Menurut Jimly Asshiddiqie, dapat dirumuskan adanya tiga-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.Â
Merujuk salah satu prinsip negara hukum yang telah dikemukakan oleh Prof Jimly, salah satunya seperti transparansi dan kontrol sosial, dimana para buzzer politik dalam pemilu yang sangat merahasiakan identitas mereka, serta bersembunyi pada akun-akun palsu, para buzzer politik ini bekerja untuk siapa, di bawah agency apa, apakah dia terdaftar di agency itu, transparansi pendanaannya, dan ketika menyebarkan pesan-pesan di media sosial para buzzer politik tersebut pun tidak menyatakan mereka didanai.Â
Hal ini tentunya mereka bergerak tidak dengan akuntabel dan transparan, sehingga kontrol sosial yang seharusnya dapat dilaksanakan, menjadi suatu ketidakmungkinan yang membuat para buzzer politik dapat dengan sesukanya melaksanakan tugasnya untuk memengaruhi orang atau pemilih dalam pemilu untuk memilih kandidat yang para buzzer politik ini inginkan, dan menjatuhkan lawan kandidat lainnya dengan berita hoaks yang mereka produksi sendiri. Baik kontrol sosial maupun transparansi sama-sama sulit diwujudkan dalam menghadapi buzzer politik.
Prinsip negara hukum lainnya yang dikemukakan oleh Prof Jimly yaitu bersifat demokratis atau democratische rechtsstaat. Di zaman digitalisasi seperti sekarang, kita juga mengenal demokrasi digital dimana setiap orang dengan perangkat gawai/teknologi pendukung sejenisnya -- dapat menyuarakan apa saja yang diinginkan, dan mengontrol kinerja negara dengan cepat dan praktis.Â
Kehadiran buzzer politik sungguhlah merusak demokrasi digital yang sudah ada baik antar warga net maupun mereka yang tidak menggunakan media sosial dan internet pun jadi terpengaruh informasi yang diberikan si-buzzer.Â
Kehadiran para buzzer politik ini telah menghadirkan ilusi, memabrikasi kebohongan demi kebohongan, memecah belah bangsa, dan akhirnya hanya akan merusak pondasi demokrasi yang sedang dibangun kokoh oleh segenap elemen bangsa ini.
Prinsip negara hukum lainnya yaitu Supremasi Hukum atau Supremacy of Law, yakni sebuah upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, maka hukum dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara negara.Â
Oleh karena itu, supremasi hukum tidak sekedar ditandai tersedianya aturan hukum yang ditetapkan, melainkan harus diiringi kemampuan menegakkan kaidah hukum. Kehadiran buzzer politik secara eksplisit tentunya masih belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.Â
Buzzer politik sampai sekarang dapat dengan bebas menyebarkan informasi apapun di media sosial. Tentunya jikalau informasi yang mereka sebar merupakan berita bohong, maka sudah ada aturan dalam KUHP dan UU ITE yang mengatur mekanisme hukuman dan lainnya.Â
Namun dalam usaha buzzer-buzzer politik dalam menunjukkan citra baik/bagus bagi kandidat yang mempekerjakan mereka, terkadang banyak sekali informasi yang kenyataannya tidak benar terdapat pada kandidat tersebut. Bahkan banyak tindakan buzzer yang memberikan komentar- komentar negatif pada laman kandidat lainnya, sehingga memengaruhi publik pemilih untuk beralih dari kandidat tersebut.
Hasil penelitian dari dua peneliti Oxford terkait kemunculan Pemasaran Terpadu Politik Partisipatif atau Integrated Participatory Political Marketing (IPPM) dan Kampanye Politik Daring dan Mediasi Campuran atau Mixed Mediated and Online Political Campaigning (MMOPC) sepanjang tahun 2012 dalam pemilihan salah satu propinsi di Indonesia, dapat dilihat bahwasanya tim sukses pasangan calon dengan berhasil menunjukkan citra salah satu pasangan calon yang sukses mendapat perhatian publik kota tersebut yang akhirnya tertarik memilih dibanding kandidat calon lainnya.Â
Strategi tim sukses salah satu pasangan calon yang mencoba membangun dan membangkitkan kampanye perang darat menggunakan tatap muka tradisional pemasaran langsung dan kampanye atau dikenal dengan blusukan untuk meningkatkan fungsi komentar dari perang gelombang udara dan kampanye perang daring.
Hal ini dimanfaatkan juga oleh para buzzer politik dalam mengampanyekan pasangan calon tersebut untuk menunjukkan ke pemilih betapa sederhana dan "mau bekerja sampai turun ke lapangan" yang tentunya menarik perhatian warga pemilih.Â
Oleh sebab itu citra yang biasanya dipandang publik dari yang sebelumnya hanya terbatas citra jargon-jargon saja, menjadi terfokus pada kandidat terbaik ialah "siapa yang mau menyentuh masyarakat dengan bekerja di lapangan langsung".Â
Dengan demikian, kandidat lainnya yang tidak melakukan metode hal yang sama menjadi dipandang buruk dan tidak memenuhi standar calon pemimpin sesungguhnya.Â
Hal ini ditambah dengungan para buzzer politik yang menyebarkan di media sosial bahwa begitulah sesungguhnya calon pemimpin yang benar. /RM.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H