Kata orang tua zaman dulu, ada baiknya hari pernikahan itu jangan sampai berjarak terlalu jauh dengan hari lamaran. Jika sudah ada calonnya dan kedua belah pihak keluarga sudah merestui akan lebih baik jika hal itu disegerakan dan tidak ditunda-tunda.
Sebagian orang percaya jika niat baik ditunda-tunda, akan membuat perasaan bimbang di kedua belah pihak dan akan memperbesar kemungkinan gagalnya niat tersebut.
Tak salah sih teori tersebut, toh, dalam urusan lainnya jika kita suka menunda-nunda melakukan suatu hal pada akhirnya sering kali kita justru berubah pikiran dan mengerjakan pekerjaan lainnya.Â
Begitu juga dengan hati dan perasaan manusia. Sangat rentan dibolak-balikan. Dan waktu di antara lamaran dan hari pernikahan ini sangat berat godaannya. Akan datang satu persatu rintangan yang kadang membuat calon pengantin ini ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
Biasanya menjelang hari pernikahan, mood calon mempelai baik laki-laki ataupun perempuan ini suka naik turun tak menentu.
Di satu sisi mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan seperti biasanya, namun di sisi lain mereka juga harus menyiapkan persiapan untuk pernikahan. Entah itu foto prawedding, catering, gedung, dekorasi, make up dan gaun nikah, ataupun undangan. Semua itu tentu menguras energi.
Belum lagi kalau keduanya memiliki selera dan pandangan yang berbeda, maka perdebatan dan perselisihan tentu tak bisa dihindari.
Tak sedikit pasangan yang hendak menikah itu justru mengalami pertengkaran yang hebat.
Padahal, hal yang memicu pertengkaran itu bisa dibilang merupakan sesuatu yang sepele. Di sinilah, kekuatan ego dipertanyakan.Â
Jika keduanya masih berpegang teguh dengan ego masing-masing dan tak ada satu pun yang mengalah dalam pertengkaran ini, maka pernikahan yang sudah di depan mata pun tak akan pernah terjadi. Butuh kelapangan dada untuk saling mengalah dan mengerti satu sama lain dalam hal ini.
Waktu antara pertunangan dan pernikahan yang singkat pun bisa juga menjadi hambatan dari sebuah pernikahan. Dalam kurun waktu yang sebentar tersebut, ada banyak hal yang harus disiapkan. Entah itu masalah perlengkapan pernikahan ataupun biaya yang diperlukan.Â
Tak sedikit orang yang gelimpungan akan hal ini, akhirnya merasa dilema memikirkan segalanya. Penentuan waktu pernikahan itu harusnya tidak memberatkan satu pihak, harus dibicarakan secara terbuka saat prosesi lamaran berlangsung.
Kehadiran masa lalu atau sebut saja sang mantan juga cukup andil membuat kita bimbang untuk menikah. Entah bagaimana caranya, seolah semuanya seperti skenario semesta, yang pasti saat kita sudah menuju halal, kadang godaan dari masa lalu itu sering kali datang.
Orang yang sudah lama menghilang, mendadak muncul kembali. Menggoda iman kita untuk kembali ke masa lalu dan meneruskan cerita yang belum usai.
Pernah menonton film AADC 2 kan? Pada akhirnya, Cinta memilih untuk kembali dengan Rangga. Padahal dia sudah tunangan dengan Trian yang tentu tak kalah tampan dengan Rangga. Pernikahan Cinta dan Trian pun akhirnya kandas karena orang ketiga yang hadir dari masa lalu.
Ada juga sebagian orang yang urung dan bimbang menikah karena tahu akan masa lalu pasangannya. Dia seolah belum menerima dan berdamai akan masa lalunya, sehingga sulit baginya untuk melanjutkan segalanya di kemudian hari setelah tahu akan masa lalu pasangannya yang mungkin tak sesuai harapannya.Â
Belum lagi, semakin kita mengenal pasangan maka semakin terkuak akan kekurangan-kekurangan pada pasangan kita. Kadang hal ini membuat kita mulai ragu dan mempertimbangkan kembali niat kita.
Saat hendak menikah dulu, saya juga merasakan perasaan ragu semacam ini. Tak sekali dua kali, saya berniat untuk membatalkan pernikahan saya sendiri. Sungguh, saat itu tuh saya didera ragu yang amat sangat hebat di diri saya. Seolah ada seseorang yang membisiki saya untuk berhenti dan memilih yang lain.
Saya dan calon suami saya waktu itu baru kenal kurang dari satu tahun. Tapi dia langsung meminta saya menjadi istrinya setelah kenal beberapa bulan.
Bagi dia, kalau dua-duanya sudah saling mengenal satu sama lain, kenapa tak langsung menikah saja ketimbang pacaran. Buang-buang waktu. Padahal kala itu umur saya baru 22 tahun.
Awalnya saya berniat untuk melanjutkan sekolah. Saya bimbang setengah mati saat itu, saya harus menikah atau meneruskan sekolah?
Saya sudah menyiapkan dokumen dan uang untuk biaya sekolah saya, tapi jika saya menikah maka uang tersebut otomatis akan saya gunakan untuk biaya menikah. Saat saya pusing akan hal itu, mendadak orang-orang dari masa lalu kembali hadir.
Bahkan, dua di antaranya menyatakan cinta pada saya, dia mengaku bahwa sudah bertahun-tahun memendam cinta dan berniat untuk serius dengan saya. Tentu saya sudah mengenal mereka ketimbang calon suami saya ini.
Kebetulan saya dan calon suami saya ini punya watak dan minat yang bertolak belakang. Kami tak pernah menertawakan sesuatu yang sama. Dia suka A dan saya suka B. Terlebih saat lamaran dulu, kebetulan sekali pas hujan deras disertai geludug dan petir yang menyambar-nyambar. Bahkan mati lampu juga. Setelah itu, cincin tunangan pun kebesaran di jari saya. Saya suka mikir, jangan-jangan kami memang tidak berjodoh.
Pada akhirnya saya berhasil mengikis keraguan tersebut dan melewati satu godaan demi godaan hingga akhirnya kami menikah. Saya hanya berprinsip, bahwa ini merupakan pilihan hidup saya, apa pun yang terjadi nanti saya akan menanggungnya dan menerima konsekuensinya dalam mencintai dia.
Ternyata ujian menjelang pernikahan itu belum ada apa-apanya, setelah menikah akan banyak ujian yang harus saya selesaikan. Karena dalam dunia pernikahan itu merupakan ujian yang tak pernah ada kata lulusnya. Tetap semangat dan jangan goyah oleh goda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H