Karena perasaan ragu tapi percaya, aku bertanya kepada sahabatku tentang pertanyaan yang dilontarkan Ali padaku berikut jawabannya. Ternyata pengetahuan tentang nama Epema pun tidak ada dalam ingatan sahabatku. Dia menyarankanku utuk mencarinya di internet.
Dan ternyata, tidak ada yang namanya Epema. Hasil pencarian searching engine berakhir pada situs e-commerce Amazon dan sejumlah akun sosial media yang membubuhkan nama Epema di dalamnya.
Saat itu kami tertawa dan merasa sama-sama tololnya telah mempercayai apa yang dikatakan anak kecil petakilan tersebut. Kami tak sempat meng-crosscheck untuk bertanya lagi pada Ali, karena jujur saja tidak kepikiran. Hehe.
Sungguh, sampai pulang pun kejadian tersebut masih terngiang-ngiang hingga kuceritakan kepada teman-temanku di kosan. Lucunya, ada juga yang percaya bahwa Epema itu ada karena aku pun menceritakannya seperti meyakinkannya bocah Epema tadi dalam mengecoh pengetahuanku.
Aku terus berpikir mengapa kita percaya begitu mudah dengan apa yang Ali katakan. Aku tidak tahu niat Ali saat itu apa, apa kepribadian spesifiknya, apa yang dia baca, apa yang ia dengar dan ia tonton. Tapi setidak-tidaknya ada tiga kemungkinan yang menjadi alasan kenapa saya bisa mempercayai Ali, pertama, secara psikologis Ali merasa realitas Epema itu memang ada, sehingga timbul keyakinan yang berpegaruh pada gesturnya yang sama-sama meyakinkan. Yang kedua, Ali memang pandai atau terbiasa memainkan ekspresi-ekspresi meyakinkan, meskipun ia tahu kenyataannya Epema itu tidak ada. Kemungkinan ketiga, memang sayanya saja yang mudah percaya terhadap kesan dari apa yang Ali katakan.
Kita buka kemungkinan pertama. Dalam buku Joe Navarro yang  berjudul What Every Body Is Saying?, Navarro memaparkan bahwa manusia mempunyai salah satu bagian otak yang ilmuwan sepakati bernama limbik. Bagian ini, secara menakjubkan bisa "membocorkan" apa yang dirasakan dan dipikir manusia dan disalurakan lewat gerakan tubuh yang cukup sulit untuk dikontrol. Ketika manusia merasa terancam (ada objek yang cenderung tidak menyenangkan), limbik mengoordinasi bagian-bagian tubuh tertentu untuk mengaktuskan sikap-sikap  seperti membeku (freezing), menghindar (flight), atau melawan (fight). Begitu pun sebaliknya. Ketika manusia merasa nyaman terhadap sesuatu objek yang menyenangkan, alamiahnya manusia akan mengeluarkan gerakan-gerakan tubuh dalam upayanya untuk mendekatakan dirinya terhadap objek kesenangan tersebut.
Lalu bagaimana dengan Ali? Katakanlah bocah  ini memang yakin bahwa Epema itu betulan ada dan merupakan hewan terbesar. Maka, pertanyaannya, memang bagaimana sih tanda-tandanya orang yang yakin terhadap kebenaran yang ia katakan hingga bisa mengeluarkan gestur-gestur meyakinkan?
Tentu secara tempo, orang yakin tidak boleh berjeda. Jeda berarti ada ruang. Entah ruang untuk merasa ataukah berpikir. Orang yang terlalu banyak melakukan lip-filler seperti "mmm.." "eee.." "anu.." atau apapun itu, ia sedang butuh jeda atau ruang waktu untuk berpikir ataupun merasa. Dan Ali tidak melakukan hal itu.
Secara gestur, Ali pun tidak ada tanda-tanda gestur berpikir (psikologis kognisi menghubungkan data), seperti mengerutkan alis atau gerakan-gerakan yang sedang menghubungkan sesuatu. Kita tidak pernahkan menemukan orang yang yakin harus berpikir apa yang telah ia yakini? Kalau berpikir lagi, apa bedanya orang yakin dengan orang yang ragu? Apalagi yang sudah ia anggap benar, yang keluar adalah sikap bangga atau pembelaan bila keyakinannya dihancurkan. Maka, sikap yakin yang ditampilkan akan berbanding dengan sikap ragu yang cenderung mengerutkan atau mengecilkan diri (gerakan-gerakan menutupi, seperti menunduk, torso ditekuk membungkuk, dll). Dan, Ali justru menampilkan gestur yang lebih memperbesar tubuhnya, seperti mengangkat dagu dan tangannya berkacak pinggang.
Sehingga, kemungkinan Ali merasa benar terhadap apa yang ia katakan bisa jadi memang terjadi.
Selanjutnya, untuk kemungkinan yang kedua pun sebenarnya bisa juga menjadi alternatif faktor. Ali memang terbiasa menampilkan gestur-gestur meyakinkan. Hal ini pun sebenarnya akan cukup logis bila membandingkan kepribadiannya yang tidak malu-malu dengan dunia luar. Terbukti saat percakapan yang kami lakukan, yang memulai adalah dia duluan.