"Bagaimana menurutmu?" tanyaku pada Ihsan saat dia menutup map tersebut.
"Semua itu tergantung dari niat Ndari, aku sudah katakan padamu dari awal saat kita berkenalan dulu, aku akan menjadikanmu pasangan tulang rusukku." jawab Ihsan dengan tegas, seolah di sana tidak ada permasalahan yang serius dengan map tersebut.
"Berati kamu mau bersama-sama mengurus ibunya almarhum mas Darma, kamu mau menempati rumah yang sudah diberikan padaku dalam surat itu." ucapku sambil menunjuk map hijau tersebut.
"Tentu Ndari, kenapa tidak....!"
Aku terdiam sejenak menghela nafas lega, berati tidak ada masalah serius menurut Ihsan, lalu aku teringat Diandra, aku takut jika nanti terulang lagi peristiwa dua tahun yang lalu.
"Sepertinya Dian menyukaimu..." godaku.
"Tapi aku tidak menyukainya." elaknya.
"Bagaimana jika nanti kamu diberinya obat perangsang..."
"Ndari,,, dengar baik-baik, asalkan kamu tidak sekalipun meninggalkan aku dalam keadaan sendirian berati kita akan baik-baik saja."
Akhirnya aku menerima lamaran Ihsan, benar saja Diandra terlihat tidak suka, setelah acara lamaran kedua orang tuaku dan Ihsan menentukan tanggal pernikahan.
Sebulan kemudian acara pernikahan digelar, aku mengenakan baju pengantin ala turki yang dibeli Ihsan dari temannya yang berada di Mesir. Ibuku bilang aku sangat anggun mengenakan baju pengantin yang tertutup rapi dengan jilbabnya.