Keris diperlakukan oleh pemiliknya bukan hanya sebagai senjata fisik, melainkan juga sebagai senjata batin atau menjadi alat untuk membangkitkan sugesti diri. Keterikatan antara keris dengan pemiliknya memunculkan keyakinan bahwa pemilik keris identik dengan kerisnya. Hal ini dapat dicermati dalam budaya Jawa. Seorang mempelai laki-laki yang tidak dapat hadir pada acara perkawinan karena alasan penting dapat diwakili oleh keris pusakanya.[8] Fungsi keris sebagai benda pusaka dan pelengkap pakaian tradisional Jawa ialah:
3.1 Benda Pusaka
Keris pusaka diyakini sebagai benda keramat dan memiliki kekuatan adimanusiawi. Keris pusaka dipercayai yang dapat memberikan kekuatan dan keselamatan serta kesejahteraan hidup bagi pemilik atau pemegang benda tersebut.[9] Sebagai benda pusaka, keris dipercayai sangat berharga bagi pemiliknya. Keris yang dianggap keramat akan dihormati dan digunakan oleh pemiliknya sebagai penambah kharisma, kekuatan, dan pelindung. Sebagian orang yang percaya dan menyakini kekuatan magis yang terkandung dalam keris akan memberikan nama atau sebutan untuk menghormati keris tersebut. Sebutan yang diberikan untuk keris tersebut antara lain adalah Kyai, Kanjeng Kyai, Kanjeng Kyai Ageng, Sang, dan sebagainya.[10] Salah satu upacara penghormatan terhadap benda pusaka disebut Upacara Siraman.[11] Upacara Siraman dilaksanakan satu tahun sekali, yaitu pada bulan sura, hari selasa kliwon atau bila tidak ada hari selasa kliwon pada bulan itu diganti pada Jumat kliwon.[12]Â
Upacara Siraman memiliki beberapa tujuan. Pertama, Siraman dimaksudkan untuk membersihkan benda pusaka dari kerusakan akibat karat yang menempel pada benda pusaka tersebut. Dengan Siraman, benda pusaka itu tetap terawat dan tetap tampil cemerlang. Kedua, Siraman dilaksanakan untuk mendeteksi secara dini kemungkinan-kemungkinan kerusakan pada benda pusaka tersebut agar dapat segera diperbaiki sehingga kerusakan awal yang terjadi tidak semakin parah. Ketiga, sebagian masyarakat Jawa masih mempercayai adanya kekuatan gaib yang terdapat dalam benda pusaka. Upacara Siraman bertujuan untuk menghormati dan "memuliakan" benda pusaka yang dianggap keramat atau bertuah. Hakikat penyelenggaraan upacara tersebut adalah untuk memperoleh keselamatan, misalnya menolak marabahaya yang mengancam, memohon hujan ketika terjadi musim kering, yang panjang dan sebagainya.[13]
Upacara Siraman membutuhkan bahan-bahan sesajian, sebagai berikut:
- Kemenyan: Sebagai harapan/permohonan kepada roh halus agar membantu dan tidak mengganggu. Kemenyan diyakini sebagai santapan lezat bagi para roh halus.
- Tebu Wulung: Melambangkan zaman kelanggengan (keabadian). Benda pusaka memberikan suatu pengharapan akan pelindungan.
- Nasi Ambeng: Nasi yang disekelilingnya diberi lauk pauk. Nasi ini merupakan lambang keberuntungan dan suatu permohonan agar semua pihak yang terlibat dalam Upacara Siraman tersebut dikaruniai rezeki.
- Air Kembang Seteman (air bunga setaman): Sebagai lambang kejernihan hati dan keserasian dengan lingkungan.[14]
3.2 Kelengkapan pakaian adat Jawa
Dalam busana tradisional Jawa, seorang laki-laki bila ingin tampil secara terhormat haruslah mengenakan busana kejawen jangkap (pakaian daerah jawa lengkap). Salah satunya ialah Keris. Keris menjadi pelengkap pakaian adat Jawa. Pada umumnya orang Jawa yang berpakaian adat lengkap memakai keris dibelakang yakni pada punggungnya. Keris yang dipakai dibelakang memiliki arti bahwa kekuatan yang dimiliki seseorang tidak patut dipertontonkan. Setiap kekuatan tentu memiliki batas-batasnya dengan demikian kekuatan tersebut tidak disalahgunakan oleh pemiliknya. Demikian juga keris yang diyakini memiliki kekuatan tersendiri memberikan kekuatan dan keselamatan kepada pemiliknya hendaknya tidak ditonjolkan. Keris dipakai di bagian belakang mengandaikan bahwa keris tersebut tidak dipakai sebagai senjata yang ditusukkan kepada musuhnya, tetapi hanya berhenti sebagai heirloom. Artinya Keris itu hanya tatkala justru digunakan untuk menyertai pemiliknya bukan menjadi sebaliknya.[15]Â
4. Catatan Kaki
[1] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 19.
[2] Linus Suryadi A.G., Regol Megal Megol.., hlm. 20.
[3] P. M. Ismunandar K ., Misteri Keris (Semarang: Dahara Prize, 1985), hlm. 21.