Mendengar berita sana sini menjadi pilu hati saya. Politik memanas, agama diatasnamakan, kekuasaan menjadi tujuan. Gaduh di sana sini. Kubu kiri dan kanan tak pernah bermufakat. Layaknya air dan minyak. Sama rupa, tapi tak satu. Entah kemana negeri ini akan dibawa. Sadarkah.. Kita bukan hanya tergenang, kita tenggelam di sungai yang tak bermuara.
3 kali adanya aksi pengerahan massa, menekan pemerintah, diberi nama aksi damai. Entah siapa yang memberi perintah. Ada yang bilang “kami tergerak oleh hati nurani.”. Tapi siapa yang memulai? Saya tak berhak tahu. Tapi, umat muslim patut diacungi jempol. Semua berkumpul, terkonsolidasi, menjadi mesra seperti mereka tak pernah bercokol akibat perbedaan tafsir dalam syariat ibadah mereka.
Siapalah saya berbicara tentang politik. Saya tak pernah sengaja mengunyah pendidikan tersebut secara formal. Tapi, saya pun pernah diajari pendidikan kewarganegaraan. Setidaknya saya mengerti saya siapa. Warga kecil, yang hanya bisa berpikir dan menggerutu, menyimak benang kasur yang kusut tak terurai ini.
Saya di sini sadar kurang ilmu. Tapi biarlah pikiran saya berbicara. Saya tidak bisa diam dengan gonjang ganjing seperti ini. Jangankan saya yang ilmunya kurang, orang yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan pun tak sudi dihadapkan kejadian seperti ini. Sedih melihat elit elit di panggung sana saling bersahutan memamerkan melodi kebencian. Bukannya memikirkan bagaimana gotong royong, agar Indonesia lebih baik, tapi yang ada malah berperang memeperebutkan singgasana untuk kepentingannya masing-masing.
Mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan pun bisa berbicara, maka saya pun bisa. Saya adalah generasi penerus bangsa. Daripada saya berkutat terhadap hal-hal hedonis tak berguna, saya memilih untuk guyub bersama orang-orang dalam mimipinya membangun Indonesia menjadi lebih baik. Mungkin memang bukan lewat uang dan karya nyata pembangunan seperti petinggi petinggi sana. Tapi, tulisan yang bisa mengingatkan agar sama sama merenungi nasib negeri kita yang tak pernah reda air matanya.
Saya tidak hendak memberikan opini saya, mana yang benar. saya tidak mempunyai standar yang tepat untuk mengatakan Idealnya negeri ini seperti apa. Biar orang ahli teorilah yang berbicara, anggaplah saya seperti anak kecil yang berceloteh melihat keganjilan yang terjadi di hari ini.
Saya pun harus menegaskan, saya berislam dengan pertanggungjawaban yang saya punyai. Saya sedih dan tak bisa diam bila agama saya dilecehkan. Tapi, saya pun akan malu, bila kaum seiman saya berbuat yang tak sesuai dengan motto hidup kami, Rahmatan Lil Alamin.
Jujur saja, detik ini saya kesal dengan apa yang tejadi. Orang yang katanya berislam, ilmunya sudah banyak, tapi berbuat seenak lidahnya sendiri. Dilihat jutaan pasang mata. apakah urat malunya terputus? apakah tak berpikir? mencontohkan yang tak sesuai nilai yang sering mereka gaungkan. Apa bedanya dengan preman yang tak ngerti dengan norma? Saya mengklaim, saya membela agama dan keyakinan saya sendiri. Perilaku menjijikan yang katanya dia orang Islam, sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan untuk membela, mempertahankan prinsip, tapi, Islam tidak mengajarkan menyerang dengan cara cara tidak etis dan menjijikan seperti yang bisa pembaca lihat di media hari ini. Semoga yang dicontoh umat Islam bukan peringai buruknya, tapi nilai nilai Islam yang menyejukkan.
Malas jari saya kalau harus memaparkan siapa dan apa saja keburukkan teman seiman saya tadi, biarlah media dan kenyataan yang berbicara. Lagi pula tak akan pernah berguna mengumbar aib saudara sendiri.
