Kedua, perlu dilakukan penelitian mendalam terkait siapa guru spiritual yang menjadi mursyid Sosrokartono sebelum atau setelah ia kembali ke Nusantara. Sebab tak bisa dimungkiri bahwa tindak-tanduknya selama di Bandung, adalah perilaku kesufian yang sangat kentara jejaknya.
Ketiga, pemerintah Republik Indonesia harus membuka mata lebih lebar. Dibanding Kartini, adiknya—yang bahkan bila dibandingkan dengan Dewi Sartika saja, jelas tak sepadan, Sosrokartono sangat pantas diangkat sebagai pahlawan bangsa.
Di dinding pagar besi di makam Kartono, terpasang tulisan huruf (Ù¡) alif dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto Sosrokartono mengenakan setelan jas a la orang Barat.
Â
Kini, banyak orang yang bahkan tak mengenal dan sulit melafalkan namanya. Hidup selibat yang ia jalani dalam sepi, seolah menjadi penjelas betapa dirinya adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebagai generasi pelanjut, kita, bertanggungjawab penuh atas ketakpedulian ini. []
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H