Mohon tunggu...
Reni P
Reni P Mohon Tunggu... Buruh - Saintis yang lagi belajar nulis

Seneng guyon Visit renipeb.medium.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Khadijah, Wanita Berdaya dari Abad Delapan

9 Maret 2018   21:56 Diperbarui: 9 Maret 2018   22:07 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mona Haydar - Hijabi (Wrap My Hijabi)


"Ooooh, jadi, hari ini adalah hari Perempuan Internasional, toh."

Merupakan respon kudet saya ketika melihat tampilan awal Google yang menampilkan karya-karya seni-woman super uapik:

Perempuan macam apa yah saya ini. Tak berpengetahuan terhadap hari raya saya sendiri (yang tentunya bersama-sama dengan milyaran perempuan lain di negara lain).

Terlepas dari betapa dungunya saya terhadap hal tersebut, isu ini memang menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Apalagi untuk negara-negara demokratis yang sistem sosialnya yaaah patriarki. Banyak sura-suara vokal yang mengeluhkan masalah hak perempuan, entah dalam berpakaian, upah, pendidikan, hingga perlakuan yang seringnya dianggap hanya 'didominasi' oleh kaum adam. Apalagi, hal ini menjadi semakin terdengar lebih nyaring dengan dilakukannya 'gerak jalan' oleh sura-suara vokal aktivis perempuan ibukota kemarin.

Banyak perempuan-perempuan cerdas yang hari ini bermunculan dari luar hingga tataran lokal pun mimpi-mimpi perempuan untuk berdaya terus diperjuangkan. Tapi untuk kali ini, izinkan saya menyuplik sekilas kisah salah satu inspirator saya, yaitu Khadijah, istri pertama Rasullullah S.A.W.

Dalam buku karangan Muhammad Haikal, saya menangkap Khadijah ini merupakan motivasi sekaligus penyokong pendanaan dakwah, apalagi ketika Rasul memutuskan untuk fokus mengurus umat dan menanggalkan aktivitas perniagaannya yang ia tekuni sedari dulu. Bila anda pahami, upaya menyebarkan misi Ilahi tersebut dibutuhkan materi yang tak sedikit. 

Apalagi, salah satu program dakwah saat itu adalah upaya pemberantasan perbudakan. Dengan sistem jumud yang mengakar di budaya Arab kala itu, Khadijah bersama para saudagar-saudagar muslim lainnya bergotong royong  untuk membeli budak dan membebaskan mereka selayaknya manusia.

Beberapa riwayat menyatakan sebelum nabi masih menjadi mitra bisnis Khadijah, jumlah aset yang dimiliki Nabi masih kalah dengan yang dimiliki Khadijah. Padahal, saat tu Nabi mampu memberikannya mahar nikah sekurang-kurangnya seratus unta. Kalau saja hari ini harga unta adalah 100 juta, maka kalikan saja seratus lagi. Itu untuk harga mahar, belum total kekayaan nabi, lalu bisakah anda bayangkan seberapa banyak kekayaan Khadijah yang mampu mengalahkan kekayaan Nabi?

Saat itulah, saya kira Khadijah mampu memantaskan dirinya, menjadi perempuan yang berdaya ketika perempuan-perempuan lainnya hanya diperlakukan dan pasrah menjadi barang seks bagi para ikhwan.

Menariknya, turunnya perintah shalat pun tak jauh hubungannya dengan peran Khadijah.

Rasul di tahun kedukaannya, ketika dakwah serba sulit, embargo di sana sini, ia pun harus rela ditinggalkan oleh Khadijah dan juga pamannya. Padahal, seperti saya sebutkan. Peran Khadijah maupun pamannya sangatlah penting. Baik dukungan moril maupun materil mereka berikan berapapun untuk kemajuan dakwah Islam saat itu. Saat itulah Rasul secara psikologis sangat tertekan dan mungkin boleh saya katakan, beliau berada di titik terendah kehidupannya. 

Motivationless. Dan Allah pun akhirnya meng-isra-miraj-kan Rasul untuk menerima perintah shalat sebagai motivasi dakwah Rasul untuk selalu konsisten dalam mengurus umatnya.

Inilah yang menjadi motivasi saya juga untuk berdaya..

Tapi, tak cukup di situ...

Sempat saya terhenyak ketika saya mendeklarasikan diri ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, respon-respon yang saya dapat malahan "perempuan itu ujung-ujungnya memasak dan menimang anak suaminya." Karir dilepas, anak dan suamilah yang dipikirkan. Apakah itu maksudnya?

Apakah saya tidak setuju dengan hal itu?

Saya tekankan, saya perempuan dan saya punya rahim. Dengan potensi yang saya miliki saya berkeinginan bila menikah nanti saya ingin menimang anak saya sendiri, dan mencoba berlatih untuk memasak makanan yang enak untuk memanjakan perut suami. Saya bisa mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel, menjemur kasur, hingga ngangkat galon, YA SAYA BISA.

TAPI, TOLONG. Jangan jadikan 'kodrat' klasik tersebut menjadi legitimasi bahwa perempuan tak diizinkan untuk berkarya. Perempuan, termasuk saya, punya potensi yang jauh lebih baik dari hanya sekadar meng-handlemasalah kamar dan dapur.

Teman, perempuan itu adalah manusia. Setengah jumlah populasi spesies yang berakal adalah saya dan milyaran betina lainnya di dunia ini. Kalau peradaban hanya dibebankan pada kaum berjakun saja, siap-siap saja kecepatan perkembangan peradaban akan laun setengahnya. Khususnya, Indonesia. Saya kira dengan pembangunan yang terus digaungkan oleh pemerintah, perempuan pun harus diberi potensi yang sama untuk berkarya dan menyalurkan potensinya.

Yang jelas, yang bisa saya ambil dari hari perempuan ini adalah pengingat semangat kita para perempuan untuk terus berjuang karena kita jauh lebih hebat dari apa yang kita pikirkan. Agama apapun itu, suku apapun itu, ras apapun yang ada di Indonesia tidak berhak melabeli bahwa perempuan tidak boleh berdaya.

Dan terakhir saya sampaikan. Saya tak hendak merendahkan kaum adam, akang, mas, om, dan bapak yang terhormat. Justru menurut saya, dengan mengambil sekilas hikmah dari perjuangan Khadijah tadi, siapapun itu kita tak lagi berhak untuk berbicara siapa subjek dan siapa objek, yang mana yang lebih kuat dan yang mana yang lebih lemah. Tidak. 

Jangan lagi berbicara masalah streotype yang kurang substansial. Jangan bilang lagi kalau perempuan feelingnya kuat, dan laki thinkingnya menang. Karena jelas, pada kenyataannya ada perempuan yang hidupnya serba logika, dan ada juga pria yang serba memikirkan perasaan. Ada perempuan yang suka bola, dan ada laki-laki yang lebih suka mengeksplor masalah busana.

IT'S CLEAR TO SEE.

Kita bukan lagi bicara apa kekurangan dan kelebihan kita.

Tapi, apa potensi kita yang bisa kita sumbangkan untuk perubahan.

Mari, gotong royong.

Tua, muda, laki, dan perempuan.

Mohon maaf bila ada salah kata.

Salam semangat!

               

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun