Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keris Pusaka dalam Budaya Jawa (Part 1)

19 Oktober 2021   09:01 Diperbarui: 19 Oktober 2021   09:15 2938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cara Memakai Keris (id.quora.com)

1. Latar Belakang Pembahasaan

Pada sebuah keluarga Jawa, manakala kehidupannya masih sedikit punya konvensi tradisi keluarga Jawa, maka dalam simpanan lemarinya dapat diduga keluarga Jawa punya Keris Pusaka.

[1] Di desa dan di kota, kelurga miskin dan kaya, di keluarga priyayi dan petani, di kelurga pejabat dan pedagang, tidak menjadi soal. Pihak-pihak tesebut menyimpan piranti hidup berupa Keris Pusaka.

Dalam paradigma hidup berkebudayaan dalam komunitas Jawa, secara fenomenal bahwa tradisi keluarga Jawa dan Keris Pusaka itu pada hakikatnya identik. Dalam keluarga Jawa akan menganggap bahwa Keris Pusaka merupakan sebuah piranti hidup. Keris Pusaka bukan sekedar barang antik yang disimpan dalam lemari, dan diperlakukan sebagai perangkat asesori bagi keluarga mapan.

Dalam keluarga jawa istilah pancer, ialah cikal bakal yang secara turun-temurun dianggap sebagai babon keluarga Jawa. Demikian pun dalam jagad Keris Pusaka. Istilah pancer juga dikenal baik, yaitu cikal-bakal Keris Pusaka yang secara turun-temurun dijadikan pola dalam pembuatan. Dari situ, pada segi makna dan esensinya terdapat kesejajaran antara pancer sebuah keluarga Jawa dan pancer sebuah Keris Pusaka.

Pihak yang dianggap wajib ngopeni (merawat) keris pusaka dalam pranata tradisi kebudayaan Jawa adalah pihak kepala rumahtangga.[2] Walaupun dalam kelurga Jawa tersebut punya anak laki-laki banyak, namun bila mereka belum membangun rumah tangga, maka kedudukan mereka tetap sebagai dari batih, anggota keluarga. Manakala anak lelaki sudah membangun keluarga baru, maka dia berhak mewarisi tradisi keluarga Jawa untuk merawat Keris Pusaka.

 

2. Pengertian Keris

Keris terdiri dari dua bagian besar yaitu bagian luar (warangka atau sarung keris) dan bagian dalam (bidah atau badan keris). Warangka merupakan "pakaian" bilah keris yang memiliki dua model yaitu warangka gayaman (Surakarta) dan warangka ladrang (Yogyakarta). Warangka gayaman merupakan model sarung keris yang digunakan pada saat suasana santai. Model ini biasanya digunakan oleh para orangtua. Warangka ladrang merupakan model sarung keris yang dipakai pada saat upacara -- upacara resmi.[3] Bilah keris terdiri dari dua bagian utama, yaitu pesi dan ganja. Ukuran panjang keris yang lazim adalah antara 33-38 cm, namun ada juga keris berukuran tidak lebih dari 10 cm, misalnya keris kecil bernama Nogokikik. Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam, minimal dua macam yakni besi, baja, dan bahan pamor. Ketiga bahan itu dipadukan hingga menjadi bilah keris yang terkesan seram tapi indah. Keris memiliki ujung yang tajam dan bermata dua, bilahnya ada yang lurus dan ada yang berkeluk-keluk.[4] Pembuatan keris ini berlangsung lama dan disertai tapa, rumusan doa tertentu, serta askese oleh empu yang membuatnya.

Keris sesungguhnya merupakan suatu cetusan daya cipta yang diwujudkan oleh empu keris dengan mengolah bahan-bahan tertentu. Proses pengolahan itu menghasilkan detail-detail manifestasi segala harapan dan maksud yang dipadatkan dalam bentuknya yang abstrak pada lempengan besi, baja, dan pamor.[5] Selain menampilkan keindahan fisiknya, keris juga mengandung getaran-getaran daya magis yang kuat.[6] Keris dibuat sebenarnya bukan sekedar sebagai senjata, tetapi sebagai benda pusaka yang memiliki kekuatan yang tidak kasatmata. Keris pusaka harus dibuat dalam suasana doa dan tapa.[7] Sang empu berusaha menjalin relasi dengan Gusti (Tuhan) untuk mohon kekuatan tertentu yang "dimasukkan" ke dalam keris. Setelah pembuatan keris selesai, pemilik keris juga harus menghormati dan merawat keris tersebut. Keris menjadi media orang Jawa untuk menjamin keselarasan yaitu keselarasan hidup dengan sesama, kosmos, dan terlebih dengan Gusti.

3. Fungsi Keris

Keris diperlakukan oleh pemiliknya bukan hanya sebagai senjata fisik, melainkan juga sebagai senjata batin atau menjadi alat untuk membangkitkan sugesti diri. Keterikatan antara keris dengan pemiliknya memunculkan keyakinan bahwa pemilik keris identik dengan kerisnya. Hal ini dapat dicermati dalam budaya Jawa. Seorang mempelai laki-laki yang tidak dapat hadir pada acara perkawinan karena alasan penting dapat diwakili oleh keris pusakanya.[8] Fungsi keris sebagai benda pusaka dan pelengkap pakaian tradisional Jawa ialah:

3.1 Benda Pusaka

Keris pusaka diyakini sebagai benda keramat dan memiliki kekuatan adimanusiawi. Keris pusaka dipercayai yang dapat memberikan kekuatan dan keselamatan serta kesejahteraan hidup bagi pemilik atau pemegang benda tersebut.[9] Sebagai benda pusaka, keris dipercayai sangat berharga bagi pemiliknya. Keris yang dianggap keramat akan dihormati dan digunakan oleh pemiliknya sebagai penambah kharisma, kekuatan, dan pelindung. Sebagian orang yang percaya dan menyakini kekuatan magis yang terkandung dalam keris akan memberikan nama atau sebutan untuk menghormati keris tersebut. Sebutan yang diberikan untuk keris tersebut antara lain adalah Kyai, Kanjeng Kyai, Kanjeng Kyai Ageng, Sang, dan sebagainya.[10] Salah satu upacara penghormatan terhadap benda pusaka disebut Upacara Siraman.[11] Upacara Siraman dilaksanakan satu tahun sekali, yaitu pada bulan sura, hari selasa kliwon atau bila tidak ada hari selasa kliwon pada bulan itu diganti pada Jumat kliwon.[12] 

Upacara Siraman memiliki beberapa tujuan. Pertama, Siraman dimaksudkan untuk membersihkan benda pusaka dari kerusakan akibat karat yang menempel pada benda pusaka tersebut. Dengan Siraman, benda pusaka itu tetap terawat dan tetap tampil cemerlang. Kedua, Siraman dilaksanakan untuk mendeteksi secara dini kemungkinan-kemungkinan kerusakan pada benda pusaka tersebut agar dapat segera diperbaiki sehingga kerusakan awal yang terjadi tidak semakin parah. Ketiga, sebagian masyarakat Jawa masih mempercayai adanya kekuatan gaib yang terdapat dalam benda pusaka. Upacara Siraman bertujuan untuk menghormati dan "memuliakan" benda pusaka yang dianggap keramat atau bertuah. Hakikat penyelenggaraan upacara tersebut adalah untuk memperoleh keselamatan, misalnya menolak marabahaya yang mengancam, memohon hujan ketika terjadi musim kering, yang panjang dan sebagainya.[13]

Upacara Siraman membutuhkan bahan-bahan sesajian, sebagai berikut:

  • Kemenyan: Sebagai harapan/permohonan kepada roh halus agar membantu dan tidak mengganggu. Kemenyan diyakini sebagai santapan lezat bagi para roh halus.
  • Tebu Wulung: Melambangkan zaman kelanggengan (keabadian). Benda pusaka memberikan suatu pengharapan akan pelindungan.
  • Nasi Ambeng: Nasi yang disekelilingnya diberi lauk pauk. Nasi ini merupakan lambang keberuntungan dan suatu permohonan agar semua pihak yang terlibat dalam Upacara Siraman tersebut dikaruniai rezeki.
  • Air Kembang Seteman (air bunga setaman): Sebagai lambang kejernihan hati dan keserasian dengan lingkungan.[14]

3.2 Kelengkapan pakaian adat Jawa

Dalam busana tradisional Jawa, seorang laki-laki bila ingin tampil secara terhormat haruslah mengenakan busana kejawen jangkap (pakaian daerah jawa lengkap). Salah satunya ialah Keris. Keris menjadi pelengkap pakaian adat Jawa. Pada umumnya orang Jawa yang berpakaian adat lengkap memakai keris dibelakang yakni pada punggungnya. Keris yang dipakai dibelakang memiliki arti bahwa kekuatan yang dimiliki seseorang tidak patut dipertontonkan. Setiap kekuatan tentu memiliki batas-batasnya dengan demikian kekuatan tersebut tidak disalahgunakan oleh pemiliknya. Demikian juga keris yang diyakini memiliki kekuatan tersendiri memberikan kekuatan dan keselamatan kepada pemiliknya hendaknya tidak ditonjolkan. Keris dipakai di bagian belakang mengandaikan bahwa keris tersebut tidak dipakai sebagai senjata yang ditusukkan kepada musuhnya, tetapi hanya berhenti sebagai heirloom. Artinya Keris itu hanya tatkala justru digunakan untuk menyertai pemiliknya bukan menjadi sebaliknya.[15] 

4. Catatan Kaki

[1] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 19.

[2] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 20.

[3] P. M. Ismunandar K ., Misteri Keris (Semarang: Dahara Prize, 1985), hlm. 21.

[4] P. M. Ismunandar K ., Misteri,,,. hlm. 23.

[5] Ki Hudoyo Doyodipuro., Keris: Daya Magic -- Manfaat -- Tuah -- Misteri (Semarang: Dahara Prize, 1999), hlm. 3.

[6] Ki Hudoyo Doyodipuro., Keris:..., hlm. 6.

[7] Ki Hudoyo Doyodipuro., Keris:..., hlm. 17.

[8] Djoko Soekiman., Keris: Sejarah dan Fungsinya (Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983), hlm. 11.

[9] Siti Dloyana dan Supanto (ed)., Upacara Tradisional Siraman Pusaka Kraton Yogyakarta (Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dalam Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1988), hlm. 5.

[10] Siti Dloyana dan Supanto (ed)., Upacara..., hlm. 29.

[11] Siti Dloyana Kusumah dan Supanto (ed)., Upacara..., hlm. 79.

[12] Siti Dloyana dan Supanto (ed)., Upacara..., hlm. 3.

[13] Siti Dloyana dan Supanto (ed)., Upacara..., hlm. 81.

[14] Siti Dloyana dan Supanto (ed)., Upacara..., hlm. 107-108.

[15] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol: Fenomenologi Kosmologi Jawa (Yogyakarta: Andi Offest, 1993), hlm. vi.

5. Daftar Kepustakaan

K. Ismunandar, P. M. Misteri Keris. Semarang: Dahara Prize, 1985.

Doyodipuro, Ki Hudoyo. Keris: Daya Magic-Manfaat-Tuah-Misteri. Semarang: Dahara Prize, 1999.

Soekiman, Djoko. Keris: Sejarah dan Fungsinya. Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983.

Supanto dan Siti Dloyana (ed). Upacara Tradisional Siraman Pusaka Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokemtasi Kebudayaan Daerah, 1988.

Suryadi A. G., Linus. Regol Megal Megol: Fenomenologi Kosmogoni Jawa. Yogyakarta: Andi Offset, 1993.

Ali, Fachry. Refleksi Paham 'Kekuasaan Jawa' dalam bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia, 1986.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun