Sering kan kita jadi ikutan emosi, sedih, bahkan marah ketika mendengar cerita dari teman yang terdzolimi? Padahal kita cuma mendengarkan cerita tersebut tapi ikut merasakan dan sering ikutan nyesek meskipun tidak mengalaminya sendiri. Dalam hal ini, kita cukup berhenti pada titik empati. Kita tahu tentang lukanya, kita boleh merasa iba atas lukanya, tapi tak perlu sampai masuk dan mendalami luka itu untuk ditempatkan pada kita.
Kalau kata Rogers, "When the other person is hurting, confused, troubled, anxious, alienated, terrified, or when he or she is doubtful of self-worth, uncertain as to identity, then understanding is called for. The gentle and sensitive companionship of an empathic stance, provides illumination and healing. In such situations deep understanding, is i believe the most precious gift one can give to another."
3. Cukup hadir dan biarkan mereka mengaktualisasikan diri
Orang-orang yang datang pada kita untuk bercerita sebenarnya sudah paham benar jawaban atas masalah-masalah mereka, hanya saja mereka butuh dukungan dalam masalah yang dihadapinya. Makanya salah besar kalau ketika ada teman yang bercerita itu kita lantas memberinya nasihat atau saran tanpa mereka minta. Yah, buat apa? Mereka sebenarnya tahu pasti kesalahan dan jawaban dari masalahnya itu, mereka kadang datang hanya ingin sekadar didengar saja.
Oleh karenanya ketika ada orang lain yang datang untuk cerita, kita cukup mendengarkan saja. Biarkan dia bercerita, mengurai masalahnya, dan menemukan jawabannya sendiri. Tugas kita hanya hadir dan mendengarkan dengan sepenuh hati.
"Tanpa teknik apa pun, ketika kita hadir dan mendengarkan sepenuhnya maka itu saja sudah bersifat terapeutik."- Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H