Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Politik dalam Ranah Kefilsafatan

21 Oktober 2021   11:24 Diperbarui: 21 Oktober 2021   11:30 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Politik adalah sistem tatanan agung yang mengelola hidup manusia ke hal yang baik dan menata hidup manusia menuju arah Bonum Commune. Namun, politik sering disalahartikan sebagai kelicikan untuk memanfaatkan dan memanipulasi segala keadaan dengan segala cara untuk mencapai tujuan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Menghalalkan cara dalah salah satu bentuk dari tatanan agung yang semestinya politik menjadi merosot atau rusak. Aktivitas dari politik itu merupakan untuk menata hidup bersama secara bertanggungjawab demi kebaikan manusia, baik sebagai kelompok maupun pribadi.

Politik memiliki cakupan kedalam hidup manusia, karena didalam politik itu, diungkapkan kebudayaan, hidup religius, dan sebagainya. Politik masuk dalam sikap reduksif. Sikap reduksif adalah sebuah pendangkalan makna. Apabila reduksif masuk ke dalam saintifikasi, maka saintifikasi itu semestinya menggunakan rasionalitas dan sikap ilmiah.

Filsafat Politik mengenal sistem metodologi. Metodologi adalah bukan sekedar cara-cara untuk mengejar tujuan, melainkan koridor rasional yang semestinya para politikus untuk memperjuangkan partisipasinya. Metodologi juga tidak tercurah hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok, melainkan untuk melukiskan elegansi peradaban manusia itu sendiri. Maka, metode berfilsafat politik adalah menguraikan sketsa-sketsa fenomenologi dan keseharian-keseharian hidup manusia.

Filsafat Politik bertujuan untuk membahas politik secara sistematis, logis dan menyeluruh. Bagi Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan relasi manusia dan negara. Manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik, negara pun baik dan apabila manusia buruk, negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah cerminan manusia yang menjadi warganya.

1. Negara Ideal Plato bersifat Idealis-Utopis

Dalam bukunya yang berjudul The Republic, bagi Plato, negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya merealisasikan negara ideal itu. Agar warga negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya, pendidikan harus diatur oleh negara, karena pendidikan merupakan hal yang terpenting. Agar negara ideal itu dapat terwujud nyata, yang patut menjadi raja ialah mereka yang mempelajari filsafat. Raja haruslah seorang filsuf, atau hanya filsuflah yang layak untuk menjadi raja.

Bagi Plato, filsuflah yang harus menjadi raja, karena hanya filsuflah yang benar-benar mengenal ide-ide. Dengan demikian ia pun tahu tentang kebajikan, kebaikan dan keadilan, sehingga pemerintahannya tidak akan mengarah pada kejahatan dan ketidak-adilan. Karena filsuflah yang dianggap memiliki pengetahuan yang sesungguhnya. Plato mengatakan bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan", maka hanya filsuflah yang layak memerintah.

Guna mewujudkan negara ideal, Plato membagi struktur sosial sebuah negara menjadi tiga golongan: Pertama, Golongan Para Wali, mereka diberi amanah untuk memerintah negara, karena mereka mempunyai pengertian tentang "yang baik" sehingga akan lebih arif dalam memimpin negara. Kedua, Golongan Ksatria atau Prajurit, mereka ini sebagai penjaga keamanan negara yang mengawasi warga negara, agar selalu tunduk terhadap pemimpin negara. Ketiga, Golongan Rakyat Biasa, mereka ini adalah para petani, yang menanggung seluruh kehidupan ekonomi bagi seluruh polis.

Dalam karya The Republic, Plato menyatakan bahwa tujuan sebuah kekuasaan adalah untuk menciptakan suatu rezim yang stabil, yang disinari oleh kebenaran dan ilmu pengetahuan, maka penguasa yang ideal adalah filsuf. Negara khayalan atau idaman sebagaimana diangankan Plato tersebut sebagai negara dengan sistem politik sipil utopis atau politik sipil.

Pembagian golongan yang dilakukan Plato bukanlah untuk menciptakan diskriminasi golongan yang akan menimbulkan keretakan dan perpecahan yang akhirnya akan membut negara itu hancur. Negara ideal Plato adalah negara yang justru harus senantiasa menjaga keutuhannya dan harus senantiasa beerusaha memelihara kesatuannya. Cita-cita Plato yang luhur adalah agar setiap warga negara dari negara ideal memperoleh kesempatan yang sama untuk menunaikan tugas panggilannya dalam hidup bernegara, yang sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, keterampilan, keperkasaan, dan kesanggupan intelektual serta pengalamannya.

2. Negara menurut Aristoteles bersifat Empiris-Realis

Aristoteles berpendapat bahwa negara merupakan suatu persekutuan yang berbentuk polis yang dibentuk demi kebaikan tertinggi bagi manusia. Negara harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya, karena hanya dalam kesejahteraan bersama, kesejahteraan individual dapat diperoleh.

Menurut Aristoteles, negara berada di tempat yang paling atas, karena ia merangkul dan mencakup semua bentuk persekutuan hidup yang ada. Semua bentuk persekutuan hidup yang ada dan demikian pula seluruh warga negara harus menaklukkan diri kepada negara, sebab semua bentuk persekutuan hidup yang ada dan demikian pula manusia, hanyalah merupakakn bagian yang tak terpisahkan dari negara.

Bagi Aristoteles, negara berada di tempat yang paling atas sebab ia memiliki tujuan yang paling atas, paling tinggi, paling mulia dan paling luhur. Ia menegaskan bahwa negara ada adalah untuk manusia. Menurut kodratnya, manusia adalah politikon zoon, yang artinya: makhluk hidup yang hidup dalam polis (negara kota). Maka, bagi Aristoteles bahwa manusia hanya memanusia apabila ia hidup di dalam negara, karena di luar negara hanya ada makhluk hidup yang di bawah manusia atau yang di atas manusia.

Dengan dimikian, menurut Aristoteles, negara ideal adalah negara yang memanusiakan manusia. Oleh kodrat, negara ada dan terbentuk bukan sekedar agar manusia dapat hidup di dalamnya, tetapi agar manusia itu benar-benar memanusia di dalam negara dan lewat hidup bernegara.

Di dalam dan lewat hidup bernegara, manusia dimampukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang semaksimal mungkin serta harus terlihat moralitas yang terpuji, karena hanya moralitas itulah manusia dapat dibedakan dengan makhluk hidup lainnya. Jadi, negara bertujuan untuk memanusiakan manusia dan bukan semata-mata memberi tempat untuk didiami atau sekedar mempertemukan manusia dengan sesamanya untuk menjalin persahabatan. Untuk memanusiakan manusia, negara bukan sekedar melindungi setiap warganya dari bahaya yang mengancam, tetapi agar setiap warganya dapat meraih kesejahteraan material, spiritual, dan intelektual. Kesejahteraan itu harus bersangkut-paut dengan manusia seutuhnya.

Aristoteles membedakan tiga bentuk negara yang sempurna, yakni Monarki, Aristokrasi dan Politeia. Bagi Aristoteles, bentuk negara yang paling ideal adalah monarki, karena diperintah oleh filsuf-raja. Aristoteles mengakui bahwa filsuf-rajalah penguasa yang paling ideal, karena hanya seorang filsuf-rajalah yang memiliki pengetahuan sempurna dan sangat bijaksanan, yang akan menjamin tercapainya kebaikan tertinggi bagi para warga negara.

DAFTAR PUSTAKA

  • Rappar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 2012.
  • Rappar, Jan Hendrik. Seri Filsafat Politik 1: Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali. 1988.
  • Rappar, Jan Hendrik. Seri Filsafat Politik 2: Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali. 1988.
  • Azhar, Muhammad. Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun