Mohon tunggu...
Reni P
Reni P Mohon Tunggu... Buruh - Saintis yang lagi belajar nulis

Seneng guyon Visit renipeb.medium.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tak Bisakah Kita Lebih Etis?

12 Februari 2017   17:26 Diperbarui: 12 Februari 2017   17:34 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  Mendengar berita sana sini menjadi pilu hati saya. Politik memanas, agama diatasnamakan, kekuasaan menjadi tujuan. Gaduh di sana sini. Kubu kiri dan kanan tak pernah bermufakat. Layaknya air dan minyak. Sama rupa, tapi tak satu. Entah kemana negeri ini akan dibawa. Sadarkah.. Kita bukan hanya tergenang, kita tenggelam di sungai yang tak bermuara.

            3 kali adanya aksi pengerahan massa, menekan pemerintah, diberi nama aksi damai. Entah siapa yang memberi perintah. Ada yang bilang “kami tergerak oleh hati nurani.”. Tapi siapa yang memulai? Saya tak berhak tahu. Tapi, umat muslim patut diacungi jempol. Semua berkumpul, terkonsolidasi, menjadi mesra seperti mereka tak pernah bercokol akibat perbedaan tafsir dalam syariat ibadah mereka.

            Siapalah saya berbicara tentang politik. Saya tak pernah sengaja mengunyah pendidikan tersebut secara formal. Tapi, saya pun pernah diajari pendidikan kewarganegaraan. Setidaknya saya mengerti saya siapa. Warga kecil, yang hanya bisa berpikir dan menggerutu, menyimak benang kasur yang kusut tak terurai ini.

            Saya di sini sadar kurang ilmu. Tapi biarlah pikiran saya berbicara. Saya tidak bisa diam dengan gonjang ganjing seperti ini. Jangankan saya yang ilmunya kurang, orang yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan pun tak sudi dihadapkan kejadian seperti ini. Sedih melihat elit elit di panggung sana saling bersahutan memamerkan melodi kebencian. Bukannya memikirkan bagaimana gotong royong, agar Indonesia lebih baik, tapi yang ada malah berperang memeperebutkan singgasana untuk kepentingannya masing-masing.

          Mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan pun bisa berbicara, maka saya pun bisa. Saya adalah generasi penerus bangsa. Daripada saya berkutat terhadap hal-hal hedonis tak berguna, saya memilih untuk guyub bersama orang-orang dalam mimipinya membangun Indonesia menjadi lebih baik. Mungkin memang bukan lewat uang dan karya nyata pembangunan seperti petinggi petinggi sana. Tapi, tulisan yang bisa mengingatkan agar sama sama merenungi nasib negeri kita yang tak pernah reda air matanya.

            Saya tidak hendak memberikan opini saya, mana yang benar. saya tidak mempunyai standar yang tepat untuk mengatakan Idealnya negeri ini seperti apa. Biar orang ahli teorilah yang berbicara, anggaplah saya seperti anak kecil yang berceloteh melihat keganjilan yang terjadi di hari ini.

            Saya pun harus menegaskan, saya berislam dengan pertanggungjawaban yang saya punyai. Saya sedih dan tak bisa diam bila agama saya dilecehkan. Tapi, saya pun akan malu, bila kaum seiman saya berbuat yang tak sesuai dengan motto hidup kami, Rahmatan Lil Alamin.

            Jujur saja, detik ini saya kesal dengan apa yang tejadi. Orang yang katanya berislam, ilmunya sudah banyak, tapi berbuat seenak lidahnya sendiri. Dilihat jutaan pasang mata. apakah urat malunya terputus? apakah tak berpikir? mencontohkan yang tak sesuai nilai yang sering mereka gaungkan. Apa bedanya dengan preman yang tak ngerti dengan norma? Saya mengklaim, saya membela agama dan keyakinan saya sendiri. Perilaku menjijikan yang katanya dia orang Islam, sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan Islam. Islam mengajarkan untuk membela, mempertahankan prinsip, tapi, Islam tidak mengajarkan menyerang dengan cara cara tidak etis dan menjijikan seperti yang bisa pembaca lihat di media hari ini. Semoga yang dicontoh umat Islam bukan peringai buruknya, tapi nilai nilai Islam yang menyejukkan.

            Malas jari saya kalau harus memaparkan siapa dan apa saja keburukkan teman seiman saya tadi, biarlah media dan kenyataan yang berbicara. Lagi pula tak akan pernah berguna mengumbar aib saudara sendiri.

            Tapi, untuk teman temaku yang seiman,

Cobalah buka mata dan hati, dinginkan kepala sejenak, jangan membatu bersikeras terhadap ego dan kepentingan, jangan mudah terhasut terhadap provokasi provokasi yang memecah belah. Iya, kita ini berislam, tapi kita pun harus sadar diri, kita ini siapa dan tinggal di mana. Memang kita menang telak terhadap populasi pemeluk agama di Indonesia. Tapi, janganlah bertingkah seperti senior manja menuntut hak lebih yang bukan haknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun