"Bagaimana menurutmu?" tanyaku pada Ihsan saat dia menutup map tersebut.
"Semua itu tergantung dari niat Ndari, aku sudah katakan padamu dari awal saat kita berkenalan dulu, aku akan menjadikanmu pasangan tulang rusukku." jawab Ihsan dengan tegas, seolah di sana tidak ada permasalahan yang serius dengan map tersebut.
"Berati kamu mau bersama-sama mengurus ibunya almarhum mas Darma, kamu mau menempati rumah yang sudah diberikan padaku dalam surat itu." ucapku sambil menunjuk map hijau tersebut.
"Tentu Ndari, kenapa tidak....!"
Aku terdiam sejenak menghela nafas lega, berati tidak ada masalah serius menurut Ihsan, lalu aku teringat Diandra, aku takut jika nanti terulang lagi peristiwa dua tahun yang lalu.
"Sepertinya Dian menyukaimu..." godaku.
"Tapi aku tidak menyukainya." elaknya.
"Bagaimana jika nanti kamu diberinya obat perangsang..."
"Ndari,,, dengar baik-baik, asalkan kamu tidak sekalipun meninggalkan aku dalam keadaan sendirian berati kita akan baik-baik saja."
Akhirnya aku menerima lamaran Ihsan, benar saja Diandra terlihat tidak suka, setelah acara lamaran kedua orang tuaku dan Ihsan menentukan tanggal pernikahan.
Sebulan kemudian acara pernikahan digelar, aku mengenakan baju pengantin ala turki yang dibeli Ihsan dari temannya yang berada di Mesir. Ibuku bilang aku sangat anggun mengenakan baju pengantin yang tertutup rapi dengan jilbabnya.
"Selamat ya sayang ya, semoga kalian dipersatukan dalam kebaikan, dalam keberkahan, dan dalam sakinah, mawadah, warahmah..." ucap ibuku.
"Aamiin...insyaAllah bu, semoga ini pernikahan terakhir Anggun ya bu..."
"Iya anakku..."
Ihsan mengucap ijab qabul dengan lancar, bapakku sendiri yang menikahkan kami, air mataku menetes saat petugas dari KUA mengucapkan kata "Sah".
Aku bahagia sekali akhirnya aku menikah lagi dengan seorang imam yang selalu membuat hatiku bergetar, entahlah apakah karena cinta sehingga tiap aku bertemu dan bertatapan dengannya selalu membuat hatiku bergetar.
**********
Sekarang aku dan Ihsan membuka toko yang menjual sembako dan kebutuhan sehari-hari, Ihsan yang melayani pembeli sedangkan aku menerima jahitan. Kemarin saat di Hongkong aku kursus menjahit, dan dengan tabungan suamiku aku dibelikannya mesin jahit lengkap dengan mesin obrasnya.
Memang banyak orang yang lebih memilih membeli baju di pasar atau toko baju, akan tetapi masih ada juga yang menjahitkan untuk model baju muslim, baju kebaya, yang sesuai dengan keinginan pelanggan.
Hampir tidak ada waktu kami terpisah, karena bahan makanan atau sembako sudah ada yang menyetornya, suamiku tidak perlu repot-repot ke pasar induk untuk membeli bahan-bahan tersebut.
Sedangkan ibu mas Darma aku menyuruhnya untuk tinggal bersama kami, agar kami lebih mudah menjaganya. Dia sudah menerima suamiku sebagai anaknya sendiri, begitupun dengan diriku.
Aku sering memasak berdua dengannya, kami saling membantu aku memanggilnya Bunda Ami, karena namanya Aminah. Aku memanggilnya bunda karena aku sendiri memanggil ibu kandungku dengan sebutan ibu.
Lima tahun kami menikah, seorang malaikat kecil hadir di tengah-tengah kami, Ihsan sangat menyayanginya apalagi bunda Ami.
Gadis kecil yang cantik itu sekarang berumur 2 tahun, suamiku yang pandai dalam hal agama mengajarinya mengaji, menghafal surah-surah pendek, tidak lupa diajarkan gerakan sholat.
Diandra kini sudah menikah, kedua orang tuaku menjodohkannya dengan seorang duda yang masih muda dan belum memiliki anak. Aku dengar profesi suami Dian seorang dosen yang mengajar di STAIN daerahku Ponorogo.
Kata ibuku Diandra sudah hidup bahagia dan sekarang sedang mengandung buah cintanya dengan sang suami.
Aku sangat bersyukur akhirnya Diandra sudah berada di jalan yang benar, tidak lagi menggangguku dan mengusik kehidupanku bersama suami.
Akupun tidak lagi berkeinginan menjadi TKW ke Hongkong, aku merasa sudah cukup hidup di kampung halaman walau dengan hasil yang pas-pasan namun kebersamaan dengan keluarga lebih penting.
Seberapapun rizki yang diberikan oleh-Nya asalkan mau bersyukur pasti terasa menyenangkan, yang penting kita mau berusaha tidak berpangku tangan serta tidak mengeluh.
Hasil yang sedikit bila disyukuri maka akan terasa banyak, begitulah perinsip hidup keluargaku.
Saat seseorang sudah berkeluarga, seberapapun suami memberikan nafkah pada kita asalkan kita mau bersyukur pasti akan terasa cukup, jangan pernah berpikir untuk meninggalkannya demi mencari uang lebih banyak, karena belum tentu uang menjamin segalanya agar bahagia.
Begitu banyak godaan orang berkeluarga, termasuk ekonomi, karena ekonomi banyak keluarga yang terpecah belah dan bercerai, bagaimana dengan anda???
Semoga anda memiliki jiwa yang selalu merasa cukup dengan bersyukur.
Selesai....
Mohon maaf bila ending dalam novel ini banyak yang tidak menyukainya, sampai di sini dulu saya berbagi fiksi.
Mohon doanya tgl 1 saya kembali ke Indonesia dan InsyaAllah tgl 19 saya melepas masa lajang semoga diberi kelancaran.... Aamiin...
Sampai ketemu di Indonesia, insyaAllah akan ada novel saya yang lainnya....
Tin Shui Wai N.T Hongkong....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H