Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Perkawinan" dalam Gereja Katolik

30 Oktober 2021   16:24 Diperbarui: 30 Oktober 2021   16:30 5941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sakramen Perkawinan (Dok.Pri)

Pengantar

Gereja Katolik dalam proses penghayatan imannya mengakui dan menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu lembaga yang mendapat keteguhan didasarkan atas ketetapan ilahi dan suci sifatnya. 

Gereja Katolik menyatakan bahwa perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang telah dibaptis diangkat oleh Kristus dalam martabat Sakramen dan merupakan salah satu dari ketujuh Sakramen Gereja, yang melambangkan kesatuan cinta kasih antara Kristus dengan Gereja-Nya. 

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa perkawinan merupakan "suatu lembaga yang mendapat keteguhannya berdasarkan ketetapan ilahi", "Allah sendirilah pencipta perkawinan yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan.[1]

Persekutuan hidup antar seorang pria dan seorang wanita mendapat pengukuhannya yang permanen berkat konsensus. Persekutuan hidup itu (perkawinan) antara dua orang yang telah dibaptis diangkat Kristus ke martabat Sakramen. Perkawinan itu bersifat monogami dan tak terceraikan karena Allah yang mendirikan (ketetapan ilahi). 

Tak terceraikannya perkawinan antara pria dan wanita menuntut kesetiaan yang mutlak dari kedua belah pihak. Kesetiaan suami-isteri melambangkan kasih setia Allah terhadap manusia dan kasih setia Kristus terhadap Gereja-Nya.[2]

Pengertian Perkawinan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, perkawinan adalah suatu perjanjian atau perjodohan yang diadakan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan untuk menjadi sumai-isteri yang sah dan halal. Pemerintah Indonesia membuat suatu rumusan tentang arti perkawinan. 

Rumusan itu dituangkan dalam bentuk undang-undang. Undang-undang perkawinan Indonesia no. 1 tahun 1974 pasal 1 merumuskan bahwa "Perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". 

Undang-undang perkawinan ini berlaku untuk semua warga Negara Indonesia, termasuk semua agama yang ada di Indonesia. Perkawinan yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan perkawinan yang mempunyai makna dan nilai rohani yang berkaitan erat dengan agama atau dengan kata lain Allah turut campur tangan.[3]

Rumusan perkawinan di atas, sebenarnya sudah ada dalam rumusan ajaran Gereja Katolik. Konsili Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes, no. 48, menyatakan bahwa "Perkawinan adalah persekutuan dua pribadi (pria dan wanita) untuk membentuk suatu lembaga. Persatuan dua pribadi itu tak terceraikan lagi karena didirikan dan dikehendaki oleh Allah sendiri".[4]

Perkawinan Kristen adalah persekutuan dua pribadi, pria dan wanita yang telah dibaptis, membentuk suatu lembaga atau keluarga. Perkawinan antara dua yang dibaptis itu adalah sakramen. 

Kesepakatan dalam membentuk persekutuan seumur hidup, diangkat oleh Kristus ke martabat sakramen. Perkawinan sebagai sakramen adalah lambang kasih Allah terhadap manusia dan kasih Kristus terhadap Gereja-Nya.[5]

Tujuan Perkawinan

Manusia diciptakan Allah tentunya dengan suatu rencana dan tujuan tertentu. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan "menurut gambaran-Nya", mau menunjukkan bahwa adanya pria dan wanita, dan adanya seksualitas, bukanlah suatu kebetulan, yang hanya karena keinginan manusia itu sendiri melainkan bahwa pria dan wanita dan seksualitas itu ada karena dikehendaki Allah dan diciptakan oleh Dia. Allah memberkati laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama atau bersatu menjadi suami-isteri.[6]

Dalam Kitab Kejadian 1:26-28 Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk hidup bersama menjadi suami-isteri. Persatuan ini diberkati oleh Allah agar mereka beranak cucu dan bertambah banyak serta memenuhi bumi. Yang menjadi tekanan utama adalah beranak cucu. Sehingga persatuan suami-isteri terarah pada penerusan generasi. 

Dalam Kitab Kejadian 2:21-25 Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk pria. Di sini tampak jelas bahwa mau menyampaikan kesatuan erat anatar seorang pria dan wanita sebagai yang dikehendaki oleh Allah sendiri, sehingga memampukan suami meninggalkan ayah-ibunya untuk hidup bersatu dengan isterinya, menjadi satu daging yaitu manusia baru.[7]

Paham Perjanjian Lama ini dirumuskan dan ditegaskan kembali dalam Konsili Vatikan II, yang termuat pada dokumen Gaudium et Spes, no. 48, dan menjabarkan pengertian tujuan perkawinan dengan menyatakan bahwa: "Allah sendirilah pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan. 

Semuanya itu penting bagi kelangsungan hidup umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi, serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai dan kesejahteraan keluarga sendiri maupun seluruh masyarakat". Dokumen Gaudium et Spes, no. 50-an melukiskan bahwa "pernikahan itu dari kodratnya terarah kepada kelahiran anak dan pendidikan anak"[8]

Perumusan ini dirumuskan lagi secara yuridis dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan 1055, 1, dengan mengatakan bahwa pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dan sifat kodratnya terarah kepada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak-anak. Dengan demikian, perkawinan terarah pada kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak dan pendidikan anak.[9]

 

  • [1] Konsili Vatikan II, "Konstitusi Pastoral tentang Tugas Gereja dalam Dunia Dewasa ini" Gaudium et Spes (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993), no. 48. Untuk penulisan selanjutnya, dokumen ini akan disingkat GS dan diikuti nomor dokumen.
  • [2] Jhon Paul II, Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern (judul asli: Apostolic Exhortation Familiaris Consortio), diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 44-45.
  • [3] Asmin, Status Perkawinan Antar Agama (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 95.
  • [4] GS, no. 48.
  • [5] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2016) Kanon 1055. Penulisan selanjutnya, Kitab Hukum Kanonik 1983 akan disingkat: kanon dengan kan dan paragraph dengan .
  • [6] Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 12-13.
  • [7] Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan ..., hlm. 13-15.
  • [8] Jhon Paul II, Keluarga Kristiani ..., hlm. 72-73.
  • [9] Kan. 1055, 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun