Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ...karena menulis adalah berbagi hidup...

Akun ini pengganti sementara dari akun lama di https://www.kompasiana.com/berajasenja# Kalau akun lama berhasil dibetulkan maka saya akan kembali ke akun lama tersebut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Umpatanmu, Hatimu

19 September 2019   16:18 Diperbarui: 19 September 2019   16:39 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari esnoticia.co/noticias

Dalam sebuah rekoleksi, seorang Frater (sekarang sudah Pastor) pernah bereksperimen dengan dua buah gelas plastik bekas minuman mineral yang berisi bibit kecambah. Gelas pertama, sejak awal diberikan kata-kata baik dan pujian. Dia pun bertumbuh cepat. Sementara gelas kedua, sejak awal diberikan kata-kata tak baik, seperti makian atau umpatan. Boleh percaya, boleh tidak, gelas kedua bibitnya tidak bertumbuh bahkan akhirnya pelan-pelan mati.

Pernah suatu hari, saya harus mendengar satu kata umpatan itu ditujukan pada saya. Dari seorang teman yang semula baik-baik saja. Mungkin saking kesalnya dia pada saya, entah karena apa, maka keluarlah satu kata jenis binatang itu.

Satu kata tersebut sebernarnya sudah tidak aneh di telinga saya sebab sudah sering terdengar apalagi dalam pergaualan zaman sekarang. Nggak anak sekolah, mahasiswa bahkan orang dewasa seringkali menggunakan satu kata itu dalam kondisi mereka. Tidak peduli sedang emosi buruk maupun senang. Apalagi sedang bermain games.

Meski saya suka gemas dan sungguh tidak suka mendengar kata itu berseliweran di telinga, tapi ya sudah. Mau gimana lagi.

Hanya saja, ketika satu kata itu ternyata ditujukan pada saya dengan alasan tidak jelas dan demi meluapkan emosinya, saya jadi langsung merasa ada yang sakit di dalam hati. Bahkan membuat air mata jatuh. Kata umpatan itu benar-benar menyakiti hati saya. Butuh waktu cukup lama buat mengobatinya.

Kata Umpatan Daerah
Sebenarnya kata umpatan itu di beberapa daerah ada yang menjadi ciri has daerah itu sendiri. Anda pasti tahu beberapa diantaranya.

Di tanah kelahiran saya, di Lampung, ada juga satu kata umpatan yang tidak sehits dari daerah Jawa (baik Jawa Barat, Jawa Tengah atau Jawa Timur). Baru-baru ini saja saya dengar kata itu mulai diujarkan beberapa orang. Itu pun melalui medsos.

Waktu kecil, pertama saya dengar kata itu dari seorang tetangga yang memang kebetulan adalah seorang preman. Dia menggunakan kata itu dalam berkomunikasi setiap harinya. Saking seringnya, saya jadi merasa biasa. Tapi, bapak dan ibu alm selalu mengingatkan saya untuk tidak menggunakan kata itu sebagai cara melampiaskan emosi. Apa pun alasannya.

Apalagi kemudian si tetangga juga mulai sering mengeluarkan kata lain yang setelah saya besar baru tahu itu adalah kata lain dari jenis kelamin laki-laki. "Itu kata-kata kotor, nggak baik anak perempuan dan siapa saja mengeluarkan kata itu."

Seiring waktu, ternyata kata-kata itu seperti sebuah kata yang biasa saja. Kadang malah menjadi semacam penekanan, bukan lagi umpatan. Kesan negative seperti hendak dibuang.dengan membiasakan kata-kata itu berseliweran, baik verbal maupun non verbal. Orang yang mendengar atau membacanya menjadi tidak merasa itu adalah kata tidak baik atau berkonotasi buruk melainkan kata biasa bahkan bisa menjadi sebuah lelucon baru.

Tapi, tidak dengan saya.

Mengumpatlah, Tapi Bukan untuk Semua Orang
Seperti cerita saya di atas, karena memang sudah terbiasa mendengar kata umpatan, kadang saya mencoba biasa juga. Biar tidak jarang kepala saya bisa otomatis mencari tahu siapa yang mengatakan itu. Risih telinga dengarnya.

Karena tetap memagang nasihat bapak dan ibu untuk tidak menggunakan kata umaptan itu buat sembarang menuangkan emosi, apa pun jenisnya, maka ketika begitu banyak kata-kata yang dulu berkonotasi negative sekarang menjadi seolah biasa dengan maksud hendak menekankan sesuatu, saya tetap merasa kata itu tidak semestinya diucapkan.

Pernah saya baca seseorang menuliskan rasa hatinya kepada seseorang di twit. "Anjrit... Gua rindu kamu, bangsat!"

Beberapa reply menuliskan komentar guyonan atau mendukung atas rasa hatinya itu. Saya pun tahu kalau itu maksudnya betapa si penulis sangat merindukan seseorang. Tapi, dengan dua kata di awal dan akhir, menjadikan saya berkenyit kening.

Haruskan ada dua kata itu cuma ingin mengungkapkan "betapa?"

Ada lagi yang kemudian membuat saya malah sedih sebab itu ditujukan kepada orang yang dihormati. Iya sih, orang yang dimaksud pun belum tentu membaca cuitannya. Tapi, cuitannya dibaca sekian banyak orang dan di RT atau direply juga oleh banyak orang. Berarti, akan banyak orang yang mengetahui soal kata umpatan itu. Lalu bayangkan saja akhirnya seluruh dunia mengumpat. Waduh...

dari facebook Peter Elvin Atmaja
dari facebook Peter Elvin Atmaja

Dalam sebuah rekoleksi, seorang Frater (sekarang sudah Pastor) pernah bereksperimen dengan dua buah gelas plastik bekas minuman mineral yang berisi bibit kecambah. Gelas pertama, sejak awal diberikan kata-kata baik dan pujian. Dia pun bertumbuh cepat. Sementara gelas kedua, sejak awal diberikan kata-kata tak baik, seperti makian atau umpatan. Boleh percaya, boleh tidak, gelas kedua bibitnya tidak bertumbuh bahkan akhirnya pelan-pelan mati.

Dari percobaan sederhana itu kita bisa belajar bahwa kata-kata kasar, tidak baik dan cenderung menjadi kesan buruk akan menghambat pertumbuhan. Kalau dalam percobaan Frater tadi si biji tidak jadi kecambah, maka dalam diri manusia bisa jadi selama hidupnya dia tidak merasa Bahagia, selalu dikuasai emosi dan hal-hal yang menguras emosinya sendiri sehingga melupakan hal baik di sekitarnya.

(klik podcast) Biar begitu, boleh kok sesekali mengumpat untuk meluapkan emosi. Tapi, lebih baik lihat tempat. Supaya tidak terjadi lagi keburukan yang didapat.

Seperti kata banyak orang, dan saya amini, apa yang keluar dari mulutmu, itulah yang ada dalam hatimu. (anj 19)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun