Populasi muslim di Indonesia memang menang telak dibandingkan jumlah penganut agama lain. Tetapi justru dengan entitas yang mendominasi ini, sebagian besar muslim belum cukup mampu menghadapi isu toleransi di lingkup kebhinekaan Indonesia. Seperti di tahun 2017, Pilkada Jakarta memunculkan berbagai gelombang protes yang mengkutubkan massa menjadi dua besaran.Â
Di satu sisi, ada yang anti dengan wacana pemimpin non-Islam, di sisi lainnya, kaum plural pun kekeh bahwa pemimpin tidak perlu latar belakang agama tertentu.Â
Permasalahan titik seimbang toleransi ini malah diperunyam dengan oknum pemuka agama yang malah banyak menyuarakan khotbah yang sarat kebencian terhadap agama lain. Dan ketegangan pun makin menjadi ketika jemaatnya yang fanatik buta, menjadi tangan panjang elit agama yang berujung anarkisme dan perlakuan intimidatif terhadap jemaat yang berlainan sisi pikir.Â
Konsekuensinya, kaum pluralis pun tak sedikit yang menjadi apatis terhadap Islam, meskipun sebagian besarnya adalah orang yang mencantumkan Islam sebagai agama di kartu penduduk.
Persoalan ini mengindikasikan banyak asa yang ditaruh di pundak dai-dai untuk menyampaikan diskursus yang lebih arif di tengah ketegangan intoleransi versus pluralis ini.Â
Dai harus mampu berkomunikasi sebagaimana komunikasi yang dijabarkan oleh Event M.Rogers, yaitu, "proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.Â
Bila dai mampu membawa pengertian jemaat kepada pengetahuan sikap saling pengertian yang mendalam, maka bukan tidak mungkin konflik dua kubu ini bisa mereda dan berakhir.Â
Kubu fanatik menjadi manusia bijak yang tidak asal menghardik umat yang berbeda pandangan dengannya, dan kubu pluralis pun tidak apatis terhadap wacana-wacana keagaaman Islam yang lebih integral.Â
Untuk menjadikannya terwujud tentu bukan perkara mudah. Dai-dai sebagai ujung tombak dakwah Islam Rahmatan lil'Alamin pun, belum cukup dikatakan sebagai pionir ideal dalam meredam ketegangan isu intoleransi ini. Bahkan tak sedikit dai yang malah gamang terpengaruh pemikiran yang sangat kentara pluralis. Karena jika bukan disulut perkara politis, sebenarnya sebagian yang dilabeli kaum fanatik agama pun adalah pluralis-pluralis itu sendiri.Â
Pola perilaku mereka banyak mengadaptasi dua ciri konsep modernitas, yaitu individual dan materialistik. Hitung-hitungan sikap yang dimunculkan didasarkan pada "apa keuntungan yang akan saya dapatkan?" Hingga agama pun bermuara pada penjumlahan profit yang sangat materialis dan egosentris.Â
Bila agama dianggap menguntungkan, maka bukan tidak mungkin agama diperalat untuk mencari keuntungan pribadi. Seperti yang banyak dilakukan oleh beberapa oknum pemuka agama atau elit politik, meskipun pada akhirnya harus menggadai persatuan masyarakat.