Dan untuk menjadi sembuh dari penyakit alienasi, proses ini harus dibalikkan. Manusia harus mengerti, bahwa "Allah" hanya merupakan ciptaan dari manusia itu sendiri, sehingga ia bukan hamba lagi.Â
Manusia yang telah menjadi ciptaan dari ciptaannya, obyek dari obyeknya, dapat menjadi bebas lagi dengan mengerti kekeliruannya.[10] Dengan menyebut Allah sebagai mahatahu, manusia sebenarnya hanya memenuhi dambaannya untuk bisa mengetahui segala sesuatu; dengan mengatakan Allah ada di mana-mana, manusia memuaskan keinginannya untuk tidak terikat pada ruang, dengan menyebut Allah itu kekal, manusia mewujudkan dambaannya untuk tidak terikat oleh waktu; dengan menyatakan Allah itu mahakuasa, manusia merealisir keinginannya untuk bisa berbuat apa pun yang ia kehendaki.[11]Â
Di satu pihak, agama bagi Feuerbach mempunyai nilai positif karena merupakan proyeksi hakekat manusia. Dalam agama manusia melihat siapa dia, misalnya dia itu berkuasa , kreatif, baik, adil, atau berbelas kasih, dan dapat saling menyelamatkan. Dalam hal ini, bagi Feuerbach agama merupakan "harta karun manusia yang tersembunyi". Sehingga ia begitu terkesan oleh proyeksi itu dan menganggapnya sebagai realitas yang mandiri.Â
Namun, di lain pihak, karena dalam agama, hakekat manusia diobjektivasikan dan disembahnya sebagai entitas asing, maka dalam agama manusia sebenarnya memblokir dirinya sendiri untuk bisa menjadi semakin sesuai dengan cita-cita idealnya itu. Melalui agama, apa yang sebenarnya merupakan potensi-potensi yang perlu direalisasikan manusia, hilang daripadanya,karena manusia, daripada mengusahakannya, mengharapkannya, dari sana.Â
Daripada berusaha menjadi kuat, baik, tahu sendiri, ia mengasingkan sifat-sifat itu pada "Allah" dan menyembah Allah sebagai mahakuasa, mahabaik mahadan tahu.Â
Secara sederhana, daripada berusaha untuk menjadi seutuh dan sesempurna mungkin, manusia mengharapkan akan menerima keutuhannya dari Allah dan kesempurnaannya di surga.Â
Menurut Feuerbach, agama justru membuat orang menjadi egois dengan mengisolir dirinya dan menyembahnya sebagai entitas gaib (Allah).Â
Maka, agama itu memiskinkan dan mengasingkan manusia dari dirinya dan dari sesama, sehingga manusia beragama sering tampak intoleran dan fanatik.[12]
Oleh karena itu, Feuerbach berpendapat bahwa, agar keterasingan dan kemiskinan itu lenyap dan manusia bisa menjadi dirinya sendiri yang tidak egois, maka manusia perlu meniadakan agama. Ia harus "menarik agama ke dalam dirinya sendiri". Di sana ia akan menemukan bahwa apa yang selama ini disapanya sebagai Allah sebenarnya adalah hakekatnya sendiri.Â
Mansuia harus menolak kepercayaan pada Allah yang mahakuasa, mahabaik, mahaadil, dan mahatahu, agar ia sendiri menjadi bisa menjadi kuat, baik, adil, dan berpengetahuan. Manusia harus membongkar agama, agar potensi-potensi manusia bisa bebas-keluar dan merealisasikan dirinya. Teologi harus menjadi Antropologi. Â
4. Refleksi Kritis