-16 yang membawa pulang jenazah suaminya, Pangeran Kalinyamat, setelah diserang pendukung Arya Penangsang—dari Kudus. Sambil menuju arah barat ke Pringtulis, ratu Kalinyamat mulai kelelahan dan berjalan sempoyongan (moyang-moyong). Peristiwa memilukan yang sempat dilihat penduduk sekitar pada waktu itu, kemudian menjadikan tempat bersejarah tersebut bernama Mayong—seiring penyesuaian lidah masyarakat).

Sebagai anak priyayi, Sosrokartono muda cenderung tak menghadapi banyak hambatan berarti saat mengisi masa kecilnya. Menurut beberapa sumber sejarah, ia sudah mewarisi kecerdasan bawaan dan sanggup membaca gejala zaman datang saat belum bersekolah.

Berdasar penuturan adikadik R.A Kartini, saat Sosrokartono masih berusia tiga tahun ia pernah mengumpulkan semua mainannya menjadi satu. Melihat kelakuan aneh ini, ibunya, M.A Ngasirah, pun bertanya mengapa ia melakukan hal itu. Bocah Sosrokartono menjawab enteng bahwa ia mau ke Jepara. Tak lama berselang, ayahnya yang masih menjabat selaku wedana Mayong, pun diangkat menjadi bupati Jepara.

Kecerdasan Sosrokartono pelahan mulai teruji ketika menempuh studi di Eropesche Lagere School (E.L.S), Jepara, yang kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger School (H.B.S) di Semarang. Dari sinilah karir kehidupannya melambung tinggi ketika ia melanjutkan sekolah ke Leiden, Belanda, pada 1898. Ikhwal inilah ia tercatat sebagai mahasiswa pribumi pertama di negeri manca.

Setiba di Belanda, Sosrokartono diterima di sekolah Teknik Tinggi, di Delft. Tetapi karena merasa kurang cocok, ia pun pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur, setelah melewati ujian negara dengn materi bahasa Latin dan Yunani. Jurusan inilah yang kelak menjadi penentu kemampuannya sebagai poliglot (mpu bahasa) kawakan tiada tanding—bahkan hingga saat ini. Selama menjadi mahasiswa, ia kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan).

Panggilan itu tersemat bukan semata kerana Sosrokartono berdarah biru, tapi memang karena posisi sosialnya sudah bernilai tinggi. Ia terus melatih diri dan tumbuh sebagai seorang intelektul. ”Kartono, intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu, mudah diterima kalangan elite di Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Bahkan, Ia juga pandai berbahasa Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol,” kata Mohammad Hatta dalam memoarnya.

Herry A. Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Solichin Salam dalam Sebuah Biografi (terbitan Yayasan Pendidikan Sosrokartono, 1979) menambah lagi sepuluh bahasa Nusantara dalam daftar bahasa yang dikuasai Sosrokartono.

Sekarang coba  kita telusuri, mahasiswa Strata 1 mana yang gairah belajarnya sekuat Sosrokartono? Besar kemungkinan, ia tak hanya melulu duduk di ruang perkuliahan, tapi juga melanglang ke banyak tempat di Eropa sambil terus belajar, belajar, dan belajar mengenali manusia dari pelbagai suku bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun