Mohon tunggu...
Rengga Yudha Santoso
Rengga Yudha Santoso Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and Writer from STKIP PGRI NGANJUK

Yang biasa bilang Salam LITERASI seharusnya perlu introspeksi sejauh mana berliterasi, apa jangan-jangan hanya sekedar ucapan tanpa aktualisasi agar mendapat apreasiasi? - Rengga Yudha Santoso (a.k.a halalkiri)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menggali Sumur Ilmu, Ketika Guru Berhenti Belajar

19 Juli 2024   18:40 Diperbarui: 19 Juli 2024   18:42 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Guru Yang Menganggap Dirinya Selalu Benar dan Tidak Perlu Belajar. Sumber gambar: Bing Image Creator

Secara epistimologi, pendidikan merupakan fondasi peradaban manusia, dan adanya guru sebagai arsitek utamanya dalam mengawal, mengarahkan, dan menuntaskan perannya yaitu dengan sebutan "kewajiban". 

Guru dapat dipersepsikan secara ringkas adalah seorang yang ahli dibidangnya, bisa seorang guru bimbel, SD, SMP, SMA atau SMK, bahkan Dosen. Ada kalanya persepsi ini diuji dengan statement "semua bisa menjadi guru". Term ini bisa dibenarkan, namun tidak sepenuhnya benar, pasalnya ketika mengatakan semua bisa menjadi guru maka entitas apapun bisa, seperti kang becak, kang siomay dan lainnya. Namun ada hal yang dalam tentang "status Guru", yaitu hakikat profesionalitas. Semua bisa menjadi guru, namun tidak semuanya mampu mengajarkan dengan profesional dengan seluruh kompetensi yang dimiliki.

Namun, saat ini apa jadinya jika sang arsitek atau guru berhenti mempelajari teknik-teknik baru? Bagaimana jika sebuah sumur ilmu yang seharusnya tak pernah kering, justru mulai mengering? Esai ini mengeksplorasi paradoks yang terjadi ketika seorang guru berhenti mengembangkan dirinya, sebuah fenomena yang sayangnya semakin sering kita jumpai.

Analogi sumur ilmu yang kering menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Sebagaimana sumur yang terus digali akan menghasilkan air yang segar dan melimpah, demikian pula seorang guru yang terus belajar akan memiliki pengetahuan yang selalu relevan dan mendalam. Sebaliknya, guru yang berhenti belajar ibarat sumur yang tidak pernah digali lebih dalam - lambat laun akan mengering, menyisakan tanah tandus yang tidak lagi mampu menghidupi mereka yang bergantung padanya.

Pembelajaran seumur hidup bagi pendidik bukan hanya sebuah jargon, melainkan sebuah keharusan. Dalam era informasi yang bergerak dengan kecepatan luar biasa ini, berhenti belajar berarti tertinggal. Darling-Hammond et al. (2017) dalam penelitiannya menegaskan bahwa pengembangan profesional yang berkelanjutan bagi guru memiliki dampak signifikan terhadap prestasi siswa. Lebih jauh lagi, studi yang dilakukan oleh Hattie (2015) menunjukkan bahwa guru yang terus mengembangkan diri memiliki "effect size" yang lebih besar terhadap pembelajaran siswa.

Namun, realitasnya tidak sesederhana itu. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap fenomena guru yang berhenti belajar. Beban kerja yang berlebihan, kurangnya dukungan sistem, serta mindset yang terjebak dalam zona nyaman seringkali menjadi penghalang. Seperti yang diungkapkan oleh Hargreaves dan Fullan (2012) dalam bukunya "Professional Capital", pengembangan profesional guru seringkali terhambat oleh kebijakan yang tidak mendukung dan kultur sekolah yang statis.

Dua aspek penting lainnya yang perlu dibahas dalam konteks ini adalah:

  1. Dampak Teknologi terhadap Peran Guru: Era digital telah mengubah lanskap pendidikan secara dramatis. Mishra dan Koehler (2006) dalam kerangka TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge) menekankan pentingnya integrasi teknologi dalam pengajaran. Guru yang tidak terus memperbarui pengetahuan teknologinya berisiko kehilangan relevansi di mata siswa yang merupakan "digital natives".
  2. Keterkaitan antara Pengembangan Diri Guru dan Kesejahteraan Emosional: Pembelajaran berkelanjutan tidak hanya berdampak pada kualitas pengajaran, tetapi juga pada kesejahteraan emosional guru. Studi oleh Day dan Gu (2014) menunjukkan bahwa guru yang terus mengembangkan diri cenderung lebih resilien dalam menghadapi tantangan profesi mereka.

Lalu, bagaimana kita bisa mengatasi paradoks ini? Darling-Hammond et al. (2017) menyarankan pendekatan sistemik dalam pengembangan profesional guru, melibatkan kolaborasi antar guru, refleksi aktif, dan dukungan berkelanjutan dari institusi. Sementara itu, Fullan (2015) dalam bukunya "The New Meaning of Educational Change" menekankan pentingnya menciptakan kultur sekolah yang mendukung pembelajaran berkelanjutan.

Secara konlusi, guru yang berhenti belajar bukan hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga seluruh ekosistem pendidikan. Sumur ilmu yang kering akan menghasilkan generasi yang haus pengetahuan. Oleh karena itu, kita perlu secara aktif dan sistematis mendorong dan memfasilitasi pembelajaran seumur hidup bagi para pendidik. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa sumur ilmu kita akan terus mengalirkan air kehidupan bagi generasi mendatang.

Selanjutnya, ketika berbicara tentang kualitas tanpa dibarengi tindakan, kita memasuki wilayah yang sering disebut sebagai kesenjangan antara retorika dan realitas. Fenomena ini memiliki beberapa aspek penting yang perlu dielaborasi:

  1. Inkonsistensi antara kata dan perbuatan: Hal ini terjadi ketika seseorang atau institusi secara verbal menekankan pentingnya kualitas, namun dalam praktiknya tidak melakukan upaya nyata untuk mencapai standar yang diucapkan. Dalam konteks pendidikan, misalnya, sekolah mungkin mengklaim memiliki "pendidikan berkualitas tinggi" dalam brosur mereka, namun tidak melakukan investasi yang diperlukan dalam pengembangan guru atau fasilitas pembelajaran.
  2. Pemahaman dangkal tentang kualitas: Terkadang, pembicaraan tentang kualitas hanya sebatas jargon tanpa pemahaman mendalam tentang apa yang sebenarnya membentuk kualitas dalam konteks tertentu. Deming (1986) dalam bukunya "Out of the Crisis" menekankan bahwa kualitas harus didefinisikan secara operasional dan diukur secara sistematis.
  3. Kurangnya akuntabilitas: Ketika tidak ada mekanisme yang memadai untuk memastikan bahwa klaim tentang kualitas benar-benar ditindaklanjuti, maka pembicaraan tentang kualitas bisa menjadi sekadar lip service. Ravitch (2016) dalam "The Death and Life of the Great American School System" mengkritisi bagaimana standarisasi dan akuntabilitas yang salah arah justru dapat menurunkan kualitas pendidikan.
  4. Resistensi terhadap perubahan: Meningkatkan kualitas seringkali membutuhkan perubahan signifikan dalam sistem dan praktik yang ada. Kotter (2012) dalam "Leading Change" menjelaskan bagaimana resistensi terhadap perubahan dapat menghambat upaya peningkatan kualitas.
  5. Ketidakselarasan antara visi dan implementasi: Seringkali ada kesenjangan antara visi kualitas yang dirumuskan oleh pemimpin dan implementasi di tingkat operasional. Senge (2006) dalam "The Fifth Discipline" menekankan pentingnya pemikiran sistemik untuk menyelaraskan visi dengan praktik.
  6. Budaya organisasi yang tidak mendukung: Schein (2017) dalam "Organizational Culture and Leadership" menjelaskan bagaimana budaya organisasi dapat mempengaruhi implementasi inisiatif kualitas. Jika budaya organisasi tidak mendukung perbaikan berkelanjutan, maka pembicaraan tentang kualitas akan tetap sebatas wacana.
  7. Kurangnya sumber daya: Terkadang, keinginan untuk meningkatkan kualitas ada, namun sumber daya (finansial, manusia, waktu) tidak memadai. Fullan (2015) dalam "The New Meaning of Educational Change" menekankan pentingnya dukungan sistemik untuk perubahan berkelanjutan.
  8. Ketidakmampuan mengukur kualitas: Tanpa metrik yang jelas dan terukur, sulit untuk memastikan apakah kualitas benar-benar meningkat. Kaplan dan Norton (1996) dalam "The Balanced Scorecard" menawarkan kerangka kerja untuk mengukur kinerja organisasi secara komprehensif.
  9. Tekanan eksternal yang kontraproduktif: Terkadang, tekanan dari pemangku kepentingan eksternal (misalnya, tuntutan untuk hasil jangka pendek) dapat menghambat upaya peningkatan kualitas jangka panjang. Christensen (2011) dalam "The Innovative University" membahas bagaimana tekanan eksternal dapat mempengaruhi inovasi dan kualitas dalam pendidikan tinggi.
  10. Ketidakseimbangan antara aspek kuantitatif dan kualitatif: Seringkali, upaya peningkatan kualitas terlalu berfokus pada metrik kuantitatif, mengabaikan aspek kualitatif yang sama pentingnya. Eisner (2017) dalam "The Enlightened Eye" menekankan pentingnya penilaian kualitatif dalam pendidikan.

Kesimpulannya, ketika berbicara tentang kualitas tidak dibarengi dengan tindakan, kita menghadapi masalah multidimensi yang melibatkan aspek kepemimpinan, budaya organisasi, sumber daya, dan sistem pengukuran. Mengatasi kesenjangan ini membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan perubahan pada level individu, organisasi, dan sistem.

Untuk mencapai kualitas yang sebenarnya, diperlukan komitmen yang kuat, perencanaan yang matang, implementasi yang konsisten, dan evaluasi yang berkelanjutan. Hanya dengan demikian, pembicaraan tentang kualitas dapat diterjemahkan menjadi peningkatan nyata yang berdampak positif pada seluruh pemangku kepentingan.

Referensi:

Jurnal:

  1. Darling-Hammond, L., Hyler, M. E., & Gardner, M. (2017). Effective teacher professional development. Learning Policy Institute.
  2. Hattie, J. (2015). The applicability of Visible Learning to higher education. Scholarship of Teaching and Learning in Psychology, 1(1), 79-91.
  3. Mishra, P., & Koehler, M. J. (2006). Technological pedagogical content knowledge: A framework for teacher knowledge. Teachers College Record, 108(6), 1017-1054.
  4. Day, C., & Gu, Q. (2014). Resilient teachers, resilient schools: Building and sustaining quality in testing times. Routledge.

Buku:

  1. Hargreaves, A., & Fullan, M. (2012). Professional capital: Transforming teaching in every school. Teachers College Press.
  2. Fullan, M. (2015). The new meaning of educational change. Teachers College Press.
  3. Dweck, C. S. (2016). Mindset: The new psychology of success. Random House.
  4. Robinson, K., & Aronica, L. (2015). Creative schools: The grassroots revolution that's transforming education. Penguin Books.
  5. Wiliam, D. (2018). Creating the schools our children need: Why what we're doing now won't help much (and what we can do instead). Learning Sciences International.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun