Mohon tunggu...
Reni P
Reni P Mohon Tunggu... Buruh - Saintis yang lagi belajar nulis

Seneng guyon Visit renipeb.medium.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang yang Meyakinkan itu Belum Tentu Benar

17 Februari 2019   17:46 Diperbarui: 17 Februari 2019   18:15 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                

Dipandu oleh orang pribumi, saya bersama sahabat saya mengunjungi situs sejarah Giri Kedaton di Kabupaten Gresik. Tempat yang cukup berbeda dengan area Gresik pada umumnya, yang selalu lekat dengan polusi udara, baik dari limbah industri maupun jalanan lebar yang luruh aspalnya. Sebaliknya, sejuknya udara dari pepohonan dan ketinggian dipadu hangatnya matahari sangat cocok untuk dijadikan tempat bercengkerama bersama keluarga atau sekedar membaca buku ditemani pemandangan perumahan dan pelabuhan yang menghadap langsung ke Pulau Madura.

Tapi, yang jadi menarik bukan hanya tentang  Kedaton yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Giri sebelum direbut oleh Mataram. Namun, ini tentang pertemuan dan percakapan kami dengan bocah kelas 3 SD yang bagi saya cukup unik. Namanya Ali. Bukan penduduk asli Giri. Statusnya sama-sama turis seperti kami. Katanya sih  berasal dari Kreyan, ejanya dalam aksen khas Jawa Timur. Entah di mana letak daerahnya, yang pasti teman pribumiku mengafirmasi bahwa jarak tempat tinggal Ali itu cukup jauh dari tempat kami berpijak saat itu.

Kalau Anda pikir, kamilah yang mengawali percakapan dengan anak kecil tersebut, mohon maaf, Anda keliru. Dialah yang memulai menyapa kami, saat kami baru sampai dan terduduk di batu tepian halaman surau yang berundak. Dia membuka interaksi dengan pertanyaan, apakah kami warga asli Gresik atau bukan, yang kemudian ditimpalinya dengan ceritanya bahwa ia pun turis lokal di situs sejarah tersebut. Obrolan pun mengalir seputar kedatangannya yang menjadikan ia harus bolos sekolah hingga kami saling terdiam menikmati pemandangan di sekitar. Akhirnya, ia pun memanggil adik perempuannya yang berada di undakan atas di pelataran surau untuk bersama-sama bermain dengannya. Ternyata adik perempuannya pun sama-sama kurang pemalu dalam menyapa kami yang sebelumnya adalah orang asing

Lalu apa istimewanya bocah kecil itu? Saat berlarian dengan adik perempuannya, ia memanggilku dan bertanya, "Mbak, mbak, binatang apa yang paling besar?".

Tanpa pikir panjang ku jawab, "Dinosaurus."

Dia menyangkal jawabanku, "Salah! Itu sudah mati." Dengan alis yang diangkat dan berkacak pinggang.

Penasaran apa jawabannya, "memangnya apa?" aku menantangnya.

Dengan penuh keyakinan dia bilang, "Epema!"

Heran, belum pernah mendengar makhluk bernama Epema, aku pun menimpali, "bukan paus biru?"

Dengan yakinnya lagi dia bilang, "bukan! Epema ada di Amazon." lalu dia pun kembali mengejar adik perempuannya dan aku menghampiri temanku yang meminta untuk difoto di salah satu punden berundak.

Karena perasaan ragu tapi percaya, aku bertanya kepada sahabatku tentang pertanyaan yang dilontarkan Ali padaku berikut jawabannya. Ternyata pengetahuan tentang nama Epema pun tidak ada dalam ingatan sahabatku. Dia menyarankanku utuk mencarinya di internet.

Dan ternyata, tidak ada yang namanya Epema. Hasil pencarian searching engine berakhir pada situs e-commerce Amazon dan sejumlah akun sosial media yang membubuhkan nama Epema di dalamnya.

Saat itu kami tertawa dan merasa sama-sama tololnya telah mempercayai apa yang dikatakan anak kecil petakilan tersebut. Kami tak sempat meng-crosscheck untuk bertanya lagi pada Ali, karena jujur saja tidak kepikiran. Hehe.

Sungguh, sampai pulang pun kejadian tersebut masih terngiang-ngiang hingga kuceritakan kepada teman-temanku di kosan. Lucunya, ada juga yang percaya bahwa Epema itu ada karena aku pun menceritakannya seperti meyakinkannya bocah Epema tadi dalam mengecoh pengetahuanku.

Aku terus berpikir mengapa kita percaya begitu mudah dengan apa yang Ali katakan. Aku tidak tahu niat Ali saat itu apa, apa kepribadian spesifiknya, apa yang dia baca, apa yang ia dengar dan ia tonton. Tapi setidak-tidaknya ada tiga kemungkinan yang menjadi alasan kenapa saya bisa mempercayai Ali, pertama, secara psikologis Ali merasa realitas Epema itu memang ada, sehingga timbul keyakinan yang berpegaruh pada gesturnya yang sama-sama meyakinkan. Yang kedua, Ali memang pandai atau terbiasa memainkan ekspresi-ekspresi meyakinkan, meskipun ia tahu kenyataannya Epema itu tidak ada. Kemungkinan ketiga, memang sayanya saja yang mudah percaya terhadap kesan dari apa yang Ali katakan.

Kita buka kemungkinan pertama. Dalam buku Joe Navarro yang  berjudul What Every Body Is Saying?, Navarro memaparkan bahwa manusia mempunyai salah satu bagian otak yang ilmuwan sepakati bernama limbik. Bagian ini, secara menakjubkan bisa "membocorkan" apa yang dirasakan dan dipikir manusia dan disalurakan lewat gerakan tubuh yang cukup sulit untuk dikontrol. Ketika manusia merasa terancam (ada objek yang cenderung tidak menyenangkan), limbik mengoordinasi bagian-bagian tubuh tertentu untuk mengaktuskan sikap-sikap  seperti membeku (freezing), menghindar (flight), atau melawan (fight). Begitu pun sebaliknya. Ketika manusia merasa nyaman terhadap sesuatu objek yang menyenangkan, alamiahnya manusia akan mengeluarkan gerakan-gerakan tubuh dalam upayanya untuk mendekatakan dirinya terhadap objek kesenangan tersebut.

Lalu bagaimana dengan Ali? Katakanlah bocah  ini memang yakin bahwa Epema itu betulan ada dan merupakan hewan terbesar. Maka, pertanyaannya, memang bagaimana sih tanda-tandanya orang yang yakin terhadap kebenaran yang ia katakan hingga bisa mengeluarkan gestur-gestur meyakinkan?

Tentu secara tempo, orang yakin tidak boleh berjeda. Jeda berarti ada ruang. Entah ruang untuk merasa ataukah berpikir. Orang yang terlalu banyak melakukan lip-filler seperti "mmm.." "eee.." "anu.." atau apapun itu, ia sedang butuh jeda atau ruang waktu untuk berpikir ataupun merasa. Dan Ali tidak melakukan hal itu.

Secara gestur, Ali pun tidak ada tanda-tanda gestur berpikir (psikologis kognisi menghubungkan data), seperti mengerutkan alis atau gerakan-gerakan yang sedang menghubungkan sesuatu. Kita tidak pernahkan menemukan orang yang yakin harus berpikir apa yang telah ia yakini? Kalau berpikir lagi, apa bedanya orang yakin dengan orang yang ragu? Apalagi yang sudah ia anggap benar, yang keluar adalah sikap bangga atau pembelaan bila keyakinannya dihancurkan. Maka, sikap yakin yang ditampilkan akan berbanding dengan sikap ragu yang cenderung mengerutkan atau mengecilkan diri (gerakan-gerakan menutupi, seperti menunduk, torso ditekuk membungkuk, dll). Dan, Ali justru menampilkan gestur yang lebih memperbesar tubuhnya, seperti mengangkat dagu dan tangannya berkacak pinggang.

Sehingga, kemungkinan Ali merasa benar terhadap apa yang ia katakan bisa jadi memang terjadi.

Selanjutnya, untuk kemungkinan yang kedua pun sebenarnya bisa juga menjadi alternatif faktor. Ali memang terbiasa menampilkan gestur-gestur meyakinkan. Hal ini pun sebenarnya akan cukup logis bila membandingkan kepribadiannya yang tidak malu-malu dengan dunia luar. Terbukti saat percakapan yang kami lakukan, yang memulai adalah dia duluan.

Tapi, yang menjadi dilema adalah bila dia tahu Epema itu bukan mahkluk yang terbesar, maka setidak-tidaknya ia akan menampilkan gerakan ketidakjujuran yang membuatnya tak nyaman. Hal ini memunculkan celah yang bisa membuat kita tahu bahwa dia tidak jujur. Sebab, sistem limbik akan membocorkan bahwa psikologisnya sedang tidak nyaman karena sedang menyangkal apa yang ia rasa benar. Siapa sih yang merasa nyaman menyangkal terhadap apa yang ia rasa benar. Dan lagi, secara umur pun apakah dia cukup mampu untuk bersikap manipulatif seperti itu?

Ada sub kemungkinan yang lain yang bisa terjadi. Bisa saja faktor pengamatanku yang kurang teliti sehingga, analisa gerakan tubuhnya ada yang terlewat.

Tapi, kalau memang benar dia bisa memanipulasi gerakan tubuhnya, lucu juga ya, masih kecil sudah pandai mengakali fakta. Kalau memang benar-benar iya, nih. kita doakan saja semoga dia tidak jadi politisi yang doyan korupsi. Hehe.

Beranjak menuju kemungkinan ketiga, inilah kemungkinan yang setidaknya menampar kesadaran kita dalam menguji kepercayaan terhadap apa yang dikatakan seseorang.  Karena orang yang meyakinkan itu belum tentu bicara kebenaran.

Dengan ulasan sebelumnya tentang limbik, kita tahu bahwa bahasa tubuh seseorang mengikuti kondisi psikologisnya. Bila jiwanya menganggap suatu hal itu benar, meskipun kenyataannya bertentangan, tetap saja, limbik akan mengoordinasi apa yang ia rasakan, bukan tentang kebenaran yang universalnya seperti apa. Dan itu yang membuat orang terlihat sangat meyakinkan.

Bahkan, bila kita melepas aspek bahasa tubuhnya Ali pun, secara kebahasaan (verbal), isi pembicaraannya pun perlu diakui cukup meyakinkan. Ia menggunakan istilah Epema dan Amazon yang tidak umum bagi anak seumurannya.

Istilah ini berkesan sangat saintis dan akademis. Saya pikir hanya anak-anak berpengetahuan cukup yang mampu mengeluarkan kata-kata tersebut. Dan ketika Ali mengeluarkan dua kata itu, secara cepat saya menggolongkan Ali menjadi orang yang senang dengan literasi yang setidak-tidaknya memliki minat baca terkait sains.

Tapi sekali lagi, suatu kata tidak boleh hanya memiliki kesan tertentu. Ia harus mempunyai makna yang mewakili kenyataan yang dibicarakan. Masalahnya adalah apakah kata-kata yang dibicarakannya benar-benar mewakili kenyataannya?

Meskipun hal ini baru masalah komunikasi secara kebahasaan dan gestur. Tapi, jelas terasa. Dua istilah yang berkesan saintis dengan pembawaan yang meyakinkan, sudah mengecoh kepercayaan pengetahuan anak umur dua puluh tahunan.

Dan dengan ini, hipotesa yang ketiga ini buat saya sendiri, kesimpulannya bukan hanya tentang probabilitas apakah faktor kelalaian saya dalam menangkap pesan mungkin terjadi atau tidak.

Tapi, justru dengan percakapan Ali kemarin bisa menjadi pelajaran ke depannya. Jika kita (tentunya termasuk saya) sering dibodohi atau mudah percaya terhadap kata-kata seseorang, kita harus berkaca. Jangan-jangan apa yang kita tangkap dari perkataan hanya sekedar kesan, bukan kenyataan. Kesan tidak mewakili kenyataan dan kebenaran secara utuh. Kesan itu yang bisa merasakan perasaan, sedangkan kenyataan butuh alat yang lebih, yaitu pikiran. Maka berhati-hatilah terhadap perkataan seseorang.

Bertabayun atau meng-crosscheck dengan sumber lain adalah hal yang harus dibiasakan. Karena bila percaya itu diperlukan, maka waspada pun diharuskan. Supaya kita tidak terjebak dalam kesan-kesan yang menyesatkan. 

Apalagi musim musim pemilu gini. 

Jangan cuma modal yakin, tapi juga modal fakta! Hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun