Valentinus adalah seorang laki-laki yang memiliki cacat fisik. Disekitar lingkungannya, ia menjadi bahan cemooh oleh teman-temannya. Ia selalu diperlakukan dengan tidak adil, dilukai, difitnah, bahkan dipojokkan oleh teman-temannya. Hatinya dilanda oleh kesedihan, kebencian, dan dendam. Ia merasa kehilangan harapan, karena tak ada satu orangpun yang mau membantunya dari persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Pada suatu malam, ia berdoa. Setelah selesai, ia melihat sebuah buku kecil yang sudah kusam. Ia membolak-balikkan lembar per lembar. Tiba-tiba, ia terperangah membaca sepenggal kalimat: Engkau harus mampu mengatakan dengan ikhlas, “Aku tidak menganggap siapapun sebagai musuhku, bahkan mereka yang paling membenci aku sekalipun, mereka yang menganiaya aku atau mereka yang hanya menginginkan kehancuranku. Aku selalu memandang mereka sebagai saudara dan saudariku.
Pada hari esoknya, ia berusah mewujudkan apa yang tertulis di dalam buku itu. Ia mencoba menyapa teman-temannya dengan ramah dan senyuman yang indah. Hatinya tidak lagi dilanda oleh kesedihan, kebencian dan rasa dendam, melainkan hati yang dipenuhi oleh kedamaian dan cinta.
Dalam kehidupan ini, hal yang paling sulit kita terima ialah jika diperlakukan hina, tidak adil, selalu diremehkan, dilukai, difitnah, dicurigai, dan dipojokkan dalam hidup bersama. Pengalaman yang dialami oleh Valentinus ini, mau memperlihatkan kepada kita bahwa doa menjadi dasar dari seluruh realitas hidup dan hanya Tuhanlah sang sumber pengharapan kita.
Dia adalah satu-satunya kekuatan, tuntunan, dan pengharapan kita. Santo Paulus selalu menasehati orang-orang Kristen, agar tidak hidup seperti orang-orang yang tanpa harapan.
Doa: Dasar Pengharapan
Dalam doa yang dipanjatkan oleh Valentinus adalah suatu pengharapan dari Tuhan, agar ia mampu menerima dan mensyukuri segala kenyataan yang dihadapinya. Ia juga sangat berpegang kuat pada keyakinan bahwa hanya dalam Tuhanlah segala pengharapan yang dimohonkannya akan dapat terwujud. Pengharapan memang menjadi dasar dari setiap doa.
Tanpa pengharapan, doa tidak lagi mempunyai makna. Maka, doa merupakan kekuatan yang paling utama dan paling dahsyat bagi kita sebagai umat beriman dalam menghayati hidup ini.
Dari doa yang sempurna kita akan mampu memandang sesama dengan penuh kasih sehingga kita bisa hidup sebagai saudara yang penuh cinta kasih. Doa yang berbuahkan hidup sebagai saudara memampukan kita untuk membagikan buah-buah persaudaraan dan cinta kasih dalam memberikan bantuan dan penghiburan yang tulus kepada sesama kita.
Doa menjadi sangat sentral sebagai dasar kehidupan kita untuk berharap kepada Tuhan. Kita sebagai umat beriman harus menempatkan peran Tuhan sebagai dasar pengharapan hidup kita dan berpegang kuat pada keyakinan bahwa hanya dalam Tuhanlah segala pengharapan kita.
Makna yang terkandung dalam doa yang sejati adalah dapat menguatkan kita untuk tidak melarikan diri dari tantangan yang ada, tetapi berani menghadapinya berdasarkan semangat dan cita-cita hidup yang hendak kita perjuangkan.
Situasi zaman sekarang, sedang jatuh dalam keterpurukan dan berbagai macam tantangan yang terus menghujani kita. Di tengah situasi yang serba keras dan tidak toleran ini, kita sering mendengar penderitaan, penganiayaan, pelecehan dan kekerasan terhadap anak.
Ditengah situasi inilah, kita ditantang untuk memahami dan mengambil sikap positif atas suatu keterpurukan dan berani menghadapi tantangan yang ada dengan tetap berjalan pada arah tujuan hidup yang tepat.
Maka, doa menjadi jalan untuk menemukan makna hidup, dan pada saat yang sama pasti mendorong kita untuk mengungkapkan makna hidup itu dalam perbuatan yang nyata.
Dengan penuh keyakinan, doa dan harapan Valentinus sangat menyentuh sisi terdalam dari makna hidup kita, yaitu peziarahan manusia untuk semakin mengenali diri secara utuh dihadapan Tuhan, sebagai Sang Kehidupan dan Pengharapan yang sesungguhnya.
Terbuka terhadap Penyelenggaraan Tuhan
Melihat dari pengalaman hidup kita sendiri. Kita sebagai manusia dan sebagai orang beriman akan selalu disertai dengan berbagai pengalaman hidup yang barangkali akan menakutkan dan mencemaskan. Kita masih akan mengalami suasana hati yang gentar dan seakan kehilangan pegangan karena berbagai proplem hidup sebagai manusia dan sebagai orang beriman. Kita sering kurang sanggup menerima penderitaan dalam hidup ini.
Kita gampang mengeluh dan tak jarang membuat kita kehilangan harapan kepada Tuhan. Bila derita menimpa, apalagi kematian merenggut nyawa orang yang kita cintai, kita sering kecewa dan lupa akan pengharapan Tuhan.
Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dan Dia tak pernah membiarkan kita sendirian, apalagi tenggelam dalam lumpur penderitaan dan genangan air mata dukacita.
Tuhan sangat mengharapkan dari kita untuk selalu membuka hati kepadaNya dan sesama. Kita harus menunjukkan iman dengan sikap hidup yang terbuka, agar mampu menerima peneguhan yang menyembuhkan dan menyelamatkan.
Dengan hati yang terhubung langsung dan terbuka untuk Tuhan, kita mulai menjalani hidup ini sesuai dengan tujuan hidup kita yang sebenarnya. Apapun yang kita alami, termasuk tantangan dan kesulitan hidup, akan kita lihat dan jalani dalam perspektif rohani melalui hati. Ketakutan akan kematian bisa menjadi tanda bahwa kita sendiri belum sungguh sadar mengenai tujuan hidup kita yang sebenarnya.
Dalam hal ini, kita perlu selalu menyadari kasih sayang Tuhan kepada kita, asal mau dan bersedia membuka hati pada-Nya, makaTuhan pasti akan membantu kita. Dengan demikian, perjalanan hidup kita pun menjadi bermakna, karena kita hayati sesuai tujuannya, yaitu untuk percaya dan mengasihi Tuhan seutuhnya.
Konfusius pernah mengatakan, “Ke mana pun engkau pergi, pergilah dengan seluruh hatimu.” Hati adalah salah satu bagian dari organ tubuh kita. Apabila kita tidak membawa hati, tentu kita tidak bisa hidup.
Namun yang ingin saya katakan ialah hati menjadi prioritas utama kita dalam menjalani kehidupan ini. Tidak jarang kita sudah berada di tempat yang baru, tetapi hati kita masih tertinggal di tempat yang lama. Perjalanan hidup yang demikian dapat terasa menakutkan karena hati kita terasa tidak utuh.
Akan tetapi, kalau kita menjalani hidup ini dengan seluruh hati yang selalu terbuka pada Tuhan dan sesama, maka seluruh perjalanan ini akan menjadi perjalanan seluruh hati kita.
Dalam menjalani realitas kehidupan ini, tentu kita menunjukkan kebaikan. Kita sebagai orang beriman harus berani menunjukkan kebaikan kepada sesama yang sangat menginginkan bantuan dari kita. Kebaikan yang kita tunjukkan haruslah menjadi bukti bahwa kita memang baik bukan untuk membangun kesan bahwa kita baik.
Bagi Yesus, kesejatian diri, mutu hidup kita tidak bergantung dari apa yang kita tampilkan tetapi oleh apa yang kita hidupi. Kita bukanlah kubur yang berlabur putih tetapi kita yang punya hati yang mau merasakan apa yang sedang dirasakan oleh sesama kita.
Refleksi
Kasih Yesus adalah sebuah harapan dan cita-cita. Kasih sangat penting dalam diri setiap orang. Dengan kasih orang tidak saling bermusuhan tetapi saling mendukung satu sama lain.
Dengan kasih sejati-Nya membuat kita tegar dalam berkarya dan bertahan, bahkan pada saat-saat yang paling sulit. Dia menjadi jalan pengharapan dari seluruh perjalanan hidup kita di dunia fana ini.
Kasih sejati mendorong kita untuk solider dan berbagi terhadap sesama. Kehidupan kita akan bahagia jika kasih yang kita bagikan bersumber dari Yesus sendiri.
Pada Hari Pemuda Sedunia, Bapa Suci St. Yonanes Paulus II mengumandangkan supaya kita menjadikan Yesus sebagai kekuatan, tuntunan dan harapan kita. Kita sebagai umat beriman, mari berjuang untuk setia mengikuti Yesus dalam kasih dan harapan, sebagai prioritas utama dalam hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H