Dalam masyarakat pluralitas kesejajaran moral dan hukum semakin sulit, sekurang-kurangnya dalam hal konkrit, misalnya; dalam hal pelacuran, minuman keras, judi, poligami, pornografi, dll.Â
Hal-hal tersebut dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak baik dari segi moral dan setiap orang wajib menghindarinya. Apakah karena hal itu dilarang maka dihukum oleh negara?Â
Belum tentu benar. Negara wajib melarang apa yang mengganggu kesejahteraan itu, negara tidak perlu melarangnya, tetapi bila tindakan itu membahayakan kaum muda, menyebarkan penyakit, mengganggu ketenangan lingkungan, maka harus dibatasi.
Salah satu fungsi hukum adalah memanusiakan kekuasaan yang nota bene dibutukan oleh hukum supaya dapat dilaksanakan. Mencius, seorang pemikir Tionghoa mengatakan, "paksaan perlu karena kebaikan saja kurang efisien untuk memerintah, dan undang-undang saja tidak mampu melaksanakan paksaan". Jadi kekuasaan adalah atau semestinya merupakan hamba kuat yang mengabdi kepada tuan, yaitu hukum, yang luhur tetapi lemah.Â
Jika kekuasaan tidak tunduk pada hukum, masyarakat akan dikuasai dan dirusak oleh "hukum rimba". Dengan hukum, orang yang betapa lemah pun dijamin haknya. Supaya hukum dapat melaksanakan fungsi memanusiakan kekuasaan, maka seluruh masyarakat harus mempunyai kesadaran hukum, tunduk kepada hukum dan menuntut pelaksanaannya tanpa kekecualian.
3. Hukum Kanonik dalam Gereja
Kedudukan hukum dalam Gereja berbeda dari kedudukan hukum dalam masyarakat. Kewajiban menaati hukum Gereja tidak terutama berdasarkan pertimbangan kepentingan bersama umat beriman, tetapi berdasar kewajiban mengerjakan keselamatan abadi bersama dalam Gereja (bdk. Kan. 209 $ 1).Â
Keanggotaan dalam Gereja tidak berdasarkan sifat kodrat manusiawi tetapi atas panggilan Allah dan rahmat ilahi, yang membuat orang menjadi anggota umat Allah dan rahmat ilahi, yang membuat orang menjadi anggota umat Allah dengan menerima sakraman baptis.
"Hukum" dalam sistem hukum Gereja Katolik bukan hanya obyek keadilan sebagai keutamaan manusiawi, melainkan obyek persekutuan dengan Tuhan dan sesama orang beriman.
 Undang-undang dan peraturan bukan hanya pengarahan pada kepentingan bersama Gereja melainkan pengarahan dalam dan demi iman (ordinatio fidei). Hukum Gereja atau hukum kanonik harus dipandang dari segi perannya bagi pelayanan demi keselamatan semua orang.
Gereja hadir di dunia sebagai societas sebagaimana dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Perbedaannya adalah bahwa Gereja bukan melulu organisasi manusiawi, namun sekaligus organisasi yang mempunyai sifat ilahi.Â