Kasus kekerasan yang terjadi pada anak dan berakhir pada hukuman pidana memang cukup memilukan hati.
Namun bagaimana jika dalam kasus ini anak bukan hanya sebagai korban, namun juga sebagai pelaku.
Bukan saja pilu hati kita menyaksikannya, namun timbul tanya di hati, sudah sejauh mana pengawasan dan sistem yang terbangun di masyarakat hingga kejadian seperti ini seringkali terulang.
Ketika permasalahan ini dibawa ke jalur pidana, laporan aduan dengan delik maupun tanpa delik di Kepolisian lalu akan dilimpahkan ke Kejaksaan bilamana sudah cukup berkasnya.
Namun yang menjadi masalah, mengapa kita seringkali melihat suatu permasalahan harus diselesaikan dengan cara pembalasan.
Hal seperti ini sebenarnya sudah tidak relevan bilamana melihat proses pembentukan hukum yang seperti itu sudah terjadi jauh saat masa romawi.
Romawi kejam,ruh itulah yang ingin dimasukkan ke dalam benak orang saat itu agar tidak berani melakukan kejahatan. Namun apakah hal tersebut masih relevan diterapkan saat ini?
Kembali pada kasus kekerasan yang berujung laporan pidana di kepolisian. Sudah menjadi sebuah keharusan, bilamana mediasi sebagai tahap awal penyelesaian kasus dipakai sebagai langkah preventif pertama kali bilamana hal ini terjadi.
Kepolisian harus maksimal dalam melakukan mediasi sebelum menindaklanjuti masalah ini ke penyelidikan.
Bagaimana bila mediasi gagal dan kasus tetap dilanjutkan ke tahap Kejaksaan?
Disini harus terlihat tindak lanjut penegak hukum yang benar-benar memandang demi kepentingan bersama untuk melakukan restorative justice.
Dengan mengumpulkan kedua belah pihak baik korban maupun pelaku, lengkap dengan didampingi keluarga masing-masing, Kejaksaan harus aktif mengusahakan dan mencari jalan terbaik bagaimana agar kasus ini dapat berakhir di meja restorative justice.
Kenapa saya melihat hal ini tegas dan berhasil? Karena saya mencoba meresapi dan merasakan apa yang menjadi titik masalah yang dihadapi bersama, sampai ke akar permasalahan ini bisa timbul.
Bilamana kita terus berpandangan bahwa korban tidak akan pernah pulih mental dan psikisnya karena kasus ini, kita mungkin salah.
Seandainya saya balik, bagaimana mental dan psikis pelaku bilamana dia menerima hukuman kurungan dengan jumlah tahun yang cukup banyak?
Bukankah hal ini juga akan berdampak pada semakin "liar" nya pelaku ini setelah mental dan jiwanya ikut rusak menjadi korban dari hukuman atas apa yang dirasakannya? Jadi keduanya sama saja.
Dengan adanya kebijakan restorative justice, maka apa yang merugikan si korban harus dicari dan disampaikan kepada pelaku agar diganti dan diberikan hukuman ganti kerugian setimpal, baik itu materi ataupun perhatian dalam bidang pendidikan dan masa depan si korban.
Di samping pemerintah lewat lembaga-lembaga negara yang nantinya membantu untuk memulihkan serta "menyehatkan" kembali si korban dari hal-hal ini. Dengan demikian kita telah memutus rantai kekerasan sesungguhnya dengan lebih bijaksana.
Tinggal proses restorative justice yang dilakukan haruslah terus diawasi secara ketat oleh "analis-analis Pengawasan" di KPAI agar program dan kebijakan ini dilakukan secara adil dan bijaksana tanpa menjatuhkan dan merugikan kondisi dan perasaan korban.
(RM)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H