Mohon tunggu...
Rennie Meyo
Rennie Meyo Mohon Tunggu... -

Seorang blogger di www.renniemeyo.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Cerpen] Pesan

30 Agustus 2016   16:52 Diperbarui: 30 Agustus 2016   17:14 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Visit Blog Aku : www.rennimeyo.tk

Pemuda itu terbatuk. Agak lama, sambil memegangi dadanya. Dia terlihat kesakitan tiap kali menghela nafas.

         Aku menyodorkan segelas air putih padanya dengan penuh rasa iba. “lebih baik mas istirahat saja ….” Ucapku menyarankan.

         Tapi pemuda itu menggeleng. “Aku tau umurku nggak akan lama lagi….. jadi… aku mau ngomong sesuatu sama kamu..”

          Dahiku mengernyit. Dia mau membicarakan tentang apa padaku? Apa dia mau mengucapkan terimakasih karena aku sudah menolongnya dua hari yang lalu? Ya, kalau saat itu aku tidak menemukan dan menolongnya didasar jurang, mungkin sekarang dia sudah mati. Dia mengalami kecelakaan, mobilnya hilang kendali dan jatuh kedasar jurang yang letaknya dekat dengan desa tempat tinggalku. Keadaannya sangat parah. Dan sepertinya dia pun sadar waktunya tidak akan lama lagi.

Tapi pemuda itu tidak mau dibawa ke Rumah Sakit ataupun di antar pulang ke kotanya. Dia memohon setengah memaksa untuk dirawat dirumah kami saja. Tapi karena rumah kami sempit dan keadaannya tidak memungkinkan, jadi akhirnya kepala desa bersedia menampung pemuda itu dirumahnya. Keluarga kepala desa memang baik, walaupun mereka orang paling kaya disini tapi mereka sama sekali tidak sombong dan suka membantu warganya. Dan aku merasa menjadi gadis paling beruntung karena pak kepala desa baru saja melamarku untuk anak tunggalnya beberapa hari yang lalu.

           Hari ini pemuda itu meminta tolong pada nining, temanku, yang bekerja dirumah kepala desa kami sebagai tukang masak, untuk memanggilku. Makanya aku datang kesini, walau jujur saja aku merasa tidak enak dengan dengan keluarga calon mertuaku.

           “namaku Erick…aku tinggal dikota yang lumayan jauh dari sini..” dia membuka pembicaraan. “aku punya seseorang yang sangat aku sayangi, dan dia juga sangat menyayangi aku….namanya Laura…” dia terbatuk lagi. Kali ini lebih lama dan membuatnya susah bernafas.

           Aku menatapnya khawatir. “ndak apa apa mas..?” tanyaku memastikan.

           Dia menghela nafas, lalu tersenyum padaku. “nggak apa apa… aku baik baik aja..”jawabnya sambil menatap wajahku lekat. “Laura itu sangat cantik…. Kaya kamu…” ucapnya memujiku.

            Aku setengah tersipu.

             Lalu dia meneruskan lagi ceritanya. “kami saling suka selama beberapa tahun…. Lalu pada suatu malam.. aku memberinya sebuah cincin. Dan memutuskan untuk menikahinya. Dia setuju….. malam itu adalah malam yang paling membahagiakan untuk kami berdua…. “ dia tersenyum mengenang masa lalunya. Kulihat semburat kebahagiaan diwajah bersihnya.

           “lalu..?” aku bertanya.

            Raut wajahnya seketika berubah. Sedih dan tampak kecewa, mungkin sedikit kemarahan juga ada disana.

            “Lalu keluarga kami menolak.” Suaranya berubah dingin.

            “kenapa..?” dahiku mengernyit.

            “karena kami saudara sepupu.” Jawabnya pahit.

            Aku terdiam menatapnya. Kasihan, jadi cinta mereka terlarang?

            “aku… adik sepupu Laura…” dia setengah bergumam. “tapi apa masalahnya? Kami saling mencintai. Bahkan mungkin itu terjadi sejak kami masih kecil…” keluhnya. “Laura…. Dia memang sedikit keras kepala. Dia mengajakku pergi meninggalkan rumah kami. Saat itu  aku pikir itu bukan jalan terbaik, jadi aku menolak dan bilang padanya aku akan mencoba membuat keluarga kami mengerti…… tapi ternyata Laura benar… mereka nggak akan pernah bisa mengerti. Mereka malah menjodohkan Laura dengan orang lain. Mereka bilang itu demi nama baik keluarga kami…” dia terdiam. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

           Laura benar-benar marah. Marah pada keluarga kami…. Dan marah padaku. Dia pikir aku nggak mau memperjuangkan cinta kami. Padahal itu salah. Aku bener-bener sayang sama dia, tapi aku juga nggak ingin kami kehilangan keluarga kami. Lalu setelah bertengkar denganku, dia pergi dengan mobilnya. Kami nggak tau dia pergi kemana…. Dia menghilang…. Meninggalkan aku sendirian…” air mata jatuh menetes dipipi Erick.

           “Aku sangat merindukannya….” Erick menatap wajahku lekat. “aku cuma mau bilang sekali lagi padanya … kalau aku bener-bener sayang sama dia….” Dia mengusap airmata nya dan berusaha terlihat lebih tegar.

           “Aku berusaha mencari Laura setiap hari….. tapi nggak ketemu…. Sampai akhirnya aku dengar informasi ada yang pernah melihat mobilnya didaerah sekitar sini… makanya aku pergi kesini… sampai akhirnya aku mengalami kecelakaan dijurang itu….” Erick terbatuk lagi. Kali ini sangat lama. Membuat bahunya berguncang-guncang. Bahkan dipan kayu dimana Erick terbaring ikut berderit-derit karena guncangan Erick. Erick menjauhkan telapak tangan yang tadi menutupi mulutnya, aku terkesiap, kulihat darah segar membasahi sebagian telapak tangan Erick.

           “Biar saya panggil pak mantri dulu mas…” aku bangkit berdiri dan akan melangkah pergi, tapi Erick menahan tanganku dengan tangan kirinya.

          “jangan pergi,,,, aku mau ngomong hal yang sangat penting ..” ucapnya dengan suara serak.

          Aku berdiri dengan ragu.

          Erick mengeluarkan sesuatu dari saku celana nya. Secarik kertas putih. Dia mengulurkannya padaku. Dengan ragu aku menerimanya. Sekilas itu seperti sebuah alamat.

         “itu alamat rumahku dan Laura…” dia memberitahuku.

         “mas mau saya antarkan pulang…?” aku mencoba menebak.

          Dia menggelengkan kepalanya. “aku ingin…. Setelah aku mati nanti… kamu pergi kesana dan memberitahu mereka..”

         “saya..? tapi mas, saya ndak bisa…. Bulan depan saya akan menikah dengan Mas Arya… jadi …”

         “tolong….” Dia memohon.

         Aku terdiam. Tidak tau harus menjawab apa, karena aku tidak yakin bisa memenuhi permintaannya.

         “dan kalau nanti disana kamu bertemu dengan Laura…” dia menatap wajahku lekat. “tolong katakana padanya….. aku sayang banget sama dia… bahkan lebih dari yang dia pikir …” air matanya menetes lagi saat mengatakan itu. “aku yakin suatu hari nanti dia pasti bahagia…… tapi… katakana padanya… jangan lupakan aku…” suaranya semakin parau…. Dia menangis…. Terisak dengan bahu berguncang-guncang karena kesedihan. Tanpa sadar aku ikut menangis bersamanya. Seolah-olah bisa merasakan penderitaan yang sedang dialami nya.

         Tiba-tiba seseorang masuk kedalam kamar sempit itu. Dia Arya, calon suamiku. Dia menatap kami berdua tapi tidak bertanya tentang tangisan kami. Dia berpaling padaku.

        “sudah sore, wulan….. ayo kuantar pulang..” ucapnya.

         Aku mengangguk, dan kemudian berjalan mengikutinya keluar dari dalam kamar itu.

*  *  *  *

           Keesokan harinya kudengar kabar bahwa pemuda itu sudah meninggal. Warga desa segera menguburkannya dipemakaman desa kami karena pemuda itu tidak ingin jenazahnya diantarkan pulang ke kotanya.

         Yang mengantar kepemakaman cuma sedikit. Mungkin karena pemuda itu memang orang asing disini.

          Aku menaburkan sisa bunga ditanganku diatas gundukan kuburan yang masih berwarna merah itu. Sementara nining dan ayu sudah bersiap untuk pulang. Lalu kami bertiga berjalan beriringan pulang kerumah kami.

          “kasihan Erick….. dia menjadi salah satu korban jurang didekat desa kita….” Nining menyayangkan.

         “iya, hampir setiap bulan ada saja kecelakaan mobil dijurang itu..” Ayu menimpali. “dan hampir semua korbannya ndak selamat…” ucapnya prihatin.

            “iya… kecuali Wulan….” Nining tersenyum padaku. “mungkin karena Wulan itu jodoh yang dikirim gusti Allah buat den Arya… kalau ndak ditolongin den Arya, mungkin Wulan juga ndak selamat karena kecelakaan mobil dijurang itu sebulan yang lalu….”

           Ayu merangkul bahuku dari samping. “Mudah-mudahan saja suatu hari nanti kamu bisa ingat nama dan dari mana asal kamu sebelumnya ya, lan…”

                                                                     Tamat

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun