Mohon tunggu...
Rennie Meyo
Rennie Meyo Mohon Tunggu... -

Seorang blogger di www.renniemeyo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Love & Money Part 2

23 Desember 2016   09:34 Diperbarui: 24 Desember 2016   14:26 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar :http://asklizweston.com/fridays-need-to-know-money-news-82/

Dadaku berdebar. Ada yang mengikuti kami ? Tapi satu- satu nya yang ku dengar adalah suara debaran jantung dan nafasku yang terengah- engah.

 "Ayo lebih cepat, La. Kita harus segera sampai di ujung jalan. Di sana ada halte bis, jadi kita bisa pergi dari kota ini secepat yang kita bisa. " David mempercepat langkahnya.

Dia semakin cepat berjalan, dan akhirnya berlari. Nafasku mulai tersengal, dadaku terasa seperti terbakar. Aku tidak bisa berlari lagi. Genggaman tanganku terlepas, kemudian aku jatuh tersungkur di atas aspal yang kasar dan dingin.

      Saat itu lah aku mendengar derap suara seseorang menuju ke arahku. David benar, kami di ikuti !

      Suara langkah kaki itu terdengar semakin jelas, semakin mendekat, lalu aku menoleh ...

      Kilatan cahaya berkelebat di atas kepalaku. Pisau !

      Suara pisau berdenting nyaring beradu dengan aspal. Hampir ! Hampir saja pisau itu menancap di tubuhku kalau saja aku tidak beringsut ke belakang.

      Lalu David menarikku berdiri.

      Kini aku bisa melihat jelas sosok bayangan. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Dia berpakaian serba hitam dengan penutup kepala yang menyatu dengan bajunya. Tampak sengaja menenggelamkan wajahnya agar kami tak bisa melihat raut mukanya dengan jelas.

      Kulihat dia mulai bergerak kearah ku. Menyerang. Saat itu lah aku mengejutkannya dengan cahaya biru terang yang berasal dari senter kecil dari dalam saku jaketku. Aku menyorot tepat ke matanya. Membuatnya berhenti karena silau.

 "Sial !" umpatnya sambil berusaha menghalangi cahaya yang menyilaukan mata dengan telapak tangannya.

      Saat itulah David menyeretku pergi dari sana. Berlari secepat yang kami bisa. Tapi saat aku menoleh, orang berpakaian serba hitam itu masih mengejar kami.

      "Ahh - " aku mengeluh.

      Ujung kaki ku terantuk sebuah batu besar. Sakit. Sementara dadaku terasa mulai terbakar lagi. Aku harus melakukan sesuatu !

      Bruk ! Aku terjatuh untuk kedua kalinya. David yang masih menggenggam tanganku ikut terhuyung. Saat itu lah sosok itu menyerang lagi dengan pisaunya.

      Sreett ! Pisaunya mengenai ujung lengan jaketku karena aku berguling kearah David. Lalu seperti dugaanku, saat dia menyerang untuk yang kedua kalinya, dia menyerang David.

      David menahan pisau yang ada di tangan sosok hitam itu sekuat tenaga. Saat itu lah aku meraih batu besar yang tadi membuatku tersandung. Lalu ...

      Prakk !!

      Suara batu yang beradu dengan tengkorak manusia.

      Sosok itu terpelanting dan terjerembab di aspal dengan bunyi yang memualkan. Tubuhnya mengejang lemah untuk beberapa kali, dan akhirnya terdiam.

      Tak bergerak sama sekali.

      Ku lihat sesuatu mengalir deras dari batok kepalanya. Detik kemudian sudah membanjiri aspal di sekitar kepalanya.

      David yang masih dalam posisi terduduk menatapku dengan mulut ternganga. Sama seperti aku yang menatap nanar ke arahnya.

      "Laura - kau membunuhnya !"
 

Aku masih merasakan kepala remuk di sertai leher yang patah di tanganku. Membuatku meringis. Benar- benar menjijikkan !

      Sementara David membungkukkan badannya dan menempelkan ujung jari ke bawah hidung laki- laki berpakaian serba hitam yang kini tergeletak tak bergerak di atas aspal itu.

 "Damn, dia benar- benar mati, " desis David.

      David menoleh padaku, " seharusnya kamu nggak perlu membunuhnya, La !" dia sedikit berseru sambil meremas rambutnya sendiri karena panik.

 "Tapi dia berusaha membunuh kita, Dave. Aku harus membunuhnya ... " jawabku dengan suara sedikit bergetar menahan dingin udara malam, dan ketakutan.

 "Kita bisa lari, dan nggak perlu membunuhnya ! Sekarang bagaimana ? Dia sudah mati, dia benar- benar sudah mati !" David seperti bicara pada dirinya sendiri. Dia membungkuk lagi, memeriksa nafas laki- laki itu, kemudian berdiri da berjalan berputar- putar.

      Panik !

      Sangat panik, dan merasa bersalah.

      Dan aku tau kenapa.

 "Kenapa tidak boleh ? Karena dia saudara sepupumu ?" ucapku datar.

      David terhenyak kaget, dia menoleh padaku. "Apa ?"

      Aku menatapnya dingin. "Itulah sebabnya tadi saat aku memelukmu, aku bilang ... aku takut sendirian. Karena aku tau kau tidak bersamaku. Dari sejak kita menemukan uangnya, kau tidak bersamaku. "

 "Laura, apa maksudmu ?" David bertanya tak mengerti.

      Aku menarik nafas panjang, mencoba setenang mungkin.

 "Jika aku tak melihat kau berdiri di pintu kamarmu saat itu, mungkin kau tak kan pernah mengajakku pergi bersamamu. Sayangnya, aku melihatmu. Jadi kau terpaksa merubah rencanamu. Kau mengirimiku pesan, tapi juga menghubungi saudara sepupumu- yang kau pikir aku tidak mengenalinya. Kau menyuruhku pergi menemuimu di belakang gudang asrama adalah rencanamu untuk melarikan diri, kau bicara pada pak satpam bahwa kau melihat seseorang mencurigakan menuju belakang asrama, karena itulah pak satpam memergoki ku. Saat pak satpam kebelakang, kau pergi keluar lewat pintu depan. Sayangnya, aku bisa menyusulmu dengan cepat, Dave.Saat aku memelukmu, sebenarnya kau sangat terkejut. Hingga wajahmu terlihat begitu pucat dan tegang tiap kali aku melihatmu di bawah cahaya. Kau tau aku selalu bisa membaca ekspresi wajahmu kan ?
 Saat 'penjahat' itu datang, aku menyorot wajahnya dengan senter. Di situ aku benar- benar yakin kau tidak bersamaku. Karena aku pernah melihat wajahnya di album ponselmu, di mana kau tulis kata 'my family' di sekumpulan orang- orang yang sibuk merayakan ulang tahunmu. Apapun yang kau rencanakan dengannya, itu untuk menyingkirkanku dari uang itu. " lagi, aku menarik nafas panjang dan menatap nanar ke arah David yang tak bisa mengelak lagi. "Aku benar kan, Dave ? aku benar ..."

      David mengusap rambutnya, kali ini sikapnya lebih tenang.

 "Baiklah, kamu benar. " jawabnya dingin.

      Ada perasaan sakit yang menusuk ke dalam hatiku. Perasaan marah dan terkhianati. Juga kecewa, karena  menyadari aku telah kehilangan seseorang yang aku sayangi, yang paling aku sayangi, hanya dalam waktu semalam.

 "Jadi biarkan aku membunuhmu dengan mudah ... demi uang itu, dan demi Leo, sepupuku yang kau bunuh. " David berjalan ke arahku.

      Aku mundur perlahan, "jangan mendekat. " ancamku.

      David bergerak menyerangku, tapi ...

      Sreett ... aku merobek lengan baju nya dengan silet di tanganku.

      David meringis. Tapi itu tampak tidak berarti untuknya. Dia menyergapku dan kami berdua jatuh terguling di sisi jalan. Sialnya, aku yang berada di posisi bawah. David duduk di atas perutku, kedua tangannya membekap mulut dan hidungku dengan kuat.

      Aku meronta berusaha melepaskan diri. Tapi tubuhnya terlalu kuat. Kaki ku menendang- nendang udara kosong, bergerak liar, apapun itu agar aku bisa menjatuhkannya. Tanganku berusaha memukul wajahnya sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangannya dari wajahku. Tapi aku terlalu lemah. Dan semakin melemah saat ku rasakan dadaku semakin terasa terbakar karena kekurangan oksigen.

      Jangan, aku tidak ingin mati ...

      Pandangan mataku mulai kabur, wajahku memanas, telingaku berdengung, aku butuh udara ... aku butuh udara !!

      "Aah ..." David melemah. Dia bangkit berdiri sambil memegangi tangan kirinya. Memegangi lengan bawah tangan kiri di mana tadi aku merobeknya dengan silet.

      Aku menghirup udara sebanyak- banyaknya. Terbatuk untuk beberapa kali, dan segera berusaha untuk berdiri.

      Kulihat David jatuh terduduk, dia benar- benar melemah.

 "Kau tau kenapa ? Aku merobek pembuluh arteri mu, dimana itu memompa berliter liter darah perdetik. Sekarang kau akan kehilangan banyak darah dan kehilangan kesadaranmu, lalu mati dengan cepat ..." aku memberitahu David.

      David menatapku dengan pandangan tak percaya, sambil memegangi lengan kirinya.

      Aku membungkuk dan duduk diatas lututku, tepat di depannya. Nafasnya mulai melemah.

      Aku mencium bibirnya dengan lembut.
 "Aku sayang kamu, Dave. Selamat tidur, mimpi indah ... "

      Lalu David terkulai lemah. Tak bergerak. Mati.
 
 Go to the next part

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun