Mohon tunggu...
Rengga Yudha Santoso
Rengga Yudha Santoso Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and Writer from STKIP PGRI NGANJUK

Yang biasa bilang Salam LITERASI seharusnya perlu introspeksi sejauh mana berliterasi, apa jangan-jangan hanya sekedar ucapan tanpa aktualisasi agar mendapat apreasiasi? - Rengga Yudha Santoso (a.k.a halalkiri)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Lebih Percaya "Teori Konspirasi" Ketimbang Fakta?

15 Juli 2024   08:29 Diperbarui: 15 Juli 2024   08:49 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Secara ringkas, penulis mengutip dan mengembangkan dari video yang diunggah melalui kanal Guru Gembul sebagai referensi dan tanpa mengurangi apbahwa

 "sebenarnya manusia selain memiliki tingkatan dalam berpikir LOTS dan HOTS, ternyata juga memiliki tingkat berpikir bodoh".

Yaitu sebagai berikut;

  • Level 1: Credulos: Orang merasa mendadak pintar karena informasi baru yang dianggap membuka kebenaran yang ditutup-tutupi.
  • Level 2: Dunning-Kruger Effect: Orang yang sebenarnya tidak pintar merasa dirinya pintar dan percaya diri menyebarkan informasi yang salah.
  • Level 3: Apriori: Orang yang sudah memiliki pengetahuan tertentu dan menolak informasi baru yang bertentangan dengan pendapat awalnya.
  • Level 4: Binary Fallacy: Orang melihat dunia hanya dalam dua warna, hitam atau putih, tanpa mengenali adanya nuansa lain.
  • Level 5: Orang yang memonopoli kebenaran dan menganggap pandangan dirinya atau kelompoknya sebagai satu-satunya yang benar.

Kesimpulan

Kepercayaan pada teori konspirasi tidak semata-mata hasil dari ketidaktahuan atau kurangnya pendidikan, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosial. Kebutuhan akan penjelasan sederhana, efek Dunning-Kruger, dan pengaruh kelompok sosial adalah tiga alasan utama mengapa teori konspirasi tetap menarik dan dipercaya oleh banyak orang. Memahami faktor-faktor ini dapat membantu kita mengatasi penyebaran teori konspirasi dan mempromosikan pemikiran kritis di masyarakat.

Kemudian perihal kebodohan seringkali disebabkan oleh ego dan kurangnya kemampuan untuk berpikir kritis. Solusinya apa? belajar logika, berpikir kritis, dan mengendalikan ego serta nafsu.

Referensi:

Jurnal Ilmiah Publikasi:

  • Douglas, K. M., Sutton, R. M., & Cichocka, A. (2017). The Psychology of Conspiracy Theories. Current Directions in Psychological Science, 26(6), 538-542.
  • Dunning, D., & Kruger, J. (1999). Unskilled and unaware of it: How difficulties in recognizing one's own incompetence lead to inflated self-assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6), 1121-1134.
  • Pennycook, G., & Rand, D. G. (2019). The Implied Truth Effect: Attaching Warnings to a Subset of Fake News Stories Increases Perceived Accuracy of Stories without Warnings. Management Science, 66(11), 4944-4957.
  • Stanovich, K. E., & West, R. F. (2000). Individual differences in reasoning: Implications for the rationality debate? Behavioral and Brain Sciences, 23(5), 645--665.
  • Whitson, J. A., & Galinsky, A. D. (2008). Lacking Control Increases Illusory Pattern Perception. Science, 322(5898), 115-117.

Website:

https://www.simplypsychology.org/social-identity-theory.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun