Indonesia mulai memasuki era mobil listrik. Entitas bisnis yang selama bertahun-tahun fokus pada kendaraan berbahan bakar fosil, kini juga mulai menggarap kendaraan tanpa asap.
Pada awal November 2021, Nissan Motor Distributor Indonesia (NMDI) Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Wisma Indomobil, Cawang, Jakarta Timur. SPKLU adalah stasiun pengisian setrum untuk mobil listrik, serupa pompa bensin bagi kendaraan berbahan bakar fosil.
SPKLU yang dibangun Nissan merupakan hasil kerja sama dengan Perusahan Listrik Negara (PLN). Sebagai catatan, PLN memang menawarkan beberapa kemudahan bagi perusahaan swasta yang tertarik berinvestasi di bidang SPKLU.
Gairah Indonesia menyambut mobil listrik juga terlihat dari perhelatan Indonesia Electric Motor Show (IEMS) 2021 pada 24–26 November 2021. Pameran akan digelar di Kawasan Puspitek Serpong, Tangerang Selatan, dan mengusung tema adalah Innovation for Better Future e-Mobility.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan, saat ini Indonesia mulai masuk periode terintegrasinya kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) dan industri pendukung.
"IEMS 2019 sukses dilaksanakan dan mampu memberikan awareness dan edukasi kepada publik tentang benefit dari kendaraan listrik, sekaligus mempertegas bahwa kita siap masuk ke dalam kendaraan listrik berbasis baterai (KLBB),” ujar Handoko pada soft launching IEMS 2021, Rabu (27/10/2021), dikutip dari Kompas.com.
Mobil listrik tidak lepas dari industri baterai dan industri baterai tidak lepas dari nikel.
Saat ini, Indonesia termasuk penghasil nikel. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan Indonesia memiliki 25 persen cadangan nikel dunia dan peluang itu akan dimanfaatkan sepenuhnya untuk bisa mengembangkan baterai kendaraan listrik.
Pengembangan baterai kendaraan listrik dinilai jadi peluang besar karena komponen utamanya yakni nikel, mangan dan kobalt tersedia di Indonesia. Baterai juga merupakan komponen utama yang porsinya mencapai separuh dari kendaraan listrik.
"Pada tahun 2030, sebesar 70 persen mobil di Eropa sudah beralih dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan. Kita beruntung, untuk energi baru terbarukan pada mobil, 50 persen komponennya adalah baterai dan ternyata bahan baku utamanya nikel. Nikel di Indonesia itu cadangannya 25 persen dari total cadangan dunia," ungkap Bahlil dikutip dari Kompas.tv, Juni 2021.
Menurut data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tercatat hingga Juli 2020 total neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11,88 miliar ton, sedangkan total sumber daya logam nikel sebesar 174 juta ton.
Daerah mana saja yang menjadi penghasil nikel terbesar di Tanah Air? Melansir goodnewsfromindonesia, berikut ini adalah daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia:
1. Luwu Timur, Sulawesi Selatan
2. Kolaka, Sulawesi Tenggara
3. Morowali, Sulawesi Tengah
4. Halmahera Timur, Maluku Utara
5. Pulau Gag, Papua Barat
Smelter
Dari lima daerah ini, Morowali juga berkembang menjadi kawasan industri smelter atau pengolahan nikel menjadi feronikel. Industri smelter berkembang pesat di wilayah Bahodopi, yang terletak di sebelah selatan Kota Bungku- ibu kota Kabupaten Morowali.
Dikutip dari Bisnis.com, peta industri nikel nasional bergeser dengan cepat. Pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai PT Vale Indonesia Tbk (INCO) sebesar 25 persen, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), 19 persen, dan perusahaan lainnya 3 persen.
Sementara itu, pada 2021, PT Indonesia Morowali Industrial Park atau IMIP menguasai 50 persen produksi hilir nikel, INCO berkurang 22 persen, ANTM hanya 7 persen, dan PT Virtue Dragon Nickel Industry mengontrol 11 persen.
Sebagai informasi, IMIP adalah perusahaan patungan antara Tsangshan Steel Holding asal China (66,25 persen) dan perusahaan lokal PT Bintang8 Mineral (33,75 persen). IMIP membangun smelter feronikel berkapasitas 300.000 ton per tahun di Bahodopi.
Pengalaman penulis selama di Bahodopi, setidaknya 13 perusahaan berskala besar dan puluhan perusahaan kontraktor yang berkegiatan di Bahodopi. Perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi 24 jam dan menyerap tenaga kerja sekitar 40.000 orang dan tenaga kerja berasal dari luar Bahodopi.
Kehadiran tenaga kerja dari luar Bahodopi membuat permintaan hunian meningkat. Rumah-rumah kos pun bermunculan. Sejumlah tanah kosong di Morowali, sudah dipesan untuk dibangun sebagai rumah kos.
Kawasan hunian juga berkembang ke wilayah Lalampu, yang jaraknya lebih dari 10 km dari IMIP. Di Lalampu, sudah ada pengembang yang menghadirkan rumah-rumah yang dipasarkan melalui fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR).
Kafe-kafe juga bermunculan. Rata-rata makanan dan minuman di kafe-kafe ini dibanderol Rp 20.000 sampai Rp 30.000. Minimarket juga bertumbuh. Sedangkan ketersediaan hotel menengah kurang berkembang. Dalam lima tahun terakhir, hanya ada lima hotel di sekitar IMIP.
Fasilitas publik di Bahodopi, secara umum sudah ada namun perlu ditingkatkan. Sekolah-sekolah tersedia, dari tingkat SD sampai SMA. Jalan raya yang membelah kota Bahodopi ada dua, terdiri atas jalan utama dan jalan alternatif.
Anomali di Bahodopi adalah pasokan listrik dan bahan bakar yakni bensin dan solar. Selama lima tahun terakhir, aliran PLN di wilayah pemukiman penduduk di Bahodopi sering padam. Sedangkan pompa bensin tidak ada sehingga kendaraan-kendaraan pribadi harus membeli bensin secara eceran yang harganya sekitar Rp 10.000 per botol (isi sekitar 900 ml).
Dengan potensi ekonomi yang semakin besar untuk tumbuh maka sudah selayaknya Bahodopi berkembang menjadi kota yang mendukung dinamika masyarakatnya, baik yang bekerja di kawasan industri maupun di luar kawasan industri. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H