1. Latar Belakang Permasalahan
Ludwig Feuerbach semula ingin menjadi Pendeta Protestan. Ia mengikuti kuliah-kuliah Hegel di Berlin. Namun makin lama ia makin tidak dapat menerima pemikiran Hegel. Feuerbach memandang bahwa sistem filosofis yang sudah ditegaskan oleh Hegel adalah puncak tertinggi dari  rasionalisme Barat.Â
Menurut Hegel, dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri. Gagasan fundamental Hegel ini pada umumnya, begitu juga oleh Feuerbach, dimengerti begini: Kita, orang-orang, merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita, tetapi dibelakangnya "roh semesta" mencapai tujuannya.Â
Meskipun ia tingkatannya sendiri  manusia bebas dan mandiri, akan tetapi melalui kemandirian itu roh semesta menyatakan diri. Hegel memakai kata "kelihaian Akal Budi" ("die List der Vernunft").[1] Roh semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya tetapi seakan-akan dari belakang layar. Para pelaku manusia tidak sadar bahwa mereka didalangi olehnya.
Gagasan inti Hegel itu menjadi sasaran kritik Feuerbach. Menurut Feuerbach, Hegel memutarbalikkan kenyataan. Hegel memberi kesan seakan-akan yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang kelihatan) hanyalah wayangnya. Padahal yang nyata itu adalah manusia yang tak terbantahkan.Â
Bukan manusia itu pikiran Allah, melainkan Allah adalah pikiran manusia. Allah yang dimaksud adalah sebuah mimpi dari diri manusia. Kata Allah harus diganti dengan kata "hakekat manusia" karena manusia sudah lama diasingkan dari dirinya sendiri.Â
Menurut Feuerbach, manusia harus dikembalikan pada dirinya sendiri. Hakekat manusia adalah rasio, kehendak dan hatinya. Bagi Feuerbach, manusia inderawi tidak dapat dibantah, sedangkan roh semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia.
 Ludwig Feuerbach mendasarkan dan memusatkan penyelidikan filsafatnya hanya pada pengalaman yang konkret (inderawi) atau empiris. Filsafat yang berlandaskan kenyataan konkret (inderawi) adalah prinsipiil. Hal ini disebabkan karena hal-hal yang empiris menjanjikan kepastian dan kemantapan dalam berfilsafat.Â
Ia menyimpulkan bahwa kebenaran, kenyataan, dan keindahan adalah identik. Keidentikan ini membawa sebuah konsekuensi bagi filsafat, yakni pengalaman inderawi adalah asas untuk berfilsafat.Â
Berangkat dari filsafatnya ini ia mengkritik filsafat Hegel yang dianggapnya "ketinggalan zaman" karena Hegel dianggap menekankan roh, kesadaran atau akal budi. Hal ini dianggap tidak konkret (inderawi) terutama dalam menjelaskan seluruh realitas (termasuk manusia dan sejarahnya).[2] Baginya cara berpikir Hegel hanyalah spekulatif melulu. Maka, titik tolak yang sah bagi filsafat adalah manusia inderawi.
2. Riwayat Hidup dan Karya-karya Ludwig Feuerbach[3]
Ludwig Andreas Feuerbach lahir di Landshut, Jerman pada tahun 1804 sebagai putra dari keluarga terpelajar. Ayahnya seorang ahli hukum yang disegani. Ibunya seorang wanita saleh. Pada umur 15 tahun, Ludwig merasa tertarik dengan soal-soal keagamaan ("murni timbul dari diriku sendiri").Â
Tahun 1823, ia belajar teologi Protestan di Universitas Heidelberg, lalu tahun 1824 pergi ke Berlin untuk berguru pada Hegel, Profesor favorit yang diakuinya sebagai "ayah kedua". Di sini minatnya berubah, lalu pindah jurusan dari teologi ke filsafat. Tahun 1825/1826, ia pindah ke Erlangen untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam di Universitas kota ini, tempat ia kemudian memperoleh gelar doktor filsafat (1828).Â
Tahun 1829-1832, ia bekerja sebagai dosen filsafat; semula masih dalam pengaruh filsafat Hegel, namun lama-kelamaan  ia mulai meninggalkannya.Â
Lalu, karena bukunya, "Gedanken ber Tod und Unsterblichkeit" (Beberapa Pemikiran tentang Kematian dan Keabadian, 1830), dinilai membahayakan iman kristen, Feuerbach dipersulit untuk mendapat gelar profesor di kota Protestan itu.Â
Sejak saat itu, kritiknya atas agama menjadi semakin tajam. Feuerbach lantas meninggalkan kursi dosen universitas, dan hidup sebagai pengarang bebas. Tahun 1837, ia menikah dengan Bertha Lw, pemilik pabrik porselen yang kemudian memberinya sorang putri, Mathilde.Â
Mereka sekeluarga tinggal dalam puri milik Bertha di Bruckberg, dekat Nrnberg. Namun sayang, putri kecil mereka meninggal dunia dalam usia 3 tahun.Â
Feuerbach merasa amat terpukul dan melihat kematian sebagai tidak bermakna sedikit pun. Tahun 1841, ia menulis buku "Das Wesen des Christentums" (Hakikat Agama Kristen) sebagai kritik tajam atas agama kristen. Feuerbach telah berubah total: Dari seorang teolog menjadi seorang anti-teolog, seorang a-teis.
Pada tahun 1868, ia berkenalan dengan pemikiran Karl Marx lewat buku Marx "Das Kapital", lalu menggabungkan diri dengan Partai Sosial-Demokrat Jerman. Pada tahun 1870, ia terkena serangan jantung, dan akhirnya wafat di desa Rechenberg, dekat kota Nrnberg, di mana ia kemudian dimakamkan.Â
Merangkum seluruh perjalanan hidup dan karyanya mulai dari ketika menjadi seorang mahasiswa teologi, lalu dosen filsafat hingga menjadi seorang humanis ateis, Feuerbach berkata: "Allah adalah pikiranku yang pertama, akal budi yang kedua, sedangkan Manusia adalah yang ketiga dan terakhir".Â
Gerak pikiran ateisme Feuerbach ibarat gerak arus sungai yang berawal dari teologi, melaju deras melewati filsafat dan akhirnya bermuara pada antropologi.
3. Ajaran Ludwig Feuerbach tentang Agama
Timbulnya agama disebabkan oleh sebuah aspirasi, sebuah cita-cita.[4] Dalam bentuk sebuah aspirasi manusia dalam batinnya mengandung suatu cita-cita kesempurnaan dan kebahagiaan, yakni kebijaksanaan, cinta kasih tanpa pamrih, dan perasaan keadilan.Â
Corak ideal nilai-nilai ini baginya tampak dalam perbandingan yang secara intuitif dibuatnya antara kekekalan umat manusia dan batas-batas manusia sebagai individu.Â
Karena ideal macam itu mengungkapkan dambaan dan cita-cita hidup manusia. Akan tetapi, karena tidak berdaya meraih cita-cita ideal itu, maka manusia berkat daya fantasi yang dimilikinya lalu menggagas adanya suatu entitas yang memiliki kekuatan untuk merealisasikan dambaan dan cita-citanya itu.Â
Feuerbach mengatakan bahwa "Allah tidak lain daripada cita-cita, ideal manusia". Lalu karena dambaan itu melekat pada hakikat kemanusiaan, maka "Allah tidak lain daripada ideal hakikat manusia, namun ia dianggap sebagai hakikat yang berdiri sendiri secara riil".[5] Oleh karena itu, Allah hanya ada di dalam gagasan, dalam fantasi, namun tidak ada sama sekali dalam realitas dan kenyataan.
Bagi Feuerbach, bukan Allah yang menciptakan manusia, melainkan Allah adalah ciptaan angan-angan manusia.[6] Agama hanyalah sebuah proyeksi[7] diri manusia.Â
Di dalam Allah, manusia sebenarnya memandangi hakikatnya di luar dirinya sendiri. Dalam istilah  Feuerbach sendiri, Allah adalah "Diri manusia yang terasing". Manusia yang malang tidak mengenali bahwa apa yang disembah dan diabdinya dalam rasa dan karsa ini sesungguhnya adalah hakikatnya sendiri yang dilemparkannya ke sorgaloka sebagai Allah.
 Allah, malaekat, surga, dan neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya gambar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri, sehingga angan-angan manusia itu adalah hahekat manusia.Â
Agama bagi Feuerbach tidak lebih daripada proyeksi hahekat manusia. Namun kemudian manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaanya sendiri. Feuerbach mau mengatakan bahwa agama adalah penyembahan manusia terhadap hasil ciptaannya sendiri.Â
Apa yang sebenarnya hanyalah angan-angan yang dianggap mempunyai eksistensi pada dirinya sendiri, maka manusia lalu merasa takut dan perlu menyembah dan menghormatinya sebagai Allah.Â
Sebenarnya manusia dengan demikian menyatakan keseganan terhadap hakekatnya sendiri, tetapi tanpa menyadarinya. Maka, agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri.[8] Itu berarti bahwa manusia menjadi hamba dari ciptaannya.Â
Manusia memandang dirinya sendiri sebagai "ciptaan" dari ciptaannya. Tetapi dengan demikian manusia kehilangan sesuatu. Ia diasingkan, dialienasikan[9] dari dirinya sendiri.Â
Dan untuk menjadi sembuh dari penyakit alienasi, proses ini harus dibalikkan. Manusia harus mengerti, bahwa "Allah" hanya merupakan ciptaan dari manusia itu sendiri, sehingga ia bukan hamba lagi.Â
Manusia yang telah menjadi ciptaan dari ciptaannya, obyek dari obyeknya, dapat menjadi bebas lagi dengan mengerti kekeliruannya.[10] Dengan menyebut Allah sebagai mahatahu, manusia sebenarnya hanya memenuhi dambaannya untuk bisa mengetahui segala sesuatu; dengan mengatakan Allah ada di mana-mana, manusia memuaskan keinginannya untuk tidak terikat pada ruang, dengan menyebut Allah itu kekal, manusia mewujudkan dambaannya untuk tidak terikat oleh waktu; dengan menyatakan Allah itu mahakuasa, manusia merealisir keinginannya untuk bisa berbuat apa pun yang ia kehendaki.[11]Â
Di satu pihak, agama bagi Feuerbach mempunyai nilai positif karena merupakan proyeksi hakekat manusia. Dalam agama manusia melihat siapa dia, misalnya dia itu berkuasa , kreatif, baik, adil, atau berbelas kasih, dan dapat saling menyelamatkan. Dalam hal ini, bagi Feuerbach agama merupakan "harta karun manusia yang tersembunyi". Sehingga ia begitu terkesan oleh proyeksi itu dan menganggapnya sebagai realitas yang mandiri.Â
Namun, di lain pihak, karena dalam agama, hakekat manusia diobjektivasikan dan disembahnya sebagai entitas asing, maka dalam agama manusia sebenarnya memblokir dirinya sendiri untuk bisa menjadi semakin sesuai dengan cita-cita idealnya itu. Melalui agama, apa yang sebenarnya merupakan potensi-potensi yang perlu direalisasikan manusia, hilang daripadanya,karena manusia, daripada mengusahakannya, mengharapkannya, dari sana.Â
Daripada berusaha menjadi kuat, baik, tahu sendiri, ia mengasingkan sifat-sifat itu pada "Allah" dan menyembah Allah sebagai mahakuasa, mahabaik mahadan tahu.Â
Secara sederhana, daripada berusaha untuk menjadi seutuh dan sesempurna mungkin, manusia mengharapkan akan menerima keutuhannya dari Allah dan kesempurnaannya di surga.Â
Menurut Feuerbach, agama justru membuat orang menjadi egois dengan mengisolir dirinya dan menyembahnya sebagai entitas gaib (Allah).Â
Maka, agama itu memiskinkan dan mengasingkan manusia dari dirinya dan dari sesama, sehingga manusia beragama sering tampak intoleran dan fanatik.[12]
Oleh karena itu, Feuerbach berpendapat bahwa, agar keterasingan dan kemiskinan itu lenyap dan manusia bisa menjadi dirinya sendiri yang tidak egois, maka manusia perlu meniadakan agama. Ia harus "menarik agama ke dalam dirinya sendiri". Di sana ia akan menemukan bahwa apa yang selama ini disapanya sebagai Allah sebenarnya adalah hakekatnya sendiri.Â
Mansuia harus menolak kepercayaan pada Allah yang mahakuasa, mahabaik, mahaadil, dan mahatahu, agar ia sendiri menjadi bisa menjadi kuat, baik, adil, dan berpengetahuan. Manusia harus membongkar agama, agar potensi-potensi manusia bisa bebas-keluar dan merealisasikan dirinya. Teologi harus menjadi Antropologi. Â
4. Refleksi Kritis
Ludwig Feuerbach adalah pemikir pertama yang memberi dasar ilmiah-modern bagi ateisme.[13] Cara  berpikirnya menjadi titik pangkal dalam berbagai bentuk ateisme.[14] Feuerbach mengatakan bahwa agama adalah hasil usaha manusia untuk mengembangkan diri dan untuk merealisasikan hakekat.Â
Sehingga pendapat Feuerbach bahwa agama atau kepercayaan pada Allah merupakan proyeksi diri manusia ada benarnya juga.[15] Banyak kenyataan dalam hidup umat beragama tidak berdasarkan wahyu dari Allah, melainkan merupakan hasil kreativitas maupun kepicikan umat yang bersangkutan sendiri.Â
Akan tetapi, kalau memang Agama (Allah) adalah hasil dari proyeksi diri manusia, bagaimana bisa dijelaskan bahwa hampir seluruh umat manusia percaya akan keAllahan? Padahal manusia sudah menjalin hubungan dengan Allah sejak manusia mulai mengenal Allah.Â
Manusia adalah makhluk yang mempunyai dimensi transenden justru karena ia mempunyai jiwa sebagai prinsip unifikasi yang imaterial sifatnya dan terbuka secara tidak terbatas pada "Ada", bahkan pada "Ada Tertinggi", Allah sendiri.[16] Karena adanya dimensi inilah ia bisa menyadari, mengalami hal-hal yang melampaui pengalaman empiris-indrawi melulu.Â
Maka, pertanyaan apakah ada Allah atau tidak? Allah memang ada dan masuk akal bahwa manusia menyembah, memuji, dan memohon bantuan Allah, karena Allah pencipta segala apa yang ada di dunia ini dan tidak mungkin menjauhkan manusia dari dirinya sendiri yang berdasar pada Allah.Â
Jadi, pernyatan Feuerbach bahwa agama adalah sekedar proyeksi manusia, tidak dapat dipertahankan, karena bisa saja ada proyeksi, dan bisa saja ajaran suatu agama hanyalah cerminan cita-cita, atau prasangka-prasangka manusia, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya.Â
Yang khas bagi pengertian tentang Allah adalah bahwa Allah itu tak terhingga. Tidak mungkin bahwa unsur "tak terhingga" itu merupakan proyeksi hakekat manusia, karena dalam hakekat manusia ketak-terhinggaan tidak ada. Apakah Allah dapat dipikirkan kecuali karena kita secara nyata tersentuh oleh realitas-Nya?Â
Jadi teori proyeksi justru gagal menjelaskan yang paling hakiki dalam pengalaman agama: Bahwa manusia beerhadapan dengan realitas tak terhingga. Oleh karena itu, teori Feuerbach mempunyai kelemahan-kelemahan yang cukup serius.Â
Dalam teorinya, ia tidak dapat menjelaskan bagaimana manusia bisa membentuk konsep pengada yang tak terhingga dan "maha" dalam segala-galanya, padahal tak ada konsep ketak-terhinggaan dalam pengalaman empiris manusia.
5. Kepustakaan/Catatan Kaki
[1] Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan ( Yogyakarta: Kanisius, 2006), Â hlm. 65.
[2] Hayden V. White, "Feuerbach, Ludwig Andreas", dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Vol. 3 dan 4 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, 1972), hlm. 191.
[3] Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 92-93.
[4] Louis Leahy, Aliran -- aliran Besar Ateisme, Tinjauan Kritis  (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 90.
[5] Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan, . . . hlm. 97.
[6] Franz Magnis-Suseno, Menalar, . . . hlm. 66.Â
[7] Proyeksi, berasal dari kata kerja bahasa Latin, projicere, yang berarti melempar keluar. Dalam bahasa teknis psikologi, proyeksi diartikan sebagai suatu tindakan manusia yang tidak disadari atau suatu proses menganggap, bahwa seolah-olah ia berasal dari ide di luar dirinya, khususnya dalam ide-ide yang kurang baik. Noah Webster, Webster's New Twentieth Century Dictionary Unabridged, (New York: Prentice Hall Press, 1972), hlm. 1439.
[8] Louis Leahy, Aliran, . . . hlm. 92.
[9] Alienasi, berasal dari kata sifat bahasa Latin, alius-a-um, yang berarti "yang lain". Dalam bahasa Inggris, kata alienasi diterjemahkan menjadi alienation, yang berarti "suatu proses pemindahan gelar, hak, atau harta dari seseorang kepada seseorang yang lain". Noah Webster, Webster's ..., Â hlm. 46.
[10] Hayden V. White, "Feuerbach, Ludwig Andreas", dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia, . . . hlm. 191-192.
[11] Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan, . . . hlm. 97.
[12] Franz Magnis-Suseno, Menalar, . . . hlm. 68.
[13] Ateisme, dari kata Yunani a theos, "tanpa Allah", ialah pengingkaran akan Allah. Seorang ateis praktis, meskipun yakin bahwa Allah itu ada, hidup seolah-olah Allah tidak ada: cara hidupnya itulah yang merupakan pengingkaran akan Allah. Seorang ateis teoretis percaya bahwa Allah tidak ada: ia menyangkal Allah dengan akal budinya; ia menetapkan bahwa tidak ada Allah.
[14] Franz Magnis-Suseno, Menalar, . . . hlm. 68-71.
[15] Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan,. . . hlm. 98.
[16] Hayden V. White, "Feuerbach, Ludwig Andreas", dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia, . . . hlm. 192.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H