Tapi, untuk teman temaku yang seiman,
Cobalah buka mata dan hati, dinginkan kepala sejenak, jangan membatu bersikeras terhadap ego dan kepentingan, jangan mudah terhasut terhadap provokasi provokasi yang memecah belah. Iya, kita ini berislam, tapi kita pun harus sadar diri, kita ini siapa dan tinggal di mana. Memang kita menang telak terhadap populasi pemeluk agama di Indonesia. Tapi, janganlah bertingkah seperti senior manja menuntut hak lebih yang bukan haknya.
Kita tinggal di Indonesia dengan kebhinekaannya. Negara ini berdiri dengan berlandaskan kesamaan nasib yang sama-sama dijajah. Kita sudah bermufakat terhadap apa yang menjadi aturan di negeri ini. Ini negara hukum. Seberantakkan apapun sistem hukum di Indonesia, hargailah yang telah disepakati. Bila ada yang keliru, berilah peringatan dengan cara yang etis. Bukan dengan cara cara kotor menghardik, bahkan berambisi menggulingkan. Yang saya bingungkan, kita ini sedang membangun sistem ke arah yang lebih baik, atau kah sedang mencari kekuasaan semata?
Bila teman-teman seimanku ingin mendirikan negara berlandaskan aturan aturan yang menurut teman-teman sesuai dengan Islam, ya silahkan. Tapi, sekali lagi konsekuensinya adalah semua orang harus bermufakat terhadap faham seperti teman-teman. Semua orang harus mengaminkan dengan kesadarannya sendiri terhadap faham teman-teman. Rasul mengajarkan kita untuk selalu bil hikmah dengan selalu mengedepankan musyawarah, bukan dengan pemaksaan yang menekan.
Ingatlah, kita berada pada kenyataan bahwa kita hidup bersama dengan orang orang yang bersatu dalam kebhinekaan. Saya tak hendak melanggar prinsip anda dalam berislam. Tapi berperilakulah dengan etis dan fair. Ataukah anda pikir prinsip anda ini tidak etis dan tidak fair?
Kalo toh teman-teman tidak rela Bapak Basuki jadi pemimpin, biarlah hukum yang menyelesaikannya wewenangnya. Bila tidak ingin memilih dia sebagai pemimpin, ya itu pilihan anda. Anda boleh mempengaruhi yang lain untuk tidak memilih dia, itu tidak dilarang. Tapi, bisakah dengan cara yang etis? Apakah tidak lebih bijaksana bertarung menggunggulkan prestasi bukan saling tackling terhadap rival politik?
Memang konflik menjadi bumbu penyedap yang selalu ada di setiap pertarungan politik. Tapi, terlalu pedas rasanya untuk ditelan oleh seluruh masyarakat. Menekan bisa saja untuk mempengaruhi, tapi kenyataannya negara konsisten terhadap hukumnya. Jangan berniat untuk menggulingkan, sejarah mencatat, dengan berjalan waktu yang menggulingkan akan digulingkan dengan massa yang baru yang lebih besar. Berpolitiklah secara sehat demi kemaslahatan bersama, untuk Islam yang Rahmatan lil Alamin, untuk Indonesia yang lebih baik.
Mari kita perbaiki bersama-sama Indonesia menjadi lebih baik. Jadikan politik alat perubahan untk menciptakan keadaan yang lebih baik. Jangan lupa kita sudah terlalu banyak PR untuk diselesaikan. 71 tahun Indonesia merdeka, tapi statusnya masih saja berkembang. Inilah indikasi banyak sektor di masyarakat yang belum terbenahi. Dengan adanya isu isu politik seperti ini, jangan membuat kita lupa terhadap mimpi kita terhadap Indonesia yang lebih maju lagi. Ingat, kita tidak bisa mengharap penduduk negara lain untuk membangun negara kita, karena kalo bukan kita, siapa lagi?
Salam semangat perubahan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H