Perkawinan Kristen adalah persekutuan dua pribadi, pria dan wanita yang telah dibaptis, membentuk suatu lembaga atau keluarga. Perkawinan antara dua yang dibaptis itu adalah sakramen.Â
Kesepakatan dalam membentuk persekutuan seumur hidup, diangkat oleh Kristus ke martabat sakramen. Perkawinan sebagai sakramen adalah lambang kasih Allah terhadap manusia dan kasih Kristus terhadap Gereja-Nya.[5]
Manusia diciptakan Allah tentunya dengan suatu rencana dan tujuan tertentu. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan "menurut gambaran-Nya", mau menunjukkan bahwa adanya pria dan wanita, dan adanya seksualitas, bukanlah suatu kebetulan, yang hanya karena keinginan manusia itu sendiri melainkan bahwa pria dan wanita dan seksualitas itu ada karena dikehendaki Allah dan diciptakan oleh Dia. Allah memberkati laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama atau bersatu menjadi suami-isteri.[6]
Dalam Kitab Kejadian 1:26-28 Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk hidup bersama menjadi suami-isteri. Persatuan ini diberkati oleh Allah agar mereka beranak cucu dan bertambah banyak serta memenuhi bumi. Yang menjadi tekanan utama adalah beranak cucu. Sehingga persatuan suami-isteri terarah pada penerusan generasi.Â
Dalam Kitab Kejadian 2:21-25 Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk pria. Di sini tampak jelas bahwa mau menyampaikan kesatuan erat anatar seorang pria dan wanita sebagai yang dikehendaki oleh Allah sendiri, sehingga memampukan suami meninggalkan ayah-ibunya untuk hidup bersatu dengan isterinya, menjadi satu daging yaitu manusia baru.[7]
Paham Perjanjian Lama ini dirumuskan dan ditegaskan kembali dalam Konsili Vatikan II, yang termuat pada dokumen Gaudium et Spes, no. 48, dan menjabarkan pengertian tujuan perkawinan dengan menyatakan bahwa: "Allah sendirilah pencipta perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan.Â
Semuanya itu penting bagi kelangsungan hidup umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi, serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai dan kesejahteraan keluarga sendiri maupun seluruh masyarakat". Dokumen Gaudium et Spes, no. 50-an melukiskan bahwa "pernikahan itu dari kodratnya terarah kepada kelahiran anak dan pendidikan anak"[8]
Perumusan ini dirumuskan lagi secara yuridis dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan 1055, 1, dengan mengatakan bahwa pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dan sifat kodratnya terarah kepada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak-anak. Dengan demikian, perkawinan terarah pada kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak dan pendidikan anak.[9]
Â
- [1] Konsili Vatikan II, "Konstitusi Pastoral tentang Tugas Gereja dalam Dunia Dewasa ini" Gaudium et Spes (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993), no. 48. Untuk penulisan selanjutnya, dokumen ini akan disingkat GS dan diikuti nomor dokumen.
- [2] Jhon Paul II, Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern (judul asli: Apostolic Exhortation Familiaris Consortio), diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 44-45.
- [3] Asmin, Status Perkawinan Antar Agama (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 95.
- [4] GS, no. 48.
- [5] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2016) Kanon 1055. Penulisan selanjutnya, Kitab Hukum Kanonik 1983 akan disingkat: kanon dengan kan dan paragraph dengan .
- [6] Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 12-13.
- [7] Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan ..., hlm. 13-15.
- [8] Jhon Paul II, Keluarga Kristiani ..., hlm. 72-73.
- [9] Kan. 1055, 1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H