Mengumpatlah, Tapi Bukan untuk Semua Orang
Seperti cerita saya di atas, karena memang sudah terbiasa mendengar kata umpatan, kadang saya mencoba biasa juga. Biar tidak jarang kepala saya bisa otomatis mencari tahu siapa yang mengatakan itu. Risih telinga dengarnya.
Karena tetap memagang nasihat bapak dan ibu untuk tidak menggunakan kata umaptan itu buat sembarang menuangkan emosi, apa pun jenisnya, maka ketika begitu banyak kata-kata yang dulu berkonotasi negative sekarang menjadi seolah biasa dengan maksud hendak menekankan sesuatu, saya tetap merasa kata itu tidak semestinya diucapkan.
Pernah saya baca seseorang menuliskan rasa hatinya kepada seseorang di twit. "Anjrit... Gua rindu kamu, bangsat!"
Beberapa reply menuliskan komentar guyonan atau mendukung atas rasa hatinya itu. Saya pun tahu kalau itu maksudnya betapa si penulis sangat merindukan seseorang. Tapi, dengan dua kata di awal dan akhir, menjadikan saya berkenyit kening.
Haruskan ada dua kata itu cuma ingin mengungkapkan "betapa?"
Ada lagi yang kemudian membuat saya malah sedih sebab itu ditujukan kepada orang yang dihormati. Iya sih, orang yang dimaksud pun belum tentu membaca cuitannya. Tapi, cuitannya dibaca sekian banyak orang dan di RT atau direply juga oleh banyak orang. Berarti, akan banyak orang yang mengetahui soal kata umpatan itu. Lalu bayangkan saja akhirnya seluruh dunia mengumpat. Waduh...
Dalam sebuah rekoleksi, seorang Frater (sekarang sudah Pastor) pernah bereksperimen dengan dua buah gelas plastik bekas minuman mineral yang berisi bibit kecambah. Gelas pertama, sejak awal diberikan kata-kata baik dan pujian. Dia pun bertumbuh cepat. Sementara gelas kedua, sejak awal diberikan kata-kata tak baik, seperti makian atau umpatan. Boleh percaya, boleh tidak, gelas kedua bibitnya tidak bertumbuh bahkan akhirnya pelan-pelan mati.
Dari percobaan sederhana itu kita bisa belajar bahwa kata-kata kasar, tidak baik dan cenderung menjadi kesan buruk akan menghambat pertumbuhan. Kalau dalam percobaan Frater tadi si biji tidak jadi kecambah, maka dalam diri manusia bisa jadi selama hidupnya dia tidak merasa Bahagia, selalu dikuasai emosi dan hal-hal yang menguras emosinya sendiri sehingga melupakan hal baik di sekitarnya.
(klik podcast) Biar begitu, boleh kok sesekali mengumpat untuk meluapkan emosi. Tapi, lebih baik lihat tempat. Supaya tidak terjadi lagi keburukan yang didapat.
Seperti kata banyak orang, dan saya amini, apa yang keluar dari mulutmu, itulah yang ada dalam hatimu. (anj 19)