Mohon tunggu...
Reni Soengkunie
Reni Soengkunie Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang baca buku. Tukang nonton film. Tukang review

Instagram/Twitter @Renisoengkunie Email: reni.soengkunie@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Betapa Menyebalkannya Orang yang Malas Membaca

17 Juli 2019   15:18 Diperbarui: 17 Juli 2019   15:24 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya kira dengan rendahnya minat baca masyarakat, tidak akan berdampak pada saya. Toh, dia yang malas membaca, emang apa efeknya bagi saya. Kalau dia malas membaca dan jadi bodoh, kan dia juga yang bodoh sendiri. Teorinya kan gitu yah. Nyatanya, kebiasaan malas membaca yang dimiliki orang lain ini, cukup membuat saya terguncang menahan tekanan jiwa dibuatnya. 

Mungkin kedengarannya terlalu berlebihan ya, tapi, sungguh bertemu dengan orang yang malas membaca itu dapat membuat kita naik pitam. Kebodohan dari malas membaca itu ternyata seperti toxic di tubuh kita. Biar lebih jelasnya, saya ceritakan beberapa orang malas membaca yang hadir di hidup saya.

Kebetulan, saya ini berjualan secara online. Sebagai pembeli, saya sangat sebal bila ingin membeli sesuatu secara online tapi keterangan tentang produk tersebut tidak detail. Misal ingin membeli baju, tapi harganya harus via DM dulu. Gini nih, yang bikin sebal. Nanti kalau sudah DM, sudag nanya harga, tapi gak jadi beli, dibilang, 'Dasar pembeli php, nanya-nanya gak jadi beli!"

Padahal kan yang nyuruh nanya dia ya. Coba kalau harga tertera di awal. Jadi kalau uang kita gak cukup, kan gak perlu melanjutkan transaksi tersebut ya. Saya juga tak habis pikir, dengan orang yang berjualan online tapi gak mau menyertakan harga. Apa dia memang jenis orang yang suka menjawab pertanyaan po ya.

Oleh karena itu, setiap kali saya memposting jualan, saya usahakan untuk memberikan semua keterangan secara detail. Dari mulai ukuran, warna, jenis, harga, serta kontak yang bisa dihubungi. Hingga tak ada celah lagi, bagi pembeli untuk menanyakan sesuatu mengenai jualan saya.

Bagi saya semua data tersebut sudah jelas, bahkan kekurangan dagangan saya kalau ada pun saya akan beritahu di postingan. Kadang kala saya sertakan juga video biar puas. Nah, sebagai penjual kan saya sudah semaksimal mungkin memudahkan pembeli kan ya, tapi kok ya masih ada yang nanya juga coba.

Hingga akhirnya satu persatu pembeli mulai berkomentar di postingan saya. Ada yang bertanya ukuran, ada yang bertanya warna, ada yang minta kontak, lalu datang pembeli baru lagi menyakan ukuran lagi, menanyakan warna lagi, menanyakan kontak lagi. Lalu datang pembeli lagi, lagi, lagi, dan lagi. Menanyakan sesuatu yang sudah ada dan sesuatu yang sudah ditanyakan. 

Kalau yang nanya cuma satu sampai sepuluh sih oke ya, kalau sampai ratusan. Lalu ada yang DM dan menanyakan hal serupa lagi. Hmm...ini mungkin yang dinamakan membuang waktu dengan kesia-siaan.

Kalau sudah gini kan serba salah ya. Gak dijawab, kok ya dikiranya penjual yang sombong. Tapi kalau dijawab kok ya bikin gondok. Benar sih, pembeli adalah raja, tapi raja yang gimana dulu! Kok ya membaca keterangan di caption aja mereka malasnya setengah mati dan lebih memilih bertanya langsung.

Saya pernah membaca buku karya Yoko Ogawa yang berjudul The House Keeper & The Professor. Dalam buku itu, sang ahli Matematika itu kurang lebih berkata bahwa dibanding mendapatkan jawaban yang bagus, dia jauh lebih suka mendapatkan pertanyaan yang bagus. Jadi, pada dasarnya pertanyaan dari mulut seseorang itu menentukan kecerdasannya.

Hal seperti ini juga tidak hanya terjadi pada pembeli online. Misal di jalan, ada tulisan jalan khusus busway, toh masih banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalanan yang dikhususkan untuk busway tersebut. 

Apa orang-orang ini tak bisa baca? Bisa. Tapi malas. Sehingga kemalasannya ini, tak mampu membuatnya sadar akan sebuah pelanggaran. Sering kan kalau liat di acara 86, itu loh acara para polisi di Net TV. Kita sering mendapati para pelanggar lalu lintas yang berdalih, bahwa dia tak membaca plang larangan melintas. Hoho...

Begitu pula kalau saya lihat ada sebuah perlombangan menulis di sebuah penerbit. Semua syarat dan ketentuan sudah ditulis semua, tapi kok masih ada netizen yang menanyakan ukuran kertas, atau tema yang dilombakan. Ulala, kayak gini kok mau jadi penulis to, Nak. Padahal baca persyaratan aja gak sanggup.

Pepatah yang mengatakan, 'Malu Bertanya sesat di jalan' itu memang benar adanya. Tapi pertanyaan yang seperti apa dulu. Di zaman modern ini semua sudah serba canggih. Kita dimudahkan dengan teknologi, sehingga kita bisa mengakses apa pun di mesin pencarian. Bahkan saat kita hanya mengajukan satu pertanyaan, mesin pencarian akan menghadiahi kita seribu jawaban.

Ada baiknya, kita berusaha dulu membaca atau mencari. Kalau memang sudah mentok dan tak menemukan jawabannya, baru kita tanyakan pada orang lain. Jangan biasakan sedikit-sedikit bertanya. Baca dulu.

Tapi kan kita suka yang instan ya, dari pada capek-caoek membaca mending tanya aja.  kalau udah gini yah udah, tak ada yang bisa dilakukan lagi kecuali tetap bersabar. Lalu mengumpat!

Alangkah baiknya membaca dijadikan sebuah budaya dan kebiasaan sehari-hari. Kalaupun tak mau membaca, minimal yah jangan merugikan waktu orang lain untuk menanggung kesal dengan kemalasan membaca kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun