Kita tentu tahu bahwa anak-anak adalah makluk dengan pemikiran sederhana dan tingkahnya yang polos. Saya setuju dengan pendapat para ahli yang mengatakan bahwa di dunia ini tak ada yang namanya anak nakal.Â
Para orang dewasalah yang biasanya melabeli kelakuan anak-anak sebagai bentuk kenakalan. Padahal di balik kata nakal tersebut, ada rasa penasaran, rasa ingin tahu, dan rasa ingin diperhatikan.
"Namanya juga anak-anak, wajarlah!"
"Biasalah kayak gitu, namanya juga anak-anak!"
Tanpa kita sadari kita sadari ternyata kesalahan-kesalahan yang dilakukan anak-anak sebagai bentuk sebuah kenakalan tersebut dianggap sangat biasa di dunia anak-anak.Â
Tak bisa dimungkiri, kalimat-kalimat di atas sangat sering kita dengar dari para orangtua. Lalu kalimat tersebut dianggap sebagai pemakluman dari kesalahan anak-anak yang lazim dan biasa saja.
Suatu hari di toko buah teman saya ada seorang pembeli. Mereka adalah sepasang suami istri dan satu anaknya yang berusia sekitar 8 tahun.Â
Ketika orangtuanya tengah memilih-milih buah-buahan, si anak ini nyelonong masuk ke rumah teman saya tanpa permisi dan ia juga bahkan dengan berani membuka laci yang berisi uang milik teman saya ini.Â
Anehnya kedua orangtua yang melihat tindakan si anak ini tidak menegur kelakuannya. Mereka bahkan dengan entengnya bilang sama teman saya, "Namanya juga anak-anak!".
Memang benar si anak tersebut mungkin masih anak-anak, tapi kedua orangtuanya bukankah sudah dewasa? Harusnya mereka bisa menegur dan menasehati si anak, saat ia melihat kelakuan tersebut.Â
Memaklumi kepolosan anak-anak itu bukan berarti kita harus tinggal diam saat melihat si anak ini bertindak tidak sopan saat di rumah orang lain.Â