Â
Dipandu oleh orang pribumi, saya bersama sahabat saya mengunjungi situs sejarah Giri Kedaton di Kabupaten Gresik. Tempat yang cukup berbeda dengan area Gresik pada umumnya, yang selalu lekat dengan polusi udara, baik dari limbah industri maupun jalanan lebar yang luruh aspalnya. Sebaliknya, sejuknya udara dari pepohonan dan ketinggian dipadu hangatnya matahari sangat cocok untuk dijadikan tempat bercengkerama bersama keluarga atau sekedar membaca buku ditemani pemandangan perumahan dan pelabuhan yang menghadap langsung ke Pulau Madura.
Tapi, yang jadi menarik bukan hanya tentang  Kedaton yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Giri sebelum direbut oleh Mataram. Namun, ini tentang pertemuan dan percakapan kami dengan bocah kelas 3 SD yang bagi saya cukup unik. Namanya Ali. Bukan penduduk asli Giri. Statusnya sama-sama turis seperti kami. Katanya sih berasal dari Kreyan, ejanya dalam aksen khas Jawa Timur. Entah di mana letak daerahnya, yang pasti teman pribumiku mengafirmasi bahwa jarak tempat tinggal Ali itu cukup jauh dari tempat kami berpijak saat itu.
Kalau Anda pikir, kamilah yang mengawali percakapan dengan anak kecil tersebut, mohon maaf, Anda keliru. Dialah yang memulai menyapa kami, saat kami baru sampai dan terduduk di batu tepian halaman surau yang berundak. Dia membuka interaksi dengan pertanyaan, apakah kami warga asli Gresik atau bukan, yang kemudian ditimpalinya dengan ceritanya bahwa ia pun turis lokal di situs sejarah tersebut. Obrolan pun mengalir seputar kedatangannya yang menjadikan ia harus bolos sekolah hingga kami saling terdiam menikmati pemandangan di sekitar. Akhirnya, ia pun memanggil adik perempuannya yang berada di undakan atas di pelataran surau untuk bersama-sama bermain dengannya. Ternyata adik perempuannya pun sama-sama kurang pemalu dalam menyapa kami yang sebelumnya adalah orang asing
Lalu apa istimewanya bocah kecil itu? Saat berlarian dengan adik perempuannya, ia memanggilku dan bertanya, "Mbak, mbak, binatang apa yang paling besar?".
Tanpa pikir panjang ku jawab, "Dinosaurus."
Dia menyangkal jawabanku, "Salah! Itu sudah mati." Dengan alis yang diangkat dan berkacak pinggang.
Penasaran apa jawabannya, "memangnya apa?" aku menantangnya.
Dengan penuh keyakinan dia bilang, "Epema!"
Heran, belum pernah mendengar makhluk bernama Epema, aku pun menimpali, "bukan paus biru?"
Dengan yakinnya lagi dia bilang, "bukan! Epema ada di Amazon." lalu dia pun kembali mengejar adik perempuannya dan aku menghampiri temanku yang meminta untuk difoto di salah satu punden berundak.