Tapi, yang menjadi dilema adalah bila dia tahu Epema itu bukan mahkluk yang terbesar, maka setidak-tidaknya ia akan menampilkan gerakan ketidakjujuran yang membuatnya tak nyaman. Hal ini memunculkan celah yang bisa membuat kita tahu bahwa dia tidak jujur. Sebab, sistem limbik akan membocorkan bahwa psikologisnya sedang tidak nyaman karena sedang menyangkal apa yang ia rasa benar. Siapa sih yang merasa nyaman menyangkal terhadap apa yang ia rasa benar. Dan lagi, secara umur pun apakah dia cukup mampu untuk bersikap manipulatif seperti itu?
Ada sub kemungkinan yang lain yang bisa terjadi. Bisa saja faktor pengamatanku yang kurang teliti sehingga, analisa gerakan tubuhnya ada yang terlewat.
Tapi, kalau memang benar dia bisa memanipulasi gerakan tubuhnya, lucu juga ya, masih kecil sudah pandai mengakali fakta. Kalau memang benar-benar iya, nih. kita doakan saja semoga dia tidak jadi politisi yang doyan korupsi. Hehe.
Beranjak menuju kemungkinan ketiga, inilah kemungkinan yang setidaknya menampar kesadaran kita dalam menguji kepercayaan terhadap apa yang dikatakan seseorang. Â Karena orang yang meyakinkan itu belum tentu bicara kebenaran.
Dengan ulasan sebelumnya tentang limbik, kita tahu bahwa bahasa tubuh seseorang mengikuti kondisi psikologisnya. Bila jiwanya menganggap suatu hal itu benar, meskipun kenyataannya bertentangan, tetap saja, limbik akan mengoordinasi apa yang ia rasakan, bukan tentang kebenaran yang universalnya seperti apa. Dan itu yang membuat orang terlihat sangat meyakinkan.
Bahkan, bila kita melepas aspek bahasa tubuhnya Ali pun, secara kebahasaan (verbal), isi pembicaraannya pun perlu diakui cukup meyakinkan. Ia menggunakan istilah Epema dan Amazon yang tidak umum bagi anak seumurannya.
Istilah ini berkesan sangat saintis dan akademis. Saya pikir hanya anak-anak berpengetahuan cukup yang mampu mengeluarkan kata-kata tersebut. Dan ketika Ali mengeluarkan dua kata itu, secara cepat saya menggolongkan Ali menjadi orang yang senang dengan literasi yang setidak-tidaknya memliki minat baca terkait sains.
Tapi sekali lagi, suatu kata tidak boleh hanya memiliki kesan tertentu. Ia harus mempunyai makna yang mewakili kenyataan yang dibicarakan. Masalahnya adalah apakah kata-kata yang dibicarakannya benar-benar mewakili kenyataannya?
Meskipun hal ini baru masalah komunikasi secara kebahasaan dan gestur. Tapi, jelas terasa. Dua istilah yang berkesan saintis dengan pembawaan yang meyakinkan, sudah mengecoh kepercayaan pengetahuan anak umur dua puluh tahunan.
Dan dengan ini, hipotesa yang ketiga ini buat saya sendiri, kesimpulannya bukan hanya tentang probabilitas apakah faktor kelalaian saya dalam menangkap pesan mungkin terjadi atau tidak.
Tapi, justru dengan percakapan Ali kemarin bisa menjadi pelajaran ke depannya. Jika kita (tentunya termasuk saya) sering dibodohi atau mudah percaya terhadap kata-kata seseorang, kita harus berkaca. Jangan-jangan apa yang kita tangkap dari perkataan hanya sekedar kesan, bukan kenyataan. Kesan tidak mewakili kenyataan dan kebenaran secara utuh. Kesan itu yang bisa merasakan perasaan, sedangkan kenyataan butuh alat yang lebih, yaitu pikiran. Maka berhati-hatilah terhadap perkataan seseorang.