Shibell :
Sore yang mendung. Kami berjalan beriringan memasuki sebuah gang, menuju rumah kami. Angin kencang mulai meluruhkan dedaunan kering dari pohon-pohon tua disepanjang gang. Bisa dipastikan, sebentar lagi turun hujan. Itu terlihat dari awan hitam yang menggantung di langit terlihat semakin rendah.
 Biasanya, aku dan dia menyukai suasana seperti ini. Sedikit gelap, udara yang basah, disertai angin kencang. Dia bilang suasana seperti ini seperti membawamu kedunia yang berbeda. Dan aku mempercayainya. Aku memang tidak merasakannnya, tapi aku sepenuhnya mempercayai sahabatku, Shan.
 Biasanya kami membicarakan banyak hal saat berjalan pulang kuliah seperti ini. Tapi saat ini, kami lebih banyak berdiam. Ehm- terutama aku. Karena, entahlah- aku merasa seperti akan kehilangan sesuatu yang sangat penting.
 Aku menoleh padanya. Dia.
 Pemuda berwajah oriental, berusia 23 tahun, bertubuh tinggi sedikit kurus, dan bersikap pendiam. Dia sahabatku. Dia sahabat terbaik yang aku punya.
 Tapi, hari ini dia akan pindah ketempat yang sangat jauh. Ke jepang.
 Dia menoleh, dan tersenyum padaku, "Jepang nggak sejauh itu. Kita masih bisa chat di medsos, ngobrol ditelfon, dan aku juga akan datang kesini untuk liburan kan?" ucapnya menenangkanku.
 "Tapi, nggak ada yang bisa aku liat dijendela kamarmu lagi, kan?" suaraku menjadi serak karena rasa sedih. Aku tau, ng. "lebih mudah meninggalkan daripada ditinggalkan. Karena ditinggalkan berarti kita masih ditempat yang sama, dimana semuanya cuma bisa diingat aja." mataku mulai berkaca-kaca.
 Shan melepas topi rajut berwarna putih yang ia pakai, dan memakaikannya padaku. Ternyata tetes-tetes air mulai turun.
 "Kamu bilang, kamu bahagia kalo aku bahagia. Trus kalo aku pergi sambil liat kamu nangis, kamu pikir aku bisa bahagia?" tanya Shan.
 Aku menggeleng.
 "Jadi jangan menangis." ucapnya.
 Aku terdiam. Kami bertatapan lama.
 "Aku sayang sama kamu," ucapnya sambil tersenyum lembut. "Suatu hari, aku akan datang kesini, untuk memintamu hidup denganku."
 "Aku pasti bakal nunguin kamu, karena aku juga sayang banget sama kamu." ucapku pelan.
 Aku memeluknya, dengan airmata yang tidak terbendung lagi. Airmata kesedihan karena akan berpisah, tapi juga bahagia karena akhirnya kami mengungkapkan perasaan kami setelah belasan tahun bersahabat.
 "Shan, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku pelan.
 "Hmmm," dia mengiyakan.
 "Kalau aku dan keluargamu ada dalam situasi bahaya, siapa yang kamu selamatkan?"
 Dia menatapku, "Nggak akan ada situasi kaya gitu." jawabnya, kemudian dia mengacak rambutku.
 "Ayo pulang, hujannya mulai deras." dia menggandeng tanganku dan akan mengajakku meneruskan langkah kami, tapi aku menghentikannya.
 "Shan, kamu ngerasa engga, kalo kita kaya pernah ngelakuin ini?" tanyaku dengan dahi berkerut.
 Shan menoleh, lalu menatapku dengan mata tajamnya. "Mungkin cuma Dejavu," jawabnya tenang.
 Lalu kami berlari-lari kecil dibawah tetes-tetes hujan yang semakin deras.
 #end
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H