Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Asih.
Ia meremas bahu Dui dengan lembut.
"Kau tahu, Dui, kau baru saja menulis takdirmu sendiri. Â Aku yakin, suatu hari nanti, kau akan menjadi seorang guru yang hebat, yang dapat mengubah masa depan anak-anak bangsa.
"Dui," suaranya tercekat, "tinta di kertas ini mungkin akan memudar seiring waktu. Tapi tinta yang kamu tulis di hatimu, tinta harapan dan tekad, itu tidak akan pernah kering."
Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan akhir pelajaran. Namun, bagi Bu Asih dan murid-muridnya, ini baru permulaan. Permulaan dari sebuah perjuangan untuk menulis ulang takdir mereka, dengan tinta yang tak akan pernah kering, tinta harapan dan tekad.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI