Mohon tunggu...
Rengga Yudha Santoso
Rengga Yudha Santoso Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and Writer from STKIP PGRI NGANJUK

Yang biasa bilang Salam LITERASI seharusnya perlu introspeksi sejauh mana berliterasi, apa jangan-jangan hanya sekedar ucapan tanpa aktualisasi agar mendapat apreasiasi? - Rengga Yudha Santoso (a.k.a halalkiri)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Lebih Percaya "Teori Konspirasi" Ketimbang Fakta?

15 Juli 2024   08:29 Diperbarui: 15 Juli 2024   08:49 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di beberapa momentum terjadi anomali seperti komentar hingga keributan antara satu individu dengan individu lain yang sama-sama idealis mempertahankan komentarnya di media sosial, bahkan ada yang melakukan klaim "kebenaran" dari sudut pandang kelompok masyarakat (ajarannya) tanpa melihat realitas dinamika sosial yang terjadi. 

Kondisi ini tidak lain dan tidak bukan dikarenakan adanya teori konspirasi. Hasil riset menjelaskan bahwa "teori konspirasi" memungkinkan adanya informasi yang tidak ada menjadi ada. Begitu pula dengan propaganda yang menyebabkan informasi bergulir tanpa dapat dipastikan kebenarannya karena tujuannya untuk memanipulasi opini publik (Myrtati D. Artaria, 2021).

Teori konspirasi telah menjadi bagian integral dari budaya populer di seluruh dunia. Meski seringkali tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat, teori ini tetap menarik perhatian dan mendapatkan pengikut setia. Mengapa demikian? Esai ini mengeksplorasi tiga alasan psikologis dan sosial utama di balik ketertarikan masyarakat terhadap teori konspirasi: kebutuhan akan penjelasan yang sederhana, efek Dunning-Kruger, dan pengaruh kelompok sosial.

Kebutuhan akan Penjelasan yang Sederhana

Dalam dunia yang kompleks, manusia cenderung mencari penjelasan yang sederhana untuk kejadian yang rumit. Teori konspirasi menawarkan narasi yang mudah dipahami dan memberikan rasa kontrol terhadap situasi yang tampak di luar kendali. Penelitian oleh (Whitson dan Galinsky, 2008)  menunjukkan bahwa ketika orang merasa kehilangan kontrol, mereka lebih cenderung mempercayai pola dan konspirasi yang memberikan rasa kepastian.

Hal ini disebabkan oleh kebutuhan psikologis untuk mengurangi ketidakpastian dan memberikan arti pada peristiwa yang membingungkan. Selain itu, teori atribusi oleh Heider (1958) menyatakan bahwa manusia cenderung mencari penyebab dan motif di balik peristiwa, yang sering kali membuat mereka jatuh pada narasi konspirasi. Kesimpulannya, dalam upaya memahami dunia yang kompleks, manusia lebih rentan terhadap penjelasan sederhana yang ditawarkan oleh teori konspirasi.

Efek Dunning-Kruger

Efek Dunning-Kruger, pertama kali dijelaskan oleh (Dunning dan Kruger, 1999), adalah fenomena di mana individu dengan pengetahuan atau kemampuan rendah dalam suatu area melebih-lebihkan kompetensi mereka. Orang yang memiliki sedikit pengetahuan tentang suatu topik mungkin merasa yakin dengan pemahaman mereka dan lebih mudah percaya pada teori konspirasi yang tampak masuk akal bagi mereka. Sebuah studi oleh (Pennycook dan Rand, 2019) menunjukkan bahwa individu dengan kemampuan penalaran analitis yang rendah lebih cenderung percaya pada berita palsu dan teori konspirasi, karena mereka kurang mampu membedakan informasi yang valid dari yang tidak valid. Data survei global dari Ipsos (2022) tentang "Prioritas Menjaga Kesehatan Mental Sangat Tinggi untuk Banyak Orang di Dunia" mengungkapkan bahwa 25 Negara yang Setuju untuk Menjaga Kesehatan Mental (September-November 2022 .

Teori dual-process model oleh (Stanovich dan West, 2000) mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa pemikiran intuitif cepat sering mengalahkan pemikiran analitis yang lambat. Secara konlusi, kombinasi pengetahuan yang terbatas dan kepercayaan diri yang berlebihan meningkatkan kerentanan terhadap teori konspirasi.

Pengaruh Kelompok Sosial

Kelompok sosial memiliki pengaruh besar terhadap kepercayaan individu. Teori konspirasi sering kali menyebar melalui jaringan sosial dan mendapatkan legitimasi ketika didukung oleh kelompok. Penelitian oleh (Douglas, Sutton, dan Cichocka, 2017) menemukan bahwa orang lebih cenderung mempercayai teori konspirasi jika mereka merasa anggota kelompok mereka juga mempercayainya. Hal ini didorong oleh kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok dan menjaga keselarasan sosial. Ketika seseorang merasa terisolasi atau mencari identitas, mereka mungkin lebih mudah menerima teori konspirasi yang mendukung pandangan kelompok mereka.

Social Identity Theory (Tajfel & Turner, 1979) juga menjelaskan bagaimana individu mengidentifikasi diri mereka berdasarkan keanggotaan kelompok, sehingga memperkuat kepercayaan terhadap teori konspirasi yang mendukung identitas kelompok mereka. Kesimpulannya, kepercayaan pada teori konspirasi sering kali lebih dipengaruhi oleh dinamika sosial daripada bukti nyata.

Pertanyaan mendasarnya kenapa ini bisa terjadi? Misalkan kita ajukan pertanyaan dengan tema "Koruptor yang Dibenci ". Di Indonesia, koruptor sangat dibenci oleh masyarakat. Namun, ada beberapa koruptor yang malah disanjung karena mereka menyebarkan teori konspirasi. Kondisi ini pasti akan menyebabkan terjadinya kutub magnet yang saling berlawanan (kaum pro-cont).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun