Mohon tunggu...
Rengga Yudha Santoso
Rengga Yudha Santoso Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and Writer from STKIP PGRI NGANJUK

Yang biasa bilang Salam LITERASI seharusnya perlu introspeksi sejauh mana berliterasi, apa jangan-jangan hanya sekedar ucapan tanpa aktualisasi agar mendapat apreasiasi? - Rengga Yudha Santoso (a.k.a halalkiri)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Logos Hingga Pathos: Membongkar Kebijakan Pendidikan Lewat Kacamata Aristoteles

8 Juli 2024   08:45 Diperbarui: 8 Juli 2024   08:51 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi  Logos, Ethos, Pathos Aristoteles. Sumber gambar: Bing image creator

Artikel ini disusun dengan tujuan untuk memberikan perspektif filosofis dalam menganalisis kebijakan pendidikan melalui pandangan Aristoteles, yaitu logos, ethos, dan pathos. Penulis tidak bermaksud untuk mempromosikan atau mengkritik kebijakan tertentu, melainkan hanya menyediakan kerangka analisis yang dapat digunakan untuk memahami lebih dalam aspek-aspek retorika dalam kebijakan pendidikan. Semua pandangan yang diutarakan bersifat subjektif dan tidak mencerminkan pandangan resmi dari institusi manapun.

Sebagai bagian dari pembelajaran dan diskusi akademis, esai ini mengajak pembaca untuk merenungkan dan berdialog mengenai cara kita memahami dan mengevaluasi kebijakan pendidikan. Penulis menghargai berbagai pendapat dan sudut pandang yang mungkin berbeda, serta berharap artikel ini dapat menjadi titik awal untuk diskusi yang konstruktif dan kritis. Selanjutnya mari kita mulai!.

Pendidikan adalah fondasi peradaban? ya itu benar, sebelum itu sebenarnya peradaban yang lebih tepat adalah "bangsa" itu sendiri yang selanjutnya mengelola Negara yang berdaulat dengan segala persiapan SDM untuk mengelola dan mengendalikan SDA. Namun, dalam hiruk-pikuk birokrasi dan tumpukan kertas, seringkali esensi dari pendidikan itu sendiri terlupakan. Melalui kacamata Aristoteles, filsuf Yunani yang terkenal dengan konsep logos, ethos, dan pathos, kita dapat menganalisis secara kritis kebijakan pendidikan yang ada saat ini. Apakah kebijakan tersebut benar-benar memberdayakan pendidik dan peserta didik, atau justru membelenggu mereka dalam jerat administratif yang tak berujung?

Logos: Logika di Balik Kebijakan

Aristoteles mengajarkan bahwa logos merupakan "penggunaan logika dan bukti untuk membangun argumentasi". Jika kita terapkan pada kebijakan pendidikan, pertanyaan pertama yang muncul sebagai berikut;

  • Apakah kebijakan yang ada logis dan didukung oleh bukti yang kuat?
  • Apakah kurikulum yang padat dan ujian yang berfokus pada hafalan benar-benar efektif dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan abad ke-21?
  • Apakah beban administratif yang berlebihan pada guru benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran, atau justru mengalihkan fokus mereka dari tugas utama?

Kritik terhadap kebijakan pendidikan seringkali berpusat pada kurangnya landasan logis dan bukti empiris yang kuat. Banyak kebijakan yang terkesan dibuat secara top-down tanpa melibatkan guru dan kepala sekolah sebagai pihak yang paling memahami kondisi lapangan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak relevan dan sulit diterapkan. Imbas atau dampak ini akan dirasakan ketika mereka berada di Pendidikan Tinggi (dikti). Adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pendidikan dasar dan menengah dengan tuntutan di tingkat pendidikan tinggi menciptakan kesenjangan dalam kemampuan dan keterampilan mahasiswa.

Ketidaksinkronan ini dapat dilihat dari beberapa aspek:

  • Aspek kompetensi Kritis dan Analitis: Kurikulum yang terlalu menekankan pada hafalan kurang mendorong pengembangan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Padahal, di tingkat pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk mampu berpikir kritis, melakukan analisis, dan memecahkan masalah secara mandiri.

  • Aspek keterampilan Praktis: Kurikulum yang ada seringkali tidak memberikan ruang yang cukup untuk pengembangan keterampilan praktis. Di banyak negara maju, sistem pendidikan menengah sudah mulai memperkenalkan proyek dan pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) yang langsung relevan dengan tuntutan dunia kerja. Namun, di Indonesia, fokus pembelajaran masih banyak pada teori dan kurang pada praktik.

  • Aspek kesesuaian Kurikulum dengan Tuntutan Industri: Ketidaksesuaian antara kurikulum sekolah menengah dengan kebutuhan industri juga menjadi masalah. Di pendidikan tinggi, banyak mahasiswa yang merasa kurang siap menghadapi dunia kerja karena tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Industri menuntut keterampilan seperti kemampuan berkomunikasi, kerja tim, dan penggunaan teknologi yang tidak banyak diajarkan di sekolah.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
    Lihat Pendidikan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun