Mohon tunggu...
Rengga Yudha Santoso
Rengga Yudha Santoso Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer and Writer from STKIP PGRI NGANJUK

Yang biasa bilang "Salam LITERASI" seharusnya perlu introspeksi sejauh mana berliterasi, apa jangan-jangan hanya sekedar ucapan tanpa aktualisasi agar mendapat apreasiasi?" - Rengga Yudha Santoso (a.k.a halalkiri)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tinta Yang Tak Pernah Kering: Menulis Takdir Anak Bangsa

29 Juni 2024   19:30 Diperbarui: 7 Juli 2024   18:45 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah ruang kelas yang lebih mirip kotak kardus usang, dindingnya retak di sana-sini, catnya mengelupas, dan langit-langitnya bocor ketika hujan, berdirilah seorang perempuan bernama Asih. Dengan rambut yang mulai memutih dan kerutan yang menghiasi wajahnya, Bu Asih memancarkan semangat yang tak pernah padam. Di tangannya yang keriput, ia menggenggam sebatang spidol murah, senjata andalannya dalam pertempuran melawan kebodohan.

Asih adalah guru di Sekolah Rimbo Pintar, sebuah oasis pendidikan di tengah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Di sini, ia mendidik anak-anak dari komunitas Suku Anak Dalam, sebuah suku terasing yang masih setia menjaga tradisi leluhur mereka. Meskipun dihadapkan pada tantangan berat seperti keterbatasan sumber daya dan fasilitas sekolah yang memprihatinkan, Asih tak pernah putus asa.

"Anak-anakku," suaranya merdu bagai melodi, namun tegas bagai komando, "hari ini, kita akan menulis masa depan kita sendiri."

Para siswa, dengan mata berbinar-binar, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Asih. Bagi mereka, Asih adalah mentari pagi yang menerangi gulita kehidupan. 

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Asih adalah kesulitan menulis (disgrafia) yang dialami oleh sebagian besar siswanya. Tidak jarang, tangan-tangan kecil mereka gemetar saat memegang pensil, dan huruf-huruf yang tercipta tak lebih dari sekadar goresan tak berbentuk. Meski begitu, Asih tak pernah kehilangan semangat untuk membantu siswa-siswanya mengatasi kesulitan menulis.

Dua puluh pasang mata menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Di antara mereka, Doni, seorang bocah kurus dengan tulang yang nyaris terlihat, mengangkat tangannya yang kecil. 

Dui bertanya dengan polos, "Bu, apakah ada cara untuk membuat kami bisa menulis dengan lebih baik?" 

Asih tersenyum lembut, lalu menjawab, "Tentu saja, anak-anakku. Kalian tahu, menulis itu seperti bunga yang terus mekar.  Awal mula mungkin sulit, tapi asalkan kita tetap menyiraminya dengan motivasi dan kerja keras, maka suatu hari nanti, bunga itu akan mekar dengan indah.

"Bu Guru," suaranya bergetar, "bagaimana kita bisa menulis masa depan, kalau kita bahkan tidak punya buku?"

Asih mengangguk pelan. Ia memahami betul tantangan yang dihadapi oleh anak-anak didiknya, yaitu keterbatasan sumber daya dan fasilitas sekolah yang tersedia. Namun, ia tetap optimis dan percaya bahwa dengan semangat juang yang tak kenal menyerah, setiap hambatan dapat diatasi demi mewujudkan mimpi-mimpi murid-muridnya.

Tawa kecil Bu Asih memecah keheningan. Matanya berbinar dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.

"Anak-anakku, buku mungkin tidak ada, tapi halaman yang tak terbatas ada di dalam diri kita masing-masing. Kita bisa menulis masa depan kita sendiri, tidak hanya dengan tinta, tapi juga dengan semangat dan ikhtiar yang tak pernah padam."

"Siapa bilang kita butuh buku mewah untuk menulis mimpi?" Ia mengeluarkan setumpuk kertas bekas dari tas lusuhnya. "Lihat ini! Kita akan menulis di sini. Ingat, anak-anak, bukan kertasnya yang penting, tapi mimpi yang kita goreskan di atasnya."

Dui, dengan matanya yang berbinar-binar, perlahan mengangkat tangan kecilnya. "Saya siap, Bu.

Kertas-kertas itu dibagikan satu per satu. Dui menatap kertasnya, sebuah brosur properti mewah yang dibalik. Ironis, pikirnya.

"Sekarang," Bu Asih melanjutkan, "pejamkan mata kalian dan bayangkan diri kalian sepuluh tahun dari sekarang. Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan? Tuliskan, anak-anak, tuliskan dengan hati yang berani!"

Spidol-spidol murah itu mulai menari di atas kertas. Ada yang ragu-ragu, ada yang penuh semangat. Dui menatap kertasnya lama, lalu mulai menulis dengan tangan yang gemetar.

Bu Asih berjalan mengelilingi kelas, membisikkan kata-kata penyemangat di sana, memberikan pujian di sini. Tiba-tiba, ia berhenti di meja Dui. Matanya terbelalak membaca tulisan anak itu.

"Dui, bacakan untukku apa yang kau tulis."

Dui menegakkan bahunya, lalu membaca dengan suara yang terdengar yakin: "Sepuluh tahun dari sekarang, saya berharap dapat menyelesaikan studi saya di universitas terbaik di negeri ini dan menjadi seorang guru yang handal.

"Aku akan menjadi guru, seperti Bu Asih. Aku akan mengajar anak-anak miskin, tanpa biaya. Karena semua orang berhak memiliki masa depan."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Asih.

Ia meremas bahu Dui dengan lembut.

"Kau tahu, Dui, kau baru saja menulis takdirmu sendiri.  Aku yakin, suatu hari nanti, kau akan menjadi seorang guru yang hebat, yang dapat mengubah masa depan anak-anak bangsa.

"Dui," suaranya tercekat, "tinta di kertas ini mungkin akan memudar seiring waktu. Tapi tinta yang kamu tulis di hatimu, tinta harapan dan tekad, itu tidak akan pernah kering."

Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan akhir pelajaran. Namun, bagi Bu Asih dan murid-muridnya, ini baru permulaan. Permulaan dari sebuah perjuangan untuk menulis ulang takdir mereka, dengan tinta yang tak akan pernah kering, tinta harapan dan tekad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